Berita Surabaya

Praperadilan JE Pendiri SPI Lawan Polda Jatim, Saksi Ahli Sebut Hasil Visum Tidak Memiliki Relevansi

Abdul Aziz yang dimintai keterangan hakim, durasi visum et repertum dalam perkara kekerasan seksual maksimal dalam tempo satu minggu pascakejadian.

Penulis: Anas Miftakhudin | Editor: Anas Miftakhudin
Istimewa
Prof Nur Basuki Winarno, dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) dijadikan saksi ahli dalam persidangan Praperadilan JE lawan Polda Jatim di PN Surabaya. 

SURYA.CO.ID I SURABAYA - Praperadilan antara JE, pendiri sekolah SPI melawan Polda Jatim terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (19/01/2022).

Dua saksi ahli dihadirkan dalam sidang yang dipimpin hakim tunggal Martin Ginting SH.

Saksi ahli (Sahli) yang dihadirkan antara lain Abdul Azis, ahli forensik dari RSUD Dr Soetomo Surabaya dan Prof Nur Basuki Winarno, dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Kedua saksi ahli itu didatangkan untuk dimintai pendapat berdasarkan keilmuan masing-masing.

Abdul Aziz yang dimintai keterangan pertama kali oleh hakim Martin Ginting, menjelaskan durasi visum et repertum dalam perkara kekerasan seksual maksimal dilakukan dalam tempo satu minggu pascakejadian.

Hal tersebut dimaksudkan untuk memastikan keotentikan hasil visum dengan relevansi durasi waktu kejadian kekerasan seksual.

"Maksimal Satu minggu (setelah kejadian) kalau tidak ada komplikasi " tutur Abdul Azis di hadapan hakim.

Fungsi visum et repertum sendiri lanjut Azis, dimaksudkan untuk mengetahui beberapa kondisi alat kelamin.

Apakah alat kelamin itu melakukan hubungan seksual dengan kekerasan, atau memang alat kelamin itu kerab melakukan aktivitas hubungan seksual.

"(Fungsinya) untuk melihat kondisi alat kelamin itu baru melakukan hubungan seksual, atau sudah sering melakukan seksual," kata saksi ahli.

Dalam kesempatan yang sama, ahli hukum Nur Basuki Winarno, menerangkan hasil visum et repertum dapat dijadikan alat bukti dalam suatu perkara tindak pidana apabila memiliki relevansi dengan perkara tersebut.

Dijelaskan Nur Basuki terdapat perdebatan terkait hasil visum, apakah digolongkan sebagai bukti surat atau masuk dalam kategori alat bukti keterangan ahli.

Menurutnya, penyidik harus memilih salah satu di antara keduanya. Sebab, hasil visum masih tergolong alat bukti subjektif yang perlu diketahui relevansinya dengan petunjuk maupun alat bukti lain.

"Boleh salah satu (dijadikan alat bukti) namun tidak boleh dua-duanya," katanya.

Disinggung adanya dugaan kejadian pencabulan yang diklaim dilakukan pada 2008 hingga 2018 namun baru dilakukan visum pada 2021, saksi ahli menegaskan bahwa hasil visum itu sudah tidak memiliki relevansi.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved