Opini
Semua Bermula dari “Politik Balas Jasa”
Politik balas jasa begitu kental dalam pengangkatan Abdee Slank sebagai komisaris PT Telkom
Oleh : Yayan Sakti Suryandaru, Dosen Departemen Komunikasi FISIP UNAIR Surabaya
Menarik jika menelaah kasus Abdee Slank diangkat menjadi komisaris utama PT. Telkom.
Semua menyatakan ketidaksetujuannya karena menganggap Abdee Slank tidak layak.
Artinya, karena menjadi anggota team sukses Jokowi ketika mencalonkan diri sebagai team sukses capres akhirnya diberi jabatan komisaris di PT. Telkom.
Politik balas jasa begitu kental dalam kasus ini oleh karena dia aktif sebagai team sukses, maka dirinya diangkat sebagai komisaris sebuah BUMN di Indonesia.
Kondisi ini hampir merata di semua pemerintahan dari mulai desa sampai pemerintahan pusat siapa yang aktif menjadi team sukses, pasti akan dianugrahi jabatan prestisius sebagai komisaris. Entah dia mampu atau tidak, cocok atau tidak, ahli di bidang itu atau tidak, pokoknya jabatan itu pasti jatuh ke tangannya.
Kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun. Sama dengan budaya korupsi di negara ini. Susah diberarantas, tapi tetap berlangsung sampai saat ini ada yang berjamaah, ada yang sendiri-sendiri.
Bermula dari balas jasa
Ketika seseorang ingin menduduki jabatan penting di negara ini dia pasti membentuk team sukses. Beragam tawaran disodorkannya kepada anggota team sukses itu. Dari uang, jabatan, kemudahan mengurus akses, hingga mendampinginya di pemerintahan. Tentu saja hal ini akan membuat seseorang tertarik. Dia tidak akan menolaknya. Beragam cara dia kemas untuk memoles sang calon. Jika berhasil atau tidak sang calon menang, dia tetap disebut sebagai team sukses.
Jika dia menang, sang calon harus memikirkan calon team suksesnya. Sudah jamak di negara ini, beragam tawaran yang dia janjikan harus dipenuhi. Dari mulai uang ratusan juta, menjadi kepala dinas, atau menduduki jabatan komisaris BUMD atau BUMN. Untuk posisi yang terakhir ini dia harus menggandeng orang penting di lembaga yang bersangkutan. Berdalih hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) orang tersebut diangkat komisaris utama BUMD atau BUMN.
Tidak menjadi persoalan apakah orang itu mendapati posisi yang tepat. Berkompeten atau tidak. Memiliki pengalaman atau tidak pada bidang tersebut. Atau sudah pernah menggeluti bidang sekian waktu yang penting politik balas jasa sudah dia jalankan. Praktik ini sudah mengakar kuat di bidang pemerintahan kita bahkan semua sudah mahfum atas budaya yang menaungi.
Jadi tidak ada istilah the right man on the right prace. Pokoknya politik balas jasa sudah dia jalankan tidak ada lagi tagihan dari team sukses. Jika dia pemusik, tidak masalah menjadi komisaris BUMD atau BUMN. Kondisi ini terjadi karena tidak ada semacam Badan Pemeriksa Jabatan dan Pangkat (baperjakat) yang dimintai konsultasi oleh kepala pemerintahan tersebut.
Team inilah seharusnya yang menyeleksi, memeriksa, menginterview calon anggota komisariat tersebut layak atau tidak. Jadi hal ini meniadakan hak prerogatif kepala pemerintahan tersebut mengangkat seseorang menjadi komisaris. Jika hal ini dijalankan sungguh elok kondisi negara ini.
Tetapi hal ini tidak dijalankan. Tahu-tahu ada RUPS diumumkan bahwa seseorang itu menjadi anggota komisaris BUMD atau BUMN. Polemik ini akan berlanjut setelah hal ini diumumkan ke masyarakat luas. Jika atas nama hak prerogatif kepala pemerintahan, selesai sudah kasus ini. Tetapi jika ingin memperbaiki kondisi ini maka harus ada sebuah team ahli, seperti halnya perjakat untuk menentukan anggota komisaris ini. Selama bertahun-tahun hal ini sering terjadi di rezim siapapun yang memerintah negara ini.