Opini

Mengubah Dimensi Hukum ke Dimensi Sosial

Aturan seperti lockdown atau PPKM perlu lebih ditegakkan lagi. Jika ada orang ketahuan tidak membawa dokumen selayaknya mereka dilarang masuk.

ist/youtube kompas tv
Tangkap layar video kericuhan di TPU Tegal Alur, Jakarta. 

Oleh: Yayan Sakti Suryandaru (Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNAIR Surabaya)

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus marahnya masyarakat pada penutupan di TPU Tegal Alur Jakarta? Ketika objek wisata dibuka, justru TPU ditutup oleh gubernur DKI Anies Baswedan.

Masyarakat begitu marah, begitu tertib sosial dilakukan rekayasa sosial (social engineering). Selalu dikatakannya, itu merupakan tradisi, budaya turun menurun, atau warisan nenek moyang. Begitu Pemda DKI melarang orang-orang berziarah ke TPU masyarakat begitu beringasnya. Mereka merusak pagar makam dan menyuruh semua kendaraan untuk masuk ke TPU. Personel keamanan begitu kewalahan melihat jumlah massa yang banyak. Mereka akhirnya menambah jumlah personel keamanan, hingga keadaan boleh dikatakan aman.

Revolusi Strategi Aparat

Ketika tertib sosial terusik, masyarakat begitu marahnya seperti budaya mudik, yang saban tahun mereka lakukan dilarang masyarakat berusaha mengakali. Mereka selalu beralasan ini sudah tradisi dan akan terasa hampa jika budaya ini tidak dilakukan.

Masyarakat tidak mau mengurus dokumen yang diperlukan. Mereka bersiasat untuk mengakali petugas. Naik truk, bersembunyi di balik mobil pengangkut barang atau mengaku tidak tahu. Selalu yang dimengerti adalah mereka tidak boleh ini dan itu. Tidak boleh tidak membawa dokumen, tidak boleh tidak vaksinasi atau tidak boleh mudik. Itu yang selalu dipahami oleh masyarakat kita.

Padahal aparat menginginkan aturan itu dilaksanakan. Tetapi, aturan itu dipahami sebagai sebuah hukum atau larangan. Masyarakat tidak bisa diajak secara masif diimbau lewat suatu strategi komunikasi. Mereka lebih tidak takut pada aturan dibandingkan dengan petugas yang berusaha menegakkan aturan itu. Mereka lebih takut pada aparat gabungan yang menindak mereka daripada aturan itu.

Diperlukan suatu strategi komunikasi yang lebih menyentuh nurani daripada aturan yang lebih memengaruhi kognisi mereka. Masyarakat harus lebih banyak contoh dan pengalaman dibandingkan dengan suatu anjuran. Mereka misalnya lebih patuh pada aturan untuk vaksin antigen dibandingkan dengan anjuran untuk 3M, mencuci tangan pakai sabun, menjaga jarak dan memakai masker.

Diperlukan waktu yang agak lama di Indonesia untuk mengubah atau merevolusi strategi para aparat. Jadi yang diubah adalah pikiran aparat daripada pikiran masyarakat. Kalau begini terus menerus ibaratnya ada hukum tetapi dikangkai oleh masyarakat. Dalam sosiologi, ini yang namanya anomie atau kekuasaan hukum. Artinya ada hukum tetapi masyarakat tidak mematuhinya. Ada tapi tiada. Garis tak terdengar. Diperlukan perubahan mindset untuk melakukan strategi komunikasi pada masyarakat.

Masyarakat perlu suatu aturan yang lebih menyentuh afeksinya dibandingkan dengan kognisiya. Kalau aturan itu berkonotasi hukum masyarakat akan mengabaikannya. Masyarakat akan lebih patuh pada aturan yang lebih menyentuh pada emosinya atau perasaannya.

Strategi Komunikasi Ajakan

Selama ini memang ada satu pasal yang bernada aturan. Biasanya aturan ini berupa sanksi pidana atau denda. Di masa pandemi ini, sanksinya bisa berupa denda Rp200,000 atau sanksi berupa kerja sosial menyapu jalanan atau mengecat marka jalan. Masyarakat tidak begitu takut pada aturan ini. Terbukti aturan berupa ajakan untuk mematuhi 3M dilihatnya sambil lalu. Area publik sebagai tempat wajib masker tidak dihiraukannya. Masih banyak masyarakat yang tidak bermasker di tempat umum. Bahkan mereka saling berhimpitan dan berdesakan satu sama lainnya. Tetapi begitu sanak saudaranya terkena corona, mereka baru sadar untuk mematuhi aturan ini. Artinya, masyarakat perlu contoh nyata untuk pembuktiannya. Mereka tidak takut untuk diimbau atau diajak mematuhi sebuah aturan.

Kita sedang menantikan berapa jumlah penderita COVID-19 pasca lebaran ini. Terutama cluster objek wisata sebagai tempat titik kumpul masyarakat yang ingin mencari hiburan. Area ini berpotensi sebagai penular. Mereka begitu berjubel, berdesakan, dan saling dorong untuk memasuki area wisata yang diinginkan. Mereka tidak lagi menghiraukan jarak aman yang dipersyaratkan untuk menjaga jarak. Banyak yang tidak bermasker. Sehingga dikhawatirkan angka penderita corona akan meningkat.

Jika hal ini terjadi, baru tempat wisata itu ditutup. Upaya pencegahan dini sering diabaikan. Di Indonesia biasa terjadi, setelah ada peristiwa baru diambil suatu tindakan. Misalnya dalam masalah pandemi ini, setelah ada penderita baru dilakukan isolasi mandiri atau perawatan di rumah sakit. Pengadaan ruangan atau rumah untuk isolasi mandiri misalnya, baru akan terisi jika ada penderita yang ketahuan. Tidak akan terisi kalau belum ada yang melaporkan atau terjaring razia.

Halaman
12
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved