Kilas Balik
Biodata Letkol Untung Komandan Pasukan Cakrabirawa yang Memimpin G30S/PKI, Mantan Anak Buah Soeharto
Berikut profil dan biodata Letkol Untung, komandan pasukan Cakrabirawa yang memimpin gerakan G30S/PKI. Mantan anak buah Soeharto
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
SURYA.co.id - Simak profil dan biodata Letkol Untung, komandan pasukan Cakrabirawa yang memimpin gerakan 30 September 1965 PKI atau G30S/PKI.
Profil dan biodata Letkol Untung jadi sorotan semenjak ia memimpin sejumlah pasukan Cakrabirawa untuk menculik dan membunuh beberapa jenderal TNI AD.
Letkol Untung memiliki nama lengkap Untung Syamsuri.
• 7 FAKTA Pasukan Cakrabirawa yang Terpengaruh PKI, Paspampres Era Soekarno Kini Berakhir Miris
Ia merupakan Komandan Batalyon I Cakrabirawa yang memimpin Gerakan G30S/PKI.
Seperti dilansir dari Tribunbatam.id dalam artikel 'Sosok Letkol Untung Syamsuri, Tokoh Penting Dibalik Peristiwa G30S PKI, Orang Kepercayaan Soeharto?'
Untung lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926, wafat di Cimahi, Jawa Barat 1966.
Nama kecilnya adalah Kusman.
Ayahnya bernama Abdullah dan bekerja di sebuah toko peralatan batik di Pasar Kliwon, Solo.
Sejak kecil Kusman telah diangkat anak oleh pamannya yang bernama Syamsuri.
Untung adalah bekas anak buah Soeharto ketika ia menjadi Komandan Resimen 15 di Solo.
Ia merupakan Komandan Kompi Batalyon 454 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin.
Semasa perang kemerdekaan untung bergabung dengan Batalyon Sudigdo yang berada di Wonogiri, Solo.
Selanjutnya Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto memerintahkan agar Batalyon Sudigdo dipindahkan ke Cepogo, di lereng gunung Merbabu.
Kemudian Kusman pergi ke Madiun dan bergabung dengan teman-temannya.
Setelah peristiwa Madiun (Pemberontakan PKI 1948), Kusman berganti nama menjadi Untung Sutopo dan masuk TNI melalui Akademi Militer di Semarang.
Letkol Untung Sutopo bin Syamsuri, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 adalah salah satu lulusan terbaik Akademi Militer.
Pada masa pendidikan ia bersaing dengan Benny Moerdani, perwira muda yang sangat menonjol dalam lingkup RPKAD.
Mereka berdua sama-sama bertugas dalam operasi perebutan Irian Barat dan Untung merupakan salah satu anak buah Soeharto yang dipercaya menjadi Panglima Mandala.
Untung dan Benny tidak lebih satu bulan berada di Irian Barat karena Soeharto telah memerintah gencatan senjata pada tahun 1962.
Sebelum ditarik ke Pasukan Cakrabirawa, Untung pernah menjadi Komandan Batalyon 454/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang.
Batalyon ini memiliki kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan Yonif Linud 328/Kujang II.
Kelak dalam peristiwa G30S/PKI ini, Banteng Raiders akan berhadapan dengan pasukan elite RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo.
Setelah G30S/PKI meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan menghilang beberapa bulan lamanya sebelum kemudian ia tertangkap secara tidak sengaja oleh dua orang anggota Armed di Brebes, Jawa Tengah.
Letkol Untung Sutopo rupanya tidak seberuntung namanya, Tgl 11 Oktober 1965 dia yang saat itu sedang berusaha melarikan diri ke arah Semarang dengan menumpang kendaraan Bus justru mengalami nasib yang di luar perhitungannya.
Dia dikenali mukanya oleh dua tentara yang sama-sama sedang menumpang bus.
Karena kaget dan ingin menghindar akhirnya dia melompat keluar bus.
Karena kecurigaan kedua tentara yang ada di dalam bus, Untung akhirnya dikejar hingga akhirnya tertangkap warga di sekitar Asem Tiga Kraton, Tegal.
Ketika tertangkap, ia tidak mengaku bernama Untung.
Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak menyangka bahwa tangkapannya adalah mantan Komando Operasional G30S/PKI.
Setelah mengalami pemeriksaan di markas CPM Tegal, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan bernama Untung.
Setelah melalui sidang Mahmillub yang kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1966, setahun setelah G30S/PKI meletus.
Derita eks Prajurit Cakrabirawa Pasca G30S/PKI

• Derita eks Prajurit Cakrabirawa Pasca G30S/PKI, Kocar-kacir ke Luar Indonesia dan Tak Akan Kembali
Pasca G30S/PKI, nasib para mantan pasukan Cakrabirawa memang cukup miris.
Melansir dari Tribun Jatim dalam artikel 'Nasib Para Eks Prajurit Cakrabirawa Pasca G30S/PKI, Disiksa hingga Lari ke Thailand & Punya 1 Ciri', pasukan Cakrabirawa dibubarkan pada 28 Maret 1966 di lapangan Markas Besar Direktorat Polisi Militer Jalan Merdeka Timur, Jakarta
Tugas pengaman bagi Presiden Soekarno kemudian diberikan kepada Batalyon Para Pomad yang dikomandani oleh Letkol CPM Norman Sasono.
Tapi dibubarkannya Pasukan Cakrabirawa melalui upacara serah terima itu ternyata tidak seperti biasanya.
Biasanya jika ada resimen pasukan yang dibubarkan, para anggotanya akan dikembalikan kepada satuannya masing-masing mengingat personel Cakrabirawa berasal dari satuan AD, AL, AU, dan kepolisian.
Tapi justru nasib tragis menimpa para mantan Pasukan Cakrabirawa, karena semua personelnya dianggap terlibat pemberontakan PKI.
Para mantan Pasukan Cakrabirawa diburu dan ditangkap oleh TNI AD kemudian diinterogasi, disiksa, dan di penjara.
Pasukan Cakrabirawa yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat seperti terlibat penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI AD umumnya langsung dieksekusi.
Menyadari hal itu, maka banyak mantan Pasukan Cakrabirawa berusaha melarikan diri ke luar Indonesia.
Sebagai anggota militer dari kesatuan yang terbaik, maka cara melarikan diri para mantan Pasukan Cakrabirawa itu juga tidak sembarangan.
Beberapa orang bahkan menyusun strategi supaya bisa melarikan diri secara terencana dan ditempat pelarian yang dituju mereka tetap bisa survive.
Beberapa mantan Pasukan Cakrabirawa berkat bantuan pejabat tertentu yang pro-Soekarno bahkan bisa lari sampai Thailand secara legal dan kemudian malah bisa menjadi warga Thailand.
Agar pelarian di Thailand tidak menimbulkan masalah dan sekaligus tidak kebingungan mencari pekerjaan serta tetap bisa makan, pada awalnya para mantan Pasukan Cakrabirawa banyak yang menjadi biksu.
Sedangkan anggota lainnya banyak juga yang langsung membuka lahan di hutan dan kebetulan pada tahun 1970-an untuk mengolah lahan di hutan-hutan Thailand tidak dipungut biaya.
Lahan hutan yang dibuka dan diolah pun bisa menjadi milik para pengolahnya.
Umumnya para mantan Pasukan Cakrabirawa saat ini, terutama yang masih hidup, telah menjadi petani sukses dan memiliki lahan luas.
Para mantan Pasukan Cakrabirawa di Thailand pun menikah dengan warga setempat dan menjadi warga negara resmi.
Satu di antara ciri yang bisa ditandai bahwa ia mantan Pasukan Cakrabirawa adalah memiliki kebiasaan berburu di hutan dan dikenal sangat mahir menembak.
Jika bertemu orang Indonesia yang sedang ke Thailand, mereka sangat merahasiakan jati diri sebagai mantan Pasukan Cakrabirawa.
Meskipun kadang-kadang, terutama yang berasal dari Jawa Tengah, sangat ingin berbahasa Jawa ketika bertemu turis Indonesia dari Jawa yang sedang berkunjung ke Thailand.
Selayaknya para prajurit yang pernah di satuan elit Paspampres, dalam waktu tertentu mereka berkumpul dan kadang-kadang membahas perkembangan kehidupan sosial politik Indonesia.
Sejumlah mantan Pasukan Cakrabirawa yang tersebar di Thailand usianya sudha lanjut dan telah meninggal.
Namun kendati suasana Indonesia telah berubah para mantan Pasukan Cakrabirawa di Thailand ternyata memiliki satu prinsip, “tidak akan pernah pulang lagi ke Indonesia”.
Alasannya sedehana, karena mereka yakin pasti akan ditangkap, dinterogasi, dan dijebloskan ke penjara.(*)