OPINI
Pandemi: Refleksi atas Problem dan Momentum
pandemi ini seharusnya merupakan momen untuk menentukan langkah paling tepat yang harus dikerjakan, dengan mempertimbangkan segala dimensi.
SEMUA orang pasti memaklumi bahwa saat ini merupakan masa pandemi yang menakutkan. Ternyata imbas dari pandemi sama menakutkannya dengan pandemi tersebut, ketika lebih banyak orang harus "mati" dan "dimatikan" karena krisis ekonomi yang berkepanjangan dan memiliki kemungkinan kecil untuk pemulihan jika harus menunggu hingga situasi pandemi berakhir.
Sampai kapan relaksasi lembaga perbankan dapat bertahan jika pihak pengelola keuangan pun harus bertahan untuk sekadar mengoperasionalkan perusahaannya? Sistem kerja dengan aktivitas tidak penuh juga menyisakan pertanyaan jika ternyata penawaran dan permintaan tidak memberikan respon seimbang atas efisiensi yang dilakukan. Negara tetangga, Singapura, bahkan telah mencapai fase resesi di kuartal kedua tahun ini karena ekonominya minus 41,2 persen.
Lalu, kemanakah semua peristiwa ini bermuara? Kehancuran? Kematian? Kesengsaraan?
Problem: Geliat suatu Bangsa
Apakah problem merupakan sisi lemah suatu bangsa dalam mengupayakan kesejahteraan rakyat? Tentu saja dimensinya harus dipisahkan dulu, antara awal problem sebagai proses penemuan jalan kemajuan, pertengahan problem sebagai bentuk kolaborasi berbagai elemen bangsa, dan akhir problem sebagai pencapaian tujuan yang menandakan tercapainya titik tertentu dalam kemajuan suatu bangsa. Ketiga proses ini tidak dapat dihindari, jika kita tidak ingin ketinggalan dalam derap peradaban. Bahkan problem seolah-olah diciptakan agar kita dapat maju dan senantiasa berbenah diri.
Mungkinkah kemajuan peradaban terkungkung dalam situasi seperti pandemi Covid-19 yang belum ada kepastian kapan berakhir? Kenyataan membuktikan bahwa manusia menemukan pola perkembangannya sendiri ketika gerak langkahnya terhalang oleh berbagai larangan selama pandemi. Lihat saja perkembangan kebutuhan akan IT support justru semakin meningkat, seiring dengan literasi pengguna pasif di bidang informasi dan teknologi. Mau tidak mau orang harus belajar, untuk bisa bertahan hidup. Resikonya jelas dan terkadang harus dibayar mahal, ketika upaya kemajuan suatu hal justru melanggar protokol yang berlaku dalam masyarakat.
Mungkinkah problem besar saat ini (pandemi) merupakan titik awal kemajuan yang luar biasa ataukah secara hipotetis merupakan suatu visualisasi akan kondisi global yang ingin diciptakan oleh segelintir manifestor masa depan? Siapa yang tahu, hidup kita hanya sebatas bangun tidur dan mengerjakan aktivitas, lalu kembali beristirahat. Pola yang sama setiap hari, membuat kita cenderung pasrah atas fakta yang terjadi. Apalagi tekanan kebutuhan hidup selama pandemi juga terlalu besar untuk diabaikan begitu saja, lalu kapan mau berpikir tentang kemana semua fenomena ini menuju?
Bisa jadi, problem ini sebenarnya menjadi titik momentum buat kita.
Semua memang menunggu momentum, kapan ini berakhir. Bahkan ada yang merasa bahwa momentum tersebut harus direspon lebih awal, sebagai bentuk dari pola hidup normal baru. Walaupun di bawah risiko penularan Covid-19, sepertinya perekonomian tidak bisa terlalu lama untuk dinonaktifkan jika tidak ingin menuai lebih banyak korban. Lagi-lagi orang menetapkan momentum, kali ini suatu area di mana ada pertemuan antara resiko pandemi dan aktivitas ekonomi.
Mengapa harus demikian? Manusia terancam mati karena "pandemi lain" yakni pandemi stres akibat tekanan hidup yang melampaui batas daya tahan diri. Jika cicilan bank dapat direlaksasi, dapatkah kebutuhan perut pun dilakukan relaksasi? Jangan heran, jika kelemahan iman justru mengakibatkan banyaknya tingkat kejahatan di tengah pandemi berlangsung.
Di sisi lain, arus besar legislasi di tengah situasi risiko pandemi menunjukkan upaya menjalankan kebijakan ekonomi baru melalui Omnibus Law. Ini seolah memanfaatkan kelengahan rakyat yang tengah fokus membenahi ekonomi dan sosial yang morat-marit akibat Covid-19. Merasa bahwa masyarakat sedang terlena, agenda politik ini seolah menyusupkan liberalisasi ekonomi di tengah pandemi.
Oleh karena itu, pandemi ini justru membangkitkan potensi momentum yang sangat mungkin terjadi secara tidak terduga. Kerusuhan, demonstrasi, konflik SARA serta konflik kepentingan lainnya, akan sangat mudah tersulut. Kita semestinya menyadari bahwa pandemi ini seharusnya merupakan momen untuk menentukan langkah paling tepat yang harus dikerjakan, dengan mempertimbangkan segala dimensi.
Penulis : Davianus Hartoni Edy, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) Surabaya