Tolak PSBB Lagi, Dewan Minta Pemkot Surabaya Beli Mesin PCR dari Anggaran Covid-19
Penolakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB lagi di Kota Surabaya juga disuarakan kalangan anggota DPRD Kota Surabaya.
Penulis: Sofyan Arif Candra Sakti | Editor: Tri Mulyono
SURYA.CO.ID, SURABAYA - Penolakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lagi di Kota Surabaya juga disuarakan kalangan anggota DPRD Kota Surabaya.
Sebelumnya Pemkot Surabaya juga berharap tidak ada PSBB lagi di Surabaya.
Potensi PSBB lagi di Kota Surabaya disampaikan Tim Gugus Tugas Covid-19 Pemprov Jatim karena tingkat serangan dan penuluran Covid-19 di Kota Surabaya kembali naik setelah PSBB diakhiri.
• Alasan PSBB Surabaya Bisa Diterapkan Lagi dan Reaksi Tim Risma Soal Covid-19 Kembali Ganas
• PSBB Surabaya Bisa Berlaku Lagi Karena 2 Hal Ini, Begini Tanggapan Wali Kota Risma
• Penularan COVID-19 di Surabaya Tertinggi se-Indonesia, 4 Cara Ini Harus Dilakukan Agar Tak PSBB Lagi
• Fakta Terbaru Video Syur Gadis Sumenep Beradegan Panas Viral di WhatsApp (WA), Ini Kronologinya
• 8 FAKTA TERBARU Mayat Terapis Wanita dalam Kardus di Surabaya, Ini Perlakuannya pada Sang Ibu
Anggota DPRD Kota Surabaya, Josiah Michael menilai tidak tepat jika PSBB diterapkan kembali di Kota Surabaya karena akan membuat semakin terpuruknya ekonomi.
Menurut Josiah, dari pada PSBB, Pemkot Surabaya bisa mencoba penanganan-penangan lain yang lebih tepat.
"Beberapa usulan kami mengenai micro lockdown telah dilakukan oleh pemkot dalam versi Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo," kata Josiah, Kamis (18/6/2020).
Ketua DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Surabaya ini juga menilai Pemkot Surabaya perlu menggenjot lagi tes PCR (Polymerase Chain Reaction) bukannya rapid test.
"Pakai swab test jangan rapid test, karena tingkat akurasinya beda.
Saya sudah usulkan untuk menambah minimal 3 mesin PCR atau kalau memang terlalu mahal, bisa menggunakan mesin modifikasi mesin test TBC yang lebih murah," lanjutnya.
Namun begitu melihat Pemkot Surabaya yang telah menganggarkan Rp 196 miliar untuk penanganan Covid-19 selama dua bulan, menurut Josiah bukan suatu hal yang berat untuk membeli mesin PCR dengan harga Rp 6 miliar per item.
Josiah menjelaskan, jumlah test PCR yang menjadi syarat minimal WHO adalah 1/1000 penduduk per minggu.
Jika jumlah penduduk Surabaya saat ini 3,1 juta artinya Surabaya harus bisa melakukan test PCR kepada 3.100 penduduknya selama satu pekan.
"Bisa lah Pemkot Surabaya kalau beli mesin 3 PCR seharga Rp 18 miliar," lanjutnya.
Selain menambah mesin PCR, Pemkot Surabaya lanjut Josiah juga harus masif melakukan sosialisasi terkait isolasi mandiri.
"Kita bisa melihat sepertinya masyarakat tidak paham mengenai tata cara isolasi mandiri yang benar, sehingga penularan dalam keluarga juga menjadi faktor yang besar" ucap Josiah.
Menurut Josiah, Pemkot Surabaya harus berhati-hati dengan para Orang Tanpa Gejala (OTG) yang justru berpeluang besar menularkan Covid 19.
Sehingga tes PCR secara masif akan mempermudah mengidentifikasi para OTG di Surabaya untuk selanjutnya dilakukan isolasi.
"Dengan adanya tes secara masif ini tentu akan meningkatkan angka positif, tapi kita tidak perlu kuatir.
Karena dengan diketahui sejak dini maka bisa segera dilakukan tindakan penangananya dan ke depannya tidak akan melonjak lagi karena angka pasti penderita sudah kita dapat," tutupnya.
Alasan bisa PSBB Lagi
Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Pemprov Jawa Timur (Jatim) mengungkap sejumlah alasan kenapa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bisa diterapkan lagi di Kota Surabaya.
Alasan utamanya adalah karena kasus positif Virus Corona atauCOVID-19 di Kota Surabaya kembali tinggi alias makin ganas setelah PSBB berakhir.
Kesadaran masyarakat Kota Surabaya untuk mematuhi protokol kesehatan Covid-19 juga dinilai makin kendor setelah tidak ada PSBB.
Menanggapi itu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya tak ingin PSBB kembali diterapkan di Kota Surabaya.
"Kami bekerja untuk bagaimana hal-hal itu tidak terjadi," kata Wakil Koordinator Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya, Muhammad Fikser, Rabu (17/6/2020).
Pemkot Surabaya di bawah Wali Kota Tri Rismaharini atau Risma saat ini disebutnya terus berfokus pada penanganan pandemi Covid-19 secara penuh.
Namun, juga tetap mempertimbangkan roda perekonomian warga agar tetap dapat berjalan selaras dengan upaya memutus mata rantai penyebaran virus Corona.
Keduanya, disebut Fikser tetap menjadi perhatian Pemkot Surabaya.
Oleh sebab itu, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Surabaya itu mengatakan, harusnya dalam situasi seperti ini semua pihak harus sadar dan bahu membahu untuk menyelesaikan wabah ini.
"Dengan melibatkan partisipasi warga yang kuat, kesadaran warga kita dorong, kita harapkan hal itu tidak terjadi (PSBB kembali diberlakukan)," ungkap Fikser.
Menurut Fikser, sejauh ini, Pemkot Surabaya terus melakukan pola penanganan pandemi ini secara massif.
Pelacakan atau tracing dilakukan dan dibarengi dengan pemeriksaan massal seperti rapid test serta swab test.
Ke depan, Fikser mengatakan, upaya tracing macam itu juga bakal semakin massif mengingat ada rencana bantuan relawan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair yang akan bergabung untuk menguatkan upaya tracing di lapangan.
"Kita berharap warga untuk bersama jangan sampai PSBB itu terjadi di Surabaya, patuhi protokol kesehatan, disiplin menjadi kunci," ujar Fikser.
Kembali melonjak
Sebelumnya diberitakan, pasca PSBB di Surabaya Raya dilonggarkan, transmission rate dan juga attack rate di Surabaya Raya kembali melonjak.
Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur Joni Wahyuhadi, mengatakan dengan kondisi seperti ini, sesuai teori lebih baik dikembalikan ke masa restriksi.
Hal tersebut disampaikan Joni dalam paparannya di hadapan Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla yang datang ke Gedung Negara Grahadi Surabaya, Rabu (17/6/2020).
"Attack rate dan transmission rate Surabaya Raya kembali naik setelah pelonggatan PSBB. Ini mengecewakan.
Kalau sesuai teori dengan kondisi ini harusnya revive back to lockdown, kalau kita ya harusnya kembali ke PSBB," kata Joni.
Kondisi yang paling disorot yaitu Surabaya yang kasusnya 50,4 persen dari total kasus di Jatim.
Saat ini attack rate (tingkat serangan) Kota Surabaya 139,7.
Ini attack rate Covid-19 tertinggi se Indonesia.
Artinya setiap 100.000 penduduk, 140 orang di antaranya positif Covid-19.
Sedangkan untuk Jatim attack rate saat ini adalah 19,7.
Kemudian untuk transmission rate (tingkat penularan)Kota Surabaya saat ini adalah 1,22.
Sedangkan transmission rate Jawa Timur adalah 1,1.
"Padahal Jawa Timur ini transmission rate nya pernah di angka 0,86, artinya kasusnya akan hilang.
Begitu juga Surabaya Raya transmission rate-nya penah 0,5.
Jadi sebetulnya PSBB sangat bisa dan efektif sebagai metode pengendalian penularan Covid-19," kata Joni yang juga Dirut RSUD Dr Soetomo ini.
Joni menerangkan, kesadaran masyarakat Surabaya Raya dengan adanya pelonggaran PSBB justru kian menurun untuk memperhatikan protokol kesehatan.
Seperti mengenakan masker, masih banyak yang abai.
Dan yang masih mencolok adalah kurang disiplinnya penegakan physical distancing.
Ia menunjukkan data penelitian lapangan terkait distribusi kepatuhan masyarakat dalam memakai masker dan menerapkan physical distancing.
Di tempat ibadah yang patuh hanya 64,6 persen, kemudian pasar tradisional yang patuh baru 89,3 persen, perkantoran dan pabrik yang patuh hanya 58,9 persen, serta yang melakukan olahraga di luar ruangan yang patuh hanya 45,1 persen. (*)