Alasan Anak Indonesia Eks ISIS di Bawah 10 Tahun Aman Dipulangkan, Pengamat: Masih Memungkinkan
Berikut Alasan Anak Indonesia Eks ISIS di Bawah 10 Tahun Aman Dipulangkan, Pengamat Terorisme Sebut Masih Memungkinkan.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Adrianus Adhi
SURYA.co.id - Pemulangan warga negara Indonesia atau WNI mantan anggota ISIS di Suriah masih menjadi pro dan kontra.
Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan untuk tidak akan memulangkan mereka, tapi topik ini masih jadi perbincangan yang hangat.
Salah satunya pendapat menarik datang dari Pengamat terorisme Ridlwan Habib.
Melansir dari video unggahan kanal YouTube talk Show tvOne, Ridlwan menyebut kalau anak-anak WNI eks ISIS yang masih berusia di bawah 10 tahun memungkinkan untuk dipulangkan.
Ridlwan mengatakan opsi tersebut juga pernah diajukan olehnya dan para akademisi kepada pemerintah.
Berikut alasan Ridlwan menyebut anak-anak WNI Eks ISIS yang berusia di bawah 10 tahun memungkinkan untuk dipulangkan.
Ridlwan mengatakan batas umur 10 tahun ditentukan setelah terjadinya pro dan kontra.
"Saat itu memang ada perdebatan kenapa 10 tahun," katanya.
Ia memandang Indonesia akan kesulitan untuk melakukan deradikalisasi bagi anak-anak di atas usia 10 tahun.
"Karena memang dari asesmen kami, melihat kesiapan program deradikalisasi di dalam negeri, di atas itu agak berat," jelas Ridlwan.
Ridlwan menjelaskan anak-anak WNI eks ISIS yang saat ini berumur di bawah 10 tahun, dipercaya masuk ke Suriah saat masih bayi.
Berdasarkan keyakinan dan analisa tersebut, Ridlwan mengatakan proses deradikalisasi anak-anak di bawah umur 10 tahun akan lebih mudah.
"Masih memungkinkan walaupun memori mereka pasti akan dipenuhi dengan kekerasan, memori mereka akan dipenuhi dengan situasi perang, tapi masih memungkinkan untuk didoktrin untuk kembali mencintai Indonesia," paparnya.
"Tetapi ketika di atas 10 tahun, ini ada kajian dari beberapa psikolog juga, menganggap sudah tidak memungkinkan karena narasi kekerasannya begitu mendalam," lanjut Ridlwan.
Berikut videonya mulai menit ke 2.00:
Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengatakan ia telah memerintahkan pendataan WNI eks ISIS yang ada di Suriah.
Presiden Jokowi mengatakan pemerintah tidak berencana untuk memulangkan lebih dari 600 orang di kamp-kamps Suriah, yang dia sebut sebagai 'ISIS eks WNI'.
Kendati demikian, ada peluang untuk repatriasi anak.
Hal ini juga disampaikan Menko Polhukam, Mahfud MD, yang mengatakan, anak-anak WNI di bawah umur eks ISIS bisa dipulangkan ke Indonesia, dengan pertimbangan tertentu.
Ia menjelaskan tidak akan ada satu kebijakan yang sama, dan setiap kasus akan diperlakukan berbeda.

Pengamat terorisme mengatakan anak-anak WNI eks ISIS di Suriah tidak akan menjadi risiko jika dipulangkan, apalagi jika mereka dibina oleh pemerintah.
Peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones mengimbau pemerintah untuk memulangkan anak-anak yatim piatu dari kamp-kamp di Suriah secara bertahap.
Hal itu disebutnya penting karena di tempat itu, anak-anak menyaksikan intimidasi dan kekerasan. Bahkan, tambah Sidney, tempat itu tidak layak dari segi kesehatan juga sanitasi.
Pemerintah Indonesia, ujarnya, tidak perlu berpikir untuk mengembalikan ratusan anak sekaligus, tapi mulai dari kelompok kecil seperti tiga hingga lima anak terlebih dahulu.
"Membawa mereka kembali ke Indonesi tidak akan bersifat risiko, apalagi kalau mereka dibina di pusat Handayani yang dipimpin Kementerian Sosial," ujar Sidney kepada wartawan BBC News Indonesia, Callistasia Wijaya.
"Saya kira, apa salahnya pemerintah Indonesia mulai sekarang, tapi jangan hanya bicara, buka komunikasi dengan Kurdi yang menguasai kamp-kamp itu (untuk mendata anak-anak di sana)," tambahnya.
Semenjak kekalahan kelompok kekhilafahan ISIS kira-kira dua atau tiga tahun lalu, keluarga para petempur ISIS - para perempuan dan anak-anak - di tempatkan di kamp pengungsian yang dipadati lebih dari 70.000 orang.
Sidney mengatakan akan lebih bahaya jika anak-anak itu tinggal di Suriah karena mereka berpotensi menjadi generasi kedua Mujahid ISIS.
Sidney menambahkan mereka juga mungkin berkolaborasi dengan anak-anak teroris dari negara lain di kamp itu untuk melakukan gerakan terorisme di masa depan.
Khairul Ghazali, mantan pelaku terorisme yang kini mengasuh sebuah pondok pesantren untuk mederadikalisasi anak-anak teroris di Medan, Sumatera Utara, mengatakan anak-anak yang dibawa orang tuanya untuk ke Suriah adalah korban.
Jika mereka tidak dikembalikan ke Indonesia, hal itu bisa sangat berbahaya.
"Korban itu bukan hanya yang kena serpihan bom, tapi anak-anak pelaku teroris. Mereka korban ideologi yang salah dan sesat dari orang tuanya," ujarnya.
"Kalau nggak dikembalikan malah lebih bahaya, mereka akan gabung dengan tokoh-tokoh teroris internasional. Mereka akan lebih ISIS daripada ISIS itu sendiri. Bahayanya lebih besar dari manfaatnya," ujarnya.
Khairul menambahkan ia kecewa dengan putusan pemerintah untuk tidak mengembalikan ratusan WNI eks ISIS dari Suriah dengan alasan keamanan.
Dia mengklaim teroris bisa diubah pola pikirannya dengan program deradikalisasi.
Ia merujuk sejumlah eks teroris yang kini membantu pemerintah, seperti Ali Fauzi dan Ali Imron.
Meski ada kasus-kasus di mana eks teroris kembali radikal, kata Khairul, hal itu tidak boleh digeneralisasi.
"Benar, ada satu atau dua orang yang yang dibina BNPT jadi bomber, seperti suami-istri yang (melakukan bom di) Filipina itu. Tapi itu nggak bisa digeneralisir," ujarnya, merujuk peristiwa pengeboman gereja di Filipina tahun 2019.
"Program deradikalisasi memang belum optimal, tugas kita lah menyempurnakannya," ujarnya.
Nasib Anak Indonesia Eks ISIS di Suriah Hidup Tanpa Arah
Anak-anak Indonesia yang dibawa orangtuanya ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS kini harus hidup tanpa arah.
Pengakuan anak mantan ISIS itu menyebutkan dirinya kini hidup tanpa orangtua semenjak roket menghantam kamp-kamp mereka.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menegaskan dirinya menolak pemulangan WNI eks ISIS di Suriah.
Dilansir dari Tribunnews.com dalam artikel 'Cerita Anak Indonesia Eks ISIS di Suriah: Orang Tua Saya Sudah Meninggal, Tak Tahu Mau Kemana Lagi' berikut kisahnya.
Adalah Yusuf, salah satu anak WNI yang dibawa orangtuanya untuk bergabung dengan ISIS di Suriah.
Setelah kepergian orangtuanya, Yusuf kini harus bertahan dan hidup tanpa arah di Kamp Al-Hol di Suriah Timur Laut.
"Orang tua saya dan saudara-saudara saya sudah meninggal ... saya tak tahu mau ke mana.
Saya akan bertahan di sini," kata anak yang mengaku bernama Yusuf kepada wartawan BBC, Quentin Sommerville yang menemuinya di Al-Hol.

Tak hanya Yusuf, nasib serupa juga harus dijalani oleh anak WNI eks ISIS lainnya yang bernama Faruq.
Faruq mengaku kehilangan orangtuanya ketika ia berada di desa terakhir yang dikuasai oleh ISIS diserang oleh koalisi anti-ISIS.
Serangan roket dari koalisi anti-ISIS membuat Faruq tak pernah melihat orangtuanya lagi.
"Terjadi serangan roket. Saya tak tahu [apa yang harus saya lakukan]. Saya berlari ... dan setelah itu saya tak pernah melihat lagi keluarga saya," kata Faruk.
Selain Yusuf dan Faruq, adapula kisah Nasa, anak WNI eks ISIS lainnya yang kini hidup tanpa arah di kamp Al-Hol di Suriah.
"Pesawat menjatuhkan bom ... orang-orang hilang, lalu saya menemukan Faruk," kata Nasa.
Nasa bahkan menyaksikan bagaimana desa Baghuz dibom oleh koalisi anti-ISIS.