Kilas Balik
Biodata Jenderal Soedjono Hoemardani, Perwira TNI Berambut Unik yang Punya Jalur Khusus ke Soeharto
Berikut Biodata Jenderal Soedjono Hoemardani, Perwira TNI Berambut Unik yang Punya Jalur Khusus ke Soeharto
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Tri Mulyono
SURYA.co.id - Mungkin tak banyak orang tahu tentang biodata jenderal Soedjono Hoemardani
Meski demikian, jenderal Soedjono Hoemardani merupakan sosok penting hingga pernah membuat Soeharto menangis
Tangis Soeharto pecah saat menghadiri pemakaman perwira TNI berambut unik itu pada 12 Maret 1986
Dilansir dari Sosok.grid.id dalam artikel 'Soedjono Hoemardani, Jenderal TNI Berambut Gondrong yang Buat Soeharto Menangis', berikut biodata jenderal Soedjono Hoemardani, perwira TNI berambut gondrong yang pernah bikin Soeharto menangis
Soedjono Hoemardani muda atau lebih dikenal sebagai Djonit, tak pernah jauh dengan dunia ekonomi.
Menurut Wikipedia, jenderal Soedjono Hoemardani lahir di Desa Carikan, Solo, pada 23 Desember 1919 dan wafat di Tokyo, Jepang pada 12 Maret 1986
Ia anak dari Raden Hoemardani, seorang pedagang di Carikan, barat Pasar Klewer Solo.
Sang ayah adalah pemasok berbagai jenis bahan makanan dan pakaian pamong serta abdi keraton Kasunanan Surakarta.
Soedjono selepas lulus dari HIS Surakarta melanjutkan sekolahnya di Gemeentelijke Handels School, sebuah sekolah dagang di Semarang.

Tahun 1937 ia lulus dan kembali ke Solo untuk meneruskan usaha sang ayah.
Sekitar usia 20 tahuna, Soedjono menjadi bendahara organisasi pergerakan bernama Indonesia Muda sekaligus ia juga menjabat menjadi fukudanco (wakil komandan) dari keibodan (pembantu polisi) pada masa pendudukan Jepang.
“Sejak awal karier militernya pada masa revolusi, Soedjono Hoemardani ditugaskan mengelola bidang ekonomi dan keuangan.
Sebagai anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR), suatu organisasi keamanan yang kelak berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia dan berhubungan dengan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP)
Dia ditunjuk sebagai ketua bagian keuangan BPKKP di sekitar Solo,” tulis Michael Sean Malley dalam "Soedjono Hoemardani dan Orde Baru" dalam Prisma edisi khusus 20 tahun Prisma Di Atas Panggung Sejarah Dari Sultan ke Ali Moertopo (1991:105).
Awal karier kemiliteran Soedjono berpangkat Letnan dua dan bisa mencapai pangkat jenderal sebelum ia meninggal dunia.
Harry Tjan Silalahi dalam buku Soedjono Hoemardani 1918-1986 (1987:16) menyebut Soedjono Hoemardani menjadi bendahara di Resimen 27 Divisi IV dengan pangkat Letnan Dua dalam kurun 1945-1947.
Setelahnya dia naik pangkat jadi Letnan Satu dengan jabatan perwira bagian keuangan Divisi tersebut hingga 1949.
Tahun 1950, pangkatnya naik jadi Kapten.
Tahun berikutnya dia dipindahkan ke Semarang.
Tahun 1957 pangkatnya jadi Mayor dengan jabatan Direktorat Administrasi Angkatan Darat (DAMAD) di Bandung.
Tahun 1961, pangkatnya naik lagi jadi Letnan Kolonel dengan jabatan Wakil Deputi III/KSAD.
Djonit tak dikenal sebagai perwira tempur, meski dia ikut revolusi kemerdekaan.
Ia membuktikan bahwa tentara tak hanya mengurus pertempuran, melainkan juga logistik, administrasi, dan urusan di atas kertas lain.

Berbisnis saat jadi tentara tidak sulit bagi Soedjono Hoemardani karena dia pernah berbisnis sebelum balatentara Jepang mendarat.
Di bidang keuangan, selain pernah pernah dikirim belajar ke Fort Benjamin Harisson, Amerika Serikat, Soedjono Hoemardani terasah kemampuannya dengan menjadi wakil Alamsjah Prawiranegara di Finansial Ekonomi Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) antara 1963 hingga 1965.
Soedjono Hoemardani pada 1966 berpangkat kolonel dan menempati Pembantu Khusus Ekubang/Warpam Sospol.
Soedjono Hoemardani, bersama Suryohadiputro dan Alamsyah Ratuprawiranegara termasuk jenderal-jenderal yang sering didatangi pengusaha.
Mereka, menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:66), digolongkan sebagai Jenderal Finansial.
"Di antara mereka yang punya jalur khusus dengan Soeharto adalah Soedjono Hoemardani.
Konon kata seorang ajudan dialah satu-satunya yang selain ibu Tien boleh masuk kamar tidur,” tulis Borsuk dan Chng.
Soedjono Hoemardani sering disebut-sebut sebagai penasehat spiritual Presiden Soeharto.
Hubungannya dengan Soeharto, konon terkait dengan Soediyat Prawirokoesoemo alias Romo Diyat, seorang guru spiritual yang pernah bilang pada Soedjono agar menjaga Soeharto karena dipercaya akan menjadi orang besar.

Baik Soeharto dan Soedjono Hoemardani, mereka berdua sering pergi ke tempat-tempat keramat.
Selain sebagai jenderal finansial, Soedjono Hoemardani juga salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Ia adalah salah satu orang yang mencarikan dana untuk menghidupkan CSIS.
Kedekatan itulah yang membuat Soeharto merasa kehilangan ketika sang sahabat tutup usia pada 12 Maret di Tokyo.
Pria asli Surakarta tersebut selain berpangkat jenderal ternyata ia juga bertitel doktorandus.
Soedjono Hoemardani, mertua mantan Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo inilah salah satu orang yang bisa membuat Soeharto meneteskan air mata.