Kilas Balik

Kehebatan Kopassus Menaklukkan Mbah Suro Dukun Sakti Simpatisan PKI yang Kebal Tembakan

Berikut ini kisah kehebatan Kopassus menaklukkan Mbah Suro, dukun simpatisan PKI yang kebal tembakan dan senjata tajam.

Editor: Tri Mulyono
Warta Kota/Adhy Kelana
Para prajurit Kopassus melakukan aktraksi ketangkasan prajurit di sela perayaan HUT ke 67 Kopassus, di Markas Kopassus Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (24/4/2019). 

Ini kisah kehebatan Kopassus menaklukkan

Mbah Suro, dukun simpatisan PKI yang

kebal tembakan dan senjata tajam....

----

SURYA.CO.ID - Banyak cerita kehebatan Pasukan Kopassus TNI AD dalam menghadapai musuh negara, termasuk di antaranya ketika Kopassus diturunkan untuk menghabisi Mbah Suro, dukun berilmu hitam, kebal senjata tajam dan senjata api.

Kisah perburuan Kopassus menumpas Mbah Suro dilakukan tak lama setelah peristiwa genting Gerakan 30 September atau G30 S PKI.

Buntut dari pembunuhan sejumah jenderal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dilakukannya operasi penumpasan PKI secara besar-besaran.

Ketika itu Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sempat menghadapi simpatisan PKI yang dikenal kebal senjata.

Kisah ini dikutip dari buku "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" karya Hendro Subroto.

Berkobarnya tragedi G30S/PKI yang menculik para jenderal pada 30 September 1965, memang berbuntut panjang.

Satu di antaranya adalah perburuan terhadap mereka yang dianggap sebagai anggota maupun simpatisan PKI.

Perburuan, dan penangkapan itu dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia yang diduga sebagai basis PKI.

Saat itu pada 1967, perburuan terhadap simpatisan dan anggota PKI dilakukan di kawasan yang terletak antara wilayah Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah (Jateng) dan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur (Jatim).

Tepatnya, di Desa Ninggil.

Nama asli Mbah Suro adalah Mulyono Surodihadjo.

Mbah Suro merupakan seorang mantan lurah yang dibebastugaskan akibat kesalahannya sendiri.

Setelah lengser sebagai lurah, Mbah Suro membuka praktik sebagai dukun yang mengobati orang sakit.

Namun, belakangan beredar kabar kalau Mbah Suro juga dikenal sebagai dukun kebal, hingga ia disebut sebagai Mbah Suro atau Pendito Gunung Kendheng.

Pergantian nama baru menjadi Mbah Suro juga diikuti dengan perubahan penampilannya.

Salah satunya adalah memelihara kumis tebal, dan rambut panjang.

Mbah Suro melakukan berbagai kegiatan yang berbau klenik, dan menyebarkan kepercayaan Djawa Dipa.

Mbah Suro juga sering memberi jampi-jampi atau mantera dan air kekebalan kepada para muridnya.

Banyak pengikutnya yang percaya diri mereka telah menjadi kebal terhadap senjata tajam, dan senjata api.

Pemerintah, khususnya pihak militer melihat Mbah Suro telah ditunggangi oleh PKI.

Menurut Hendro, penutupan praktik perdukunan Mbah Suro itu terpaksa dilakukan melalui jalan kekerasan.

"Pangdam terpaksa memerintahkan agar penutupan dilakukan dengan jalan kekerasan, karena segala upaya jalan damai yang ditempuh telah menemui jalan buntu," tulis Hendro dalam bukunya.

Akhirnya, Kodam VII/ Diponegoro beserta satu Kompi RPKAD (Sekarang Kopassus) di bawah pimpinan Feisal Tanjung menyerbu padepokan Mbah Suro.

Mbah Suro pun berhasil ditaklukkan dalam penyerbuan itu.

Soeharto Gunakan 4 Tahap Sistematis untuk Menumpas Gerakan G30S/PKI

Seperti diketahui, peristiwa kekejaman G30S/PKI meninggalkan coretan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia.

Pada 30 September 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan enam jenderal yang merupakan perwira tertinggi TNI serta satu perwira berjabatan kapten.

Bahkan menteri atau Panglima AD Ahmad Yani tidak luput dari sasaran.

Saat itu, satuan TNI AD mengalami guncangan hebat akibat aksi G30S/PKI.

Para perwira TNI AD ingin melakukan tindakan akibat peristiwa kelam yang telah merenggut jenderal TNI tersebut.

Dikutip dari pernyataan Drs Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966 berikut ini:

Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.

Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.

Soeharto segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.

Soeharto mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi suatu pengkhianatan oleh sesuatu komplotan kontra-revolusioner.

Hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad menyebabkan kekosongan jabatan di lingkungan Angkatan Darat.

Soeharto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum jelas.

Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer V/Jakarta, Soeharto bertindak cepat.

Tindakan pertama, diusahakan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitar Medan Merdeka.

Pada jam 16.00, Yon 530 Para (kecuali satu kompi yang dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Soeharto.

Sayang, sisa pasukan Yon 454 Para terus disalahgunakan oleh "G30S" hingga mereka mengundurkan diri ke Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim dan berhasil dicerai-beraikan disana oleh pasukan RPKAD.

Tahap kedua, Soeharto memerintahkan untuk menduduki kembali gedung Pusat Telekomunikasi dan RRI.

Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan catatan: sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah.

RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit telah menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.

Tahap ketiga, pada jam 20.00 WIB Soeharto berbicara di radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah diambil.

Dengan tegas "G30S" disebut gerakan kontra-revolusioner.

Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran "G30S" sebelumnya adalah palsu.

Tahapan keempat, Soeharto mulai memberikan pukulan maut kepada komplotan "G30S"

Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para "Kudjang"/Siliwangi.

Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.

Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober 1965, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban.

Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan "G30S" di ibukota.

Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi. (Iwe)

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Kisah Kopassus dan Mbah Suro Dukun Kebal Senjata Gunung Kendheng

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved