Kilas Balik
Pertempuran Sengit 30 Prajurit TNI AD di Timor Timur, Tak Seimbang hingga Cuma 9 Orang yang Selamat
Pertempuran sengit dan tak seimbang sempat dialami oleh prajurit TNI AD saat ditugaskan di Timor Timur, berikut kisahnya
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Adrianus Adhi
SURYA.co.id - Pertempuran sengit dan tak seimbang sempat dialami oleh prajurit TNI AD saat ditugaskan di Timor Timur
Dilansir dari buku '328 Para Battalion, The Untold Stories of Indonesian Legendary Paratroopers, Setia-Perkasa-Rendah Hati' terbitan Elex Media Komputindo, dari 30 prajurit TNI AD yang diberangkatkan hanya sembilan orang yang pulang dengan selamat
Pertempuran sengit dan tak berimbang di Timor Timur ini diceritakan oleh seorang prajurit TNI AD bernama Sersan Mayor Didin Somantri.
Didin Somantri memiliki pengalaman tempur yang mumpuni saat menjalankan misi di Mapenduma
Saat operasi di Timor Timur pada tahun 1978 lalu, Didin Somantri dan rekan-rekannya ditugaskan dalam misi perebutan Matabean.
• VIDEO Perjuangan Anak Petani Jadi Perwira Korps Wanita TNI AD, Baru Bisa Masuk Akmil Usia 27 Tahun
• Mimpi Aneh Komandan TNI AD Sebelum Gempur KKB Papua, Bermakna Kematian Tapi Endingnya Misi Sukses
• Jenderal TNI Jebolan Kopassus ini Dibentak Soeharto Setelah Beri Saran, Ekspresi Pak Harto Berubah

Didin Somantri yang merupakan ahli navigasi darat mengungkapkan, Batalyon 328 saat itu mendapatkan tugas merebut sasaran Matabean.
Menurutnya, saat itu selain medan tempur Matabean yang sangat berat, masyarakat setempat menurut Didin juga memiliki posisi yang menguntungkan.
Sebab, dengan kekuatan empat kabupaten, yaitu Bacau, Pile, Langen, dan Los Palos, mereka memiliki posisi yang lebih memungkinkan untuk melemparkan batu dari ketinggian tebing.
"Jadi pertempuran tak seimbang," tulis Didin dalam buku tersebut.
Didin Somantri saat itu mendapatkan tugas sebagai penembak senapan kompi C Peleton 2.
Akibat pertempuran yang tak seimbang itu, sejumlah personel prajurit TNI AD pun gugur.
"Danton Didi Haryadi gugur. Dari 30 prajurit, yang bisa kembali hanya 9 prajurit," tulis dalam buku tersebut.

Sehingga, bisa jadi yang gugur dalam pertempuran itu mencapai 21 orang.
Dalam buku itu disebutkan, sasaran 7 merupakan sasaran yang paling berat.
Didin Somantri ingat betul, saat itu dirinya diminta mengawal Edi Sudrajat, yang saat itu pasukannya juga masuk ke lereng Gunung Tiba Silo.
Di sana banyak mata-mata orang sipil, bahkan perempuan yang membawa granat.
Maka sebagai pengawal, Didin Somantri yang juga jago bela diri ini tetap siaga.
Oleh karena itu, menurut Didin Somantri, untuk memenangkan pertempuran di tempat itu membutuhkan taktik yang jitu.
Alasannya, musuh saat itu tidak hanya manusia, melainkan juga alam dan penyakit.
Di sisi lain, pertempuran tak kalah sengit juga dialami kopassus saat berhadapan dengan Tropaz dan Fretilin yang menguasai Timor Timur.
Seperti dilansir dari buku 'HARI H 7 DESEMBER 1975 - REUNI 40 TAHUN OPERASI LINTAS UDARA DI DILI TIMOR PORTUGIS' yang disunting Atmadji Sumarkidjo dan diterbikan penerbit Kata, kala itu Pasukan penjaga Timor Timur (Dili) bernama Tropaz.

Pasukan pemberontak didikan Portugis ini harus dihadapi Kopassus kala itu.
Tropaz merupakan pasukan Timor Leste didikan Portugis yang kenyang dengan pengalaman tempur gerilya.
7 Desember 1975, TNI menggelar operasi lintas udara terbesar untuk menguasai Kota Dili, Timor Portugal.
Jumlah pasukan yang diterjunkan 270 orang Prajurit Para Komando dari Grup I Kopasandha (kini Kopassus) dan 285 prajurit Yonif 501.
Banyak kelemahan dari operasi penyerbuan itu, seperti data intelijen yang salah.
Data intelijen menyebutkan musuh yang menjaga Kota Dili hanya sekelas dengan Hansip. Ini salah besar.
Pasukan TNI sudah ditembaki saat masih melayang di udara.
Pilot TNI AU terpaksa membatalkan sejumlah penerjunan karena pesawat diberondong tembakan dari bawah.
Seorang load master di dalam C-13o Hercules tewas tertembak.
Akibatnya 72 prajurit Kopassus batal diterjunkan.
Para prajurit yang terjun juga tak bisa membalas tembakan karena senapan AK-47 mereka masih terikat di paha.
Begitu mendarat mereka langsung mencari kelompoknya dan terlibat dalam pertempuran sengit.
Beberapa prajurit baret merah tersungkur ditembus peluru prajurit Tropaz.
Sementara itu, Komandan Nanggala V/Kopasandha Letkol Inf Soegito berlindung di balik tembok.

Ternyata di balik tembok itu terlihat beberapa orang Tropaz sedang menembak bertubi-tubi ke arah pasukan yang baru mendarat.
Soegito langsung melemparkan granatnya
Namun apes, granat itu tak meledak.
Dia mencabut granat kedua. "Blaaaar!!" ledakan keras terdengar hingga dinding bergetar.
Beberapa orang yang terluka berhamburan keluar, sontak Soegitu menarik picu senapan otomatisnya.
Rentetan peluru kaliber 7,62 mm segera menyiram dan menghabisi orang-orang berseragam hijau itu.
Dili dipenuhi suara tembak menembak hari itu.
Senapan serbu AK-47 milik Kopasandha versus senapan G3 standar NATO milik Tropaz dan Fretilin.
Siang harinya, pasukan baret merah itu berhasil menguasai Pelabuhan.
Letkol Soegito menggunakan sebuah bangunan yang belum jadi untuk markas Grup.
Dia mulai bisa mengontak pasukannya yang berceceran.
Di sinilah Soegito menerima kabar Mayor Inf Muji Raharjo tertembak di bagian leher. Lukanya sangat parah. Namun ajaib, nyawanya masih bisa tertolong.

Kota Dili bisa direbut hari itu juga. Pasukan Tropaz dan Fretilin mundur ke gunung untuk meneruskan perang Gerilya.
Kemenangan yang harus dibayar mahal dengan gugurnya 19 anggota Kopasandha dan 35 prajurit Yonif Linud 501.
Sementara dari pihak musuh sedikit simpang siur.
Ada yang menyebut 122 orang Pasukan Tropaz tewas, ada juga yang mencatat 105 orang. Selain itu puluhan pucuk senjata G-3 juga berhasil direbut.
Pasukan Grup I Kopasandha bertugas sekitar empat bulan di Timor Timur.
Mereka diterjunkan mulai 7 Desember 1975 hingga 31 Maret 1976.
Pasukan inilah yang melewati masa-masa terberat di awal Operasi Seroja.
Hampir tidak ada hari yang dilewatkan tanpa penyergapan dan tembak menembak.
Akhirnya, mereka pun ditarik pulang ke Home Base di Cijantung dengan menumpang kapal KM Tolanda.
Sesampainya di Tanjung Priok, puluhan truk sudah menunggu untuk membawa mereka pulang ke Cijantung yang berada di Jakarta Timur.
Kapten Bambang Mulyanto mengingat perjalanan itu terasa sangat lama.
Para prajurit sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan keluarga yang sudah ditinggalkan empat bulan lamanya.
Kapten Bambang menceritakan tiba di asrama Kopasandha, Cijantung, terlihat ibu-ibu, anak-anak, dan masyarakat berdiri berbaris di sepanjang jalan.
Mereka melambai-lambaikan tangannya menyambut para pahlawannya masing-masing yang telah kembali dari medan perang.
Pada saat truk berhenti, berhamburanlah mereka mencari suami, ayah, keluarga atau teman mereka.
"Ada satu hal yang membuat saya menitikkan air mata ketika menyaksikan putra almarhum Koptu Samaun berlari kian kemari mencari ayahnya yang sudah gugur dan dikebumikan di Timor Timur," kenang Kapten Bambang sedih.
Rupanya sang ibu tak berani menceritakan pada anaknya bahwa sang ayah sudah gugur.
Karena itulah bocah malang itu masih berlari-lari ingin menyambut ayahnya yang hilang.
Kopral Satu Samaun gugur pada tanggal 7 Desember 1975 di tengah pertempuran merebut Kota Dili.
Dia mendapat kenaikan pangkat anumerta menjadi sersan dua
*Artikel ini telah tayang di Tribunjatim.com dengan judul Pertempuran Tak Seimbang TNI AD di Timor Timur, 21 Personel Gugur, Musuhnya Tak Hanya Manusia