Penjual Lontong Kupang di Sidoarjo Tak Menyangka Bisa Menunaikan Ibadah Haji
"Saya awalnya ragu, karena uang masih kurang, tapi dengan semangat dari anak-anak, akhirnya saya putuskan untuk daftar (haji)," urainya.
Penulis: M Taufik | Editor: Eben Haezer Panca
SURYA.co.id | SIDOARJO - Wajah Yaumani terlihat sumringah. Di sela mempersiapkan acara tasyakuran haji di rumahnya, nenek 62 tahun ini bercerita panjang lebar saat ditemui Surya di kediamannya, Kamis (11/9/2019).
Mbak Um, panggilan Yaumani, tinggal di rumah sederhana di Desa Penatarsewu, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo tersebut bersama anak keduanya, Farida, serta dua cucunya.
Sementara anak pertama, tinggal di belakang rumahnya.
"Anak saya yang pertama punya tiga anak. Jadi saya sudah punya lima cucu," ujar Mbak Um saat berbincang dengan Surya.
Yaumani tinggal di rumah ini bersama orangtuanya sejak kecil. Dia juga besar di situ dan tinggal di sana bersama suami, dua anaknya, plus orangtuanya.
Tahun 1978, Yaumani berstatus janda setelah ditinggal suaminya. Diapun harus menghidupi dua anaknya yang saat itu masih kecil-kecil, ibu dan adiknya yang tinggal bersamanya.
Setelah beberapa tahun kerja serabutan, sejak sekira tahun 1990-an, Yaumani memulai usahanya berjualan lontong kupang. Dia keliling ke berbagai tempat dengan berjalan kaki untuk menjajakan dagangannya.
"Jalan kaki, jualannya saya sunggi (taruh di atas kepala). Tidak pernah libur, demi anak-anak yang masih kecil dan ibu saya," kisah perempuan tangguh ini.
Bertahun-tahun aktivitas itu dia geluti. Bahkan, dia kerap berjualan sampai ke Mojokerto dan beberapa daerah lain di luar Tanggulangin. Seperti di Porong dan berbagai wilayah lain.
Biasanya, dari rumah sampai ke jalan raya yang berjarak lebih dari 5 kilometer, dia naik sepeda pancal. Kemudian ke Mojokerto atau ke daerah lain naik bemo. Di sana baru jalan kaki keliling sambil nyunggi dagangannya.
Dirinya mengaku hanya selalu berusaha dan berniat mencari rejeki untuk keluarga. Sehingga ketika dagangan tidak habis terjual juga tidak pernah mengeluh.
"Kalau tidak habis ya dibawa pulang. Kan bisa dimakan bersama anak-anak di rumah," ujar Mbak Um.
Dengan pendapatan pas-pasan, dia tetap selalu bertekad agar anak-anaknya bisa hidup lebih baik. Meski dirinya hanya sekolah MI (setingkat SD), dia tidak mau anak-anaknya tidak sekolah.
"Biar saya saja yang rekoso (sengsara), anak-anak harus sekolah. Harus lebih pinter dari saya. Makanya, meski harus hutang ke sana-kemari, saya lakoni demi sekolah anak," tutur perempuan bertubuh kurus itu.
Diceritakannya, saat dua anaknya sudah sama-sama SMA, kerap bingung setiap kali harus bayar sekolah. Untungnya, dua anaknya juga sabar, sehingga mau gantian.