Hukuman ASN Tulungagung yang Hamil di Luar Nikah & Dilaporkan Selingkuh, Bisa Terancam Dipenjara
Aparatur sipil negara (ASN) di Pemkab Tulungagung yang dilaporkan selingkuh hingga hamil di luar nikah, ternyata bisa terancam hukuman penjara
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Adrianus Adhi
SURYA.co.id - Aparatur sipil negara (ASN) di Pemkab Tulungagung yang dilaporkan selingkuh hingga hamil di luar nikah, ternyata bisa terancam hukuman penjara
Seperti diketahui, ASN di Pemkab Tulungagung berinisial HSY (40) dilaporkan suaminya MK (45) ke polisi lantaran berselingkuh dengan RAS (40) warga Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri
Bahkan karena hubungannya dengan RAS, HSY kini tengah hamil
Dilansir dari Tribun Jambi dalam artikel 'Alasan Selingkuh hingga Ancaman Hukum Pidana bagi Pelakor & Pebinor!', ASN Tulungangung beserta selingkuhannya itu ternyata bisa dijerat tindak pidana perzinahan yang diatur dalam KUHP Pasal 284.
Dalam prakteknya, KUHP Pasal 284 saling berkaitan dengan Pasal 27 BW (Burgerlijk Wetboek):
"Pada waktu yang sama, seorang laki-laki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya dengan satu laki-laki saja."
Berikut adalah rumusan dari Pasal 284 KUHP:
Pelaku tindak pidana perzinahan diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Ancaman penjara tersebut ditujukan bagi:
1. Seorang laki-laki yang telah menikah melakukan tindakan perzinahan dan berlaku Pasal 27 BW.
2. Seorang perempuan yang telah menikah melakukan tindakan perzinahan dan berlaku Pasal 27 BW.
3. Seorang laki laki yang ikut serta melakukan perbuatan perzinahan, padahal diketahuinya bahwa yang bersalah telah menikah.
4. Seorang wanita tidak menikah yang ikut serta melakukan perbuatanperzinahan padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah menikah dan Pasal 27 BW berlaku baginya.

Dalam Pasal 284 KUHP tersebut unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain:
1. Merusak kesopanan atau kesusilaan (bersetubuh),
2. Salah satu/kedua duanya telah beristri/bersuami, dan
3. Salah satu berlaku Pasal 27 KUHP Perdata.
Penjelasan mengenai Pasal 284 KUHP adalah sebagai berikut:
1. Zina menurut Pasal 284 KUHP adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.
Persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak merupakan paksaan dari salah satu pihak.
2. Pasal 284 KUHP membedakan antara orang-orang yang tunduk pada Pasal 27 BW dan orang-orang yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW.
3. Pasal 284 KUHP tersebut berlaku aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (dipermalukan).
Pengaduan tersebut berlaku bagi pihak yang dirugikan dan pasangan perzinahan.
4. Walaupun belum terdapat pengaduan dari pihak yang berkepentingan, polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaaan bila menjumpai peristiwa perzinahan, bahkan hal-hal tertentu pihak kepolisian harus mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Undang-undang Perselingkuhan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sepakat untuk tetap memperluas pasal tindak pidana zina dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP).
Berdasarkan pasal 484 ayat (1) huruf e draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
Namun, untuk menghindari munculnya praktik persekusi, DPR dan pemerintah sepakat untuk memperketat ketentuan dalam Pasal 484 ayat (2).
Pasal tersebut mengatur pihak-pihak yang dapat melaporkan atau mengadukan orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana zina.
Pasal 484 ayat (2) draf RKUHP menyatakan tindak pidana zina tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan.
Frasa pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan kemudian diganti dengan suami, istri, orangtua, dan anak.
"Jadi tidak semua orang bisa mengadukan. Ayat 2 ini menegaskan delik aduan suami, istri, orangtua dan anak. Disepakati," ujar Ketua Panja RKUHP Benny K. Harman saat memimpin rapat tim perumus dan sinkronisasi RKUHP antara pemerintah dan DPR di ruang Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/2/2018).
Dalam rapat tersebut hadir Ketua Tim Pemerintah Pembahasan RKUHP Enny Nurbaningsih.
Setelah seluruh pasal disepakati dalam rapat tim perumus dan sinkronisasi, draf RKUHP akan dibawa ke rapat Panitia Kerja sebelum disahkan pada Rapat Paripurna.
Meski begitu, Akademisi Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai perluasan ketentuan pasal perzinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) justru berpotensi disalahgunakan.
Menurut Agustinus, tak menutup kemungkinan perluasan pasal zina memunculkan tindakan kejahatan lain, yakni pemerasan. "Apa yang akan terjadi (jika perluasan pasal zina disahkan)? Pemerasan.
Ini ekses negatif yang kemungkinan bisa terjadi dan ini yang harus diantisipasi," ujar Agustinus dalam sebuah diskusi bertajuk 'Membedah Konstruksi Pengaturan Buku I Rancangan KUHP' di Kampus Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (7/5/2018).
Pasal 460 ayat 1 huruf e draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun.
Tindak pidana tersebut tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anak. Dalam KUHP sebelum revisi, perbuatan seksual di luar perkawinan tidak dikategorikan sebagai tindak pidana.
Perbuatan zina hanya dapat dipidana dengan mensyaratkan adanya ikatan perkawinan para pelaku.
Agustinus menjelaskan, dalam suatu hubungan seksual antara dua orang, bukan tidak mungkin salah satu pihak akan menekan pihak yang lain dengan memberikan ancaman untuk melapor.
Salah satu pihak dapat meminta kompensasi atau pemberian uang ke pihak lain jika tidak ingin dilaporkan.
Jika pasal tersebut nantinya disahkan, Agustinus khawatir ketentuan itu justru akan memfasilitasi seseorang dalam melakukan pelanggaran hukum.
"Saya khawatir justru UU akan memfasilitasi bentuk kejahatan semacam ini karena orang seperti diberi semacam power untuk bisa menekan melalui peraturan hukum," tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, kejadian mengenaskan dialami seorang suami berinisial MK (45) warga Tulungagung yang melaporkan istrinya HSY (40).

HSY merupakan aparatur sipil negara (ASN) di Pemkab Tulungagung. Dia dilaporkan ke polisi lantaran berselingkuh dengan RAS (40) warga Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri.
HSY yang juga warga Kecamatan Ngantru ini dituding telah melakukan perzinahan dengan RAS.
Perilaku HSY yang berselingkuh dengan RAS sudah diketahui suaminya pada awal 2018.
Meski ketahuan serong, rumah tangga keduanya bisa diselematkan dengan cara kekeluargaan.
Namun, hubungan HSY dan MK kembali bermasalah, hingga HSY pamit keluar rumah dan tinggal di rumah orangtuanya.
Ternyata diam-diam, HSY tinggal di Desa Rejoagung, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung.
Hingga akhirnya MK mendapat laporan dari teman HSY, bahwa istrinya itu tinggal serumah dengan RAS.
“Dari laporan suaminya, dia tahu istrinya ini kembali selingkuh dengan orang yang sama,” terang kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Tulungagung, Ipda retno Pujiarsih, Minggu (30/6/2019).
Bahkan karena hubungannya dengan RAS, HSY kini tengah hamil.
Setelah memastikan HSY kembali berselingkuh dengan RAS, MK melapor ke Polres Tulungagung, Jumat (28/6/2019) pukul 10.00 WIB.
Saat ditanya mengenai status kepegawaian HSY, Retno mengakui sebagai HSY adalah ASN di RSUD dr Iskak.
“Kalau soal hamil, kami belum pastikan berapa bulan,” sambung Retno.
Laporan perzinahan hanya bisa diproses atas laporan suami atau istri pelaku.
Dalam perkara ini, MK melaporkan HSY sekaligus RAS yang dituding pasangan selingkuhnya.
Penyidik UPPA masih melakukan penyelidikan, untuk menuntaskan laporan MK.