Sengketa Pilpres 2019
5 Tudingan Tim Hukum Prabowo-Sandi ke Jokowi - Neo Orde Baru sampai Asal Dana Kampanye, TKN: Hoax!
Tim hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menuduh Jokowi telah melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan Masif.
SURYA.CO.ID - Tim hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menuduh calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam pilpres 2019.
Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), tim hukum Prabowo-Sandi yang diketuai Bambang Widjoyanto membeber dalil-dalil terkait kecurangan terstruktur, sistemnatis dan masif (TSM) yang dilakukan Jokowi.
Berikut beberapa uraian permohonan tim hukum Prabowo-Sandi yang disampaikan di depan mejelis MK!
1. Jokowi Neo-Orde Baru
Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Teuku Nasrullah, menyebut saat ini muncul pendapat bahwa Pemerintahan Presiden Joko Widodo cenderung berkarakteristik otoriter seperti masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
"Berkait dengan pemerintahan yang otoriter dan Orde Baru itu, melihat cara memerintah Presiden Joko Widodo, telah muncul pendapat bahwa pemerintahannya adalah Neo-Orde Baru, dengan korupsi yang masih masif dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil sebagai cirinya," ujar Nasrullah dalam sidang pendahuluan sengketa pilpres di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).
Nasrullah mengatakan, potensi kecurangan pemilu yang dilakukan presiden petahana akan lebih kuat terjadi jika karakteristik pemerintahan yang dibangunnya adalah pemerintahan yang cenderung otoriter.
Lantas, Nasrullah mengutip pendapat Guru Besar Hukum dan Indonesianis dari Melbourne University Law School, Profesor Tim Lindsey.
Selain itu, Nasrullah juga mengutip pendapat kandidat Doktor dari Australian National University, Tom Power.
Dalam makalahnya di Konferensi tahunan “Indonesia Update” di Canberra, Australia, Tom Power menyoroti bahwa hukum kembali digunakan oleh pemerintahan Jokowi untuk menyerang dan melemahkan lawan politik.
Proteksi hukum juga ditawarkan sebagai barter kepada politisi yang mempunyai masalah hukum.
"Hal lain, adalah menguatnya lagi pemikiran dwi fungsi militer. Hal-hal tersebut bagi Tom Power adalah beberapa karakteristik otoritarian Orde Baru yang diadopsi oleh pemerintahan Jokowi," tutur Nasrullah.
2. Salahgunakan Anggaran Negara
Tim hukum Prabowo-Sandi menuduh calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo melakukan kecurangan pemilu dengan menyalahgunakan anggaran negara.
Salah satunya mengenai kenaikan gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri.
"Akan sangat mudah dipahami bahwa penggunaan anggaran negara dan program pemerintah itu adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh paslon 01 yang memanfaatkan posisinya sebagai Presiden petahana," ujar Bambang.
Ada 7 kebijakan anggaran yang dipersoalkan tim hukum Prabowo-Sandi.
Ketujuh kebijakan itu yakni, menaikkan gaji dan membayar rapelan gaji PNS, TNI dan Polri.
Kemudian, menjanjikan pembayaran gaji ke-13 dan THR lebih awal, serta menaikan gaji perangkat desa.
Selain itu, menaikan dana kelurahan dan mencairkan dana Bansos.
Selanjutnya, kebijakan menaikkan dan mempercepat penerimaan Program Keluarga Harapan (PKH) dan menyiapkan skema rumah DP 0 persen untuk ASN, TNI dan Polri.
Menurut Bambang, seluruh kebijakan waktunya dilakukan berdekatan, atau bahkan beberapa saat menjelang hari pencoblosan pilpres 2019, yaitu pada awal tahun hingga pertengahan April 2019.
"Tujuannya adalah memengaruhi pemilih, guna memenangkan Pilpres 2019," kata Bambang.
3. Seruan Baju Putih
Bambang juga mempersoalkan seruan memakai baju putih ke tempat pemungutan suara (TPS) saat 17 April 2019, oleh pasangan capres cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf kepada pendukungnya.
Seruan mengajak pakai baju putih itu dianggap sebuah pelanggaran pemilu yang serius.
Pelanggaran yang dimaksud terkait asas pemilu yang bebas dan rahasia.
"Bukan hanya melanggar asas pemilu yang rahasia, ajakan memakai baju putih untuk menyoblos di tanggal 17 April itu juga adalah pelanggaran serius atas asas pemilu yang bebas," ujar Bambang Widjojanto, Ketua Tim Hukum 02.
"Karena, amat boleh jadi menimbulkan tekanan psikologis dan intimidatif bagi pemilih yang tidak memilih paslon 01 dan karenanya tidak berkenan memakai baju putih," tambah dia.
Bambang mengatakan, ajakan tersebut dilakukan oleh Jokowi yang bukan hanya seorang capres tapi juga presiden.
Menurut dia, ajakan itu mempunyai pengaruh psikologis yang akan mengganggu kebebasan masyarakat untuk memilih.
Pelanggaran asas pemilu yang bersifat rahasia dan bebas ini bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
Bambang mengatakan ini bisa disebut terstruktur karena dilakukan langsung oleh presiden.
Kemudian bisa disebut sistematis karena direncanakan dengan matang, yaitu mengenakan baju putih ke TPS pada 17 April.
"Dan bersifat masif, karena dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia, yang dapat memengaruhi psikologi pemilih dan amat mungkin menimbulkan intimidasi kepada pemilih, dan akhirnya bisa jadi membawa pengaruh bagi hasil Pilpres 2019," kata dia.
4. Iklan di Bioskop
Bambang Widjojanto, mengatakan bahwa iklan pencapaian pembangunan infrastruktur pemerintahan Presiden Joko Widodo di bioskop adalah kampanye terselubung.
Bambang mengatakan, iklan tersebut tidak dapat dianggap sebatas sosialiasi keberhasilan pemerintah yang wajar untuk dipublikasi kepada masyarakat, melainkan juga sebagai kampanye.
"Dengan pemikiran yang objektif dan jernih tentu kita bisa memahami bahwa hal ini merupakan kampanye terselubung, yang dilakukan Presiden Petahana Jokowi," ujar Bambang dalam sidang pendahuluan sengketa hasil pilpres, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).
Bambang mengatakan, pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin diduga melakukan kecurangan, yakni menggunakan anggaran negara untuk strategi pemenangan pasangan capres-cawapres nomor utrut 01.
Pasalnya, iklan tersebut dibiayai oleh anggaran dari Kemenkominfo untuk mengiklankan pencapaian pembangunan infrastruktur Presiden Jokowi.
"Kemenkominfo sudah menggunakan anggaran negara untuk mengiklankan klaim keberhasilan pembangunan infrastruktur yang dilakukan pada masa pemerintahan Jokowi," kata Bambang.
"Lagi-lagi dengan menyalahgunakan struktur birokrasi dan anggaran kementerian, guna strategi pemenangan Capres Paslon 01 Jokowi-Ma'ruf," tutur mantan Wakil Ketua KPK itu.
5. Dana Kampanye
Bambang Widjojanto menyoroti sumbangan dana kampanye pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Bambang Widjojanto menyoroti LHKPN Joko Widodo yang diumumkan KPU tercatat total harta kekayaan mencarapi Rp 50 miliar dengan kas dan setara kas Rp 6 miliar.
Kemudian, dalam laporan penerimaan sumbangan dana kampanye menunjukan sumbangan pribadi jokowi sebesar Rp 19,5 miliar berupa uang.
"Menjadi janggal ketika kas dan setara kas di dalam Harta Kekayaan pribadi Joko Widodo berdasarkan LHKPN hanya berjumlah Rp 6 Miliar, tertanggal 12 April 2019, mampu menyumbang ke rekening kampanye Rp 19 Miliar pada 25 April 2019. Dalam waktu 13 hari bertambah Rp 13 Miliar," ujar Bambang saat membacakan permohonan sengketa.
Selain itu Bambang juga menyoroti sumbangan dari perkumpulan golfer.
Menanggapi hal ini, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga, menegaskan bahwa Jokowi tak pernah menyumbang dana kampanye Rp 19,5 miliar sebagaimana yang dituduhkan oleh kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Soal masalah 02 yang mengadukan soal keuangan, itu Pak Jokowi enggak pernah nyumbang itu. Enggak ada itu, BW (Bambang Widjojanto) baca di mana itu, 02 itu baca laporan di mana itu," kata Arya saat dihubungi, Jumat (14/6/2019).
Arya pun menegaskan bahwa keuangan TKN untuk dana kampanye sudah diaudit oleh akuntan dari Komisi Pemilihan Umum.
KPU pun menyatakan tidak ada masalah dari keuangan TKN.
"BW dan kawan-kawan pengacara 02 itu tak baca detail mengenai itu semua. Sampai mengatakan itu, sudah hoaks juga itu. Pak Jokowi itu tidak ada nyumbang. Itu hoaks itu," ujar Arya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bantah BW, TKN Sebut Jokowi Tak Pernah Sumbang Dana Kampanye Rp 19,5 Miliar"