5 Fakta Pesawat Ethiopian Airlines Dipaksa Turun Jet Tempur F-16 TNI AU di Batam, Tak Ada Perlawanan

Pesawat Ethiopian Airlines Dipaksa Turun Jet Tempur F-16 TNI AU di Batam, berikut 6 fakta tentang kejadian tersebut.

KOMPAS.com/ CITRA INDRIANI
Pesawat Ethiopian Airlines diturunkan paksa oleh 2 jet tempur F16 TNI AU 

SURYA.co.id - Pesawat asing Ethiopian Airlines mendadak dicegat dua pesawat F-16 Fighting Falcon milik TNI AU dan memaksanya untuk mendarat di Bandara Hang Nadim, Kepulauan Riau, Senin (14/1/2019).

Danskadron 16 Lanud Rsn Pekanbaru Letkol Pnb Bambang Apriyanto mengatakan, pesawat asing Ethiopian Airlines tersebut dipaksa turun oleh dua pesawat F-16 TNI AU karena melintas di wilayah udara NKRI tanpa izin.

Setelah pesawat asing Ethiopian Airlines mendarat, TNI AU segera melakukan pemeriksaan dan memanggil pihak maskapai untuk diperiksa lebih lanjut.

Dilansir dari Kompas.com, berikut fakta terbaru pesawat asing Ethiopian Airlines diturunkan paksa oleh dua pesawat F-16 TNI AU di Batam

1. Melintas tanpa flight clearance

Dua pesawat tempur F-16 Fighting Falcon TNI AU Lanud Roesmin Nurjadin (Rsn) Pekanbaru, Riau, berhasil memaksa (force down) pesawat asing Ethiopian Airlines mendarat di Bandara Hang Nadim.

"Pesawat yang kami force down ini jenis Boeing B777 yang dioperasikan oleh maskapai Ethiopian Airlines dengan nomor registrasi ET-AVN," ungkap Bambang saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/1/2019).

Menurut dia, pesawat asing tersebut melintas di wilayah kedaulatan udara yurisdiksi Indonesia tanpa dilengkapi flight clearance (FC)

2. Tak ada perlawanan

Pesawat asing Ethiopian Airlines berhasil diturunkan dan memakan waktu lebih kurang 20 menit.

Hal itu disebabkan karena ada sedikit kendala ruang udara Indonesia yang dikendalikan Singapura.

"Kendalanya karena posisi pesawat Ethiopia saat itu berada di ruang udara Batam yang masih dikendalikan Singapura. Tapi semuanya berjalan lancar," ucap Bambang.

"Juga tidak ada perlawanan. Mereka mematuhi instruksi dari pilot F-16," tambah Bambang.

Dia menjelaskan, pesawat Ethiopian Airlines berangkat dari Addis Ababa, ibu kota Ethiopia, dengan tujuan Hong Kong.

3. Pihak maskapai diperiksa

Setelah pesawat Ethiopian Airline callsign ETH3728 dipaksa mendarat di Bandara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau, TNI AU Hang Nadim memeriksa pilot dan kru pesawat.

Di hari kedua, TNI AU melakukan pemanggilan terhadap pihak masakapai Ethiopian Airline.

"Proses pemeriksaan masih berjalan, bahkan hari ini pihak masakapai Ethiopian Airline tiba di Batam untuk memberikan keterangan," kata Kepala Penerangan dan Pustaka (Kapentak) Lanud Raja Haji Fisabilillah (RHF) Letnan Angger, Selasa (15/1/2019).

Kepada Kompas.com Angger mengatakan hasil pemeriksaan sementara, barang yang dibawa pesawat tersebut sama sekali tidak ada masalah.

"Saat ini kesalahannya murni dkarenakan maskapai ini melakukan penerbangan di wilayah kedaulatan udara yurisdiksi Indonesia tanpa dilengkapi Flight Clearance (FC)," jelas Angger.

4. Pengakuan Pilot

Dari hasil pemeriksaan sementara, TNI AU menemukan salah satu barang di dalam pesawat berupa engine.

Namun, pilot yang diketahui berkewarganegaraan Kanada tersebut, mengaku, tidak mengetahui hal tersebut karena tugasnya hanya menerbangkan pesawat dari Addis Ababa menuju Hongkong.

"Makanya kami lakukan pemanggilan terhadap pihak maskapai, dengan tujuan pihak maskapai bisa menjelaskan semua ini," kata Letnan Angger.

Sementara itu Kepala BUBU Bandara Hang Nadim Suwarso mengatakan sampai saat ini pesawat masih berada di apron Hang Nadim.

Selain itu, pesawat tersebut terpantau terbang rendah saat melintas Sumatera.

"Makanya begitu terdeteksi radar, dua unit pesawat tempur F16 Fighting Falcon TNI AU yang bermarkas di Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Riau langsung melakukan pengejaran," terang Suwarso.

5. Panglima TNI Langsung ke Lokasi

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengaku telah melihat langsung pesawat Ethiopian Airlines call sign ETH3728 yang dipaksa mendarat oleh TNI AU di Bandara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau.

Pesawat yang terbang dari Addis Ababa, Ibu Kota Ethiopia, menuju Hongkong itu, dipaksa mendarat karena tidak memasuki wilayah NKRI tanpa flight clearence.

Dari kunjungannya, diketahui bahwa Ethiopian Airlines tersebut membawa mesin pesawat.

"Kebetulan saya kemarin ke Batam melihat pesawat masih di sana, termasuk pesawat itu membawa apa," ungkap Hadi saat ditemui di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Rabu (16/1/2019).

"Pesawat itu membawa engine Rolls Royce dalam rangka melaksanakan overhaul engine pesawat di Hongkong," sambung dia.

Hadi kemudian menjelaskan kronologi kejadian. Awalnya ia mendapatkan laporan ada pesawat yang masuk wilayah Indonesia tanpa flight clearence.

Setelah itu, ia memerintahkan Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) untuk melakukan penurunan paksa menggunakan pesawat tempur F16 milik TNI Angkatan Udara.

"Saya minta pada waktu itu, siapkan pesawat F16 dari Pekanbaru melaksanakan intercept dan mendaratkan paksa di Batam," ungkap dia.

Selanjutnya, kasus tersebut diserahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Perhubungan

TNI AU Catat Ada 127 Kasus Pelanggaran Wilayah Udara Nasional

TNI Angkatan Udara mencatat ada 127 kasus pelanggaran yang terjadi di wilayah udara Indonesia selama tahun 2018.

Data tersebut diungkapkan oleh Kepala Sub Dinas (Kasubdis) Hukum Dirgantara Dinas Hukum Angkatan Udara (Diskumau) Kolonel Penerbang (PNB) Supri Abu, saat peluncuran buku "Penegakan Kedaulatan Negara di Udara" di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Senin (17/12/2018).

Dari total kasus tersebut, sebanyak 65 kasus melibatkan pesawat sipil, 48 kasus melibatkan pesawat negara, serta 14 kasus yang tidak teridentifikasi.

Sementara itu, sepanjang tahun 2017 terdapat 19 kasus, yang terdiri dari 2 kasus melibatkan pesawat sipil, 16 kasus melibatkan pesawat negara, dan satu kasus yang tidak teridentifikasi.

Lalu, terdapat sebanyak 49 kasus yang terjadi di tahun 2016. Rinciannya, 21 kasus melibatkan pesawat sipil, 5 kasus melibatkan pesawat negara, dan 23 kasus yang tidak teridentifikasi.

Selama lima tahun terakhir, jumlah kasus yang terjadi di tahun 2015 menjadi yang terbanyak yaitu 193 kasus.

Dari total tersebut, terdapat 39 kasus melibatkan pesawat sipil, 30 kasus melibatkan pesawat negara, dan 124 kasus melibatkan pesawat yang tidak teridentifikasi.

Lalu, di tahun 2014, TNI AUmencatat sebanyak 50 kasus terjadi, di mana 6 kasus melibatkan pesawat sipil, 3 kasus melibatkan pesawat negara, serta 41 kasus yang tidak teridentifikasi.

Supri menuturkan, kini pihaknya telah memiliki payung hukum untuk menindak tegas para pelanggar tersebut.

Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia.

"Untuk sekarang kalau pesawat sipil itu kita denda maksimal Rp 5 miliar, dulu kan Rp 50 juta sekarang Rp 5 miliar.

Itu tertuang dalam PP Nomor 4 Tahun 2018, itu sekarang menjadi dasar kita melakukan penegakkan hukum," ujar Supri, Senin.

Menurutnya, yang sekarang diperlukan hanya kemauan dari para pejabat terkait untuk mengeksekusi peraturan tersebut tanpa pandang bulu.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved