Mbah Rono Sebut Letusan Gunung Anak Krakatau Tak Berpotensi Tsunami, 'Kecil Kemungkinan,' Katanya
Seorang ahli vulkanologi, Surono atau Mbah Rono mengatakan terjadinya tsunami akibat letusan Gunung Anak Krakatau sangat kecil kemungkinan terjadi
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
SURYA.co.id - Seorang ahli vulkanologi, Surono atau Mbah Rono mengatakan terjadinya tsunami akibat letusan Gunung Anak Krakatau sangat kecil kemungkinan bisa terjadi, seperti dilansir dari Tribunnews
Pernjelasan Mbah Rono ini sekaligus menjawab peryataan sejumlah pihak yang menyebut tsunami yang melanda kawasan Selat Sunda bulan lalu, disebabkan letusan Gunung Anak Krakatau.
"Saya kaget, saya dulu pernah urus Anak Krakatau loh, sekarang seperti dikriminalisasi. Karena dari hasil penelitian apa pun, Gunung Anak Krakatau itu seperti anak muda sedang membangun tubuhnya," kata Mbah Rono dalam sebuah diskusi bertema 'Mitigasi bencana masih menjadi PR', di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (3/1/2019)
"Dan letusan sehebat apa pun juga, Anak Krakatau itu kecil kemungkinan bisa menimbulkan tsunami," sambungnya.
Mbah Rono juga menyebut beberapa faktor yang bisa mengakibatkan tsunami yang berkaitan dengan gunung api, salah satunya karena letusannya.
Namun, ada pula karena guguran lava yang masuk ke laut dalam jumlah besar, maupun longsoran gunung api tersebut.
Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ini meyakini, tsunami yang menerjang kawasan Selat Sunda tak ada kaitannya dengan letusan Gunung Anak Krakatau.
"Begitu banyak orang (menyebut) ini letusan (Anak Krakatau), ini bukan, ini (karena) longsoran. Karena apa? Kalau Anak Krakatau letusannya menimbulkan tsunami, ini letusannya Jakarta pasti dengar," ulas Mbah Rono.
Lebih lanjut, ia juga mengimbau agar alat di Gunung Anak Krakatau tidak boleh mati. Sebab, hal itu bisa berakibat fatal terhadap wilayah terdekatnya, yakni Lampung dan Banten, yang menjadi pusat wisata dan industri.
"Nah, untuk Anak Krakatau jangan pernah alat di Anak Krakatau itu mati, walaupun sering mati karena kejatuhan letusan, ganti lagi. Kenapa enggak boleh mati? Dua pulau, Sumatera Selatan dan Banten itu tempat wisata strategis, terus bergeser sedikit Cilegon itu industri, ini wilayah vital, enggak boleh lengah (mantau) Anak Krakatau," papar Mbah Rono
Kondisi Terbaru Gunung Anak Krakatau
Seperti diketahui, Gunung Anak Krakatau kembali erupsi pada Kamis (3/1/2019) pukul 12.03 WIB.
Erupsi Gunung Anak Krakatau ini diinformasikan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui laman resmi vsi.esdm.go.id.
Erupsi Gunung Anak Krakatau telah terjadi dengan tinggi kolom abu yang teramati kurang lebih 1.600 meter di atas puncak atau 1.710 meter di atas permuakaan laut (mdpl).
Diketahui erupsi Gunung Anak Krakatau ini terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 31 mm dan durasi 1 menit 10 detik.
Sementara itu, kolom abu teramati berwarna hitam dengan intensitas tebal condong ke arah utara dan timur laut.
Pada saat terjadi erupsi, tidak terdengar suara dentuman dari gunung yang saat ini memasuki level III (siaga).
Diimbau kepada masyarakat dan wisatawan di wilayah sekitar Gunung Anak Krakatau untuk tidak mendekati kawah dalam radius 5 kilometer dari puncak kawah.
Seperti diberitakan dari Kompas.com pada Kamis (27/12/2018), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian ESDM telah meningkatkan aktivitas Gunung Anak Krakatau dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga) pada Kamis (27/12/2018) mulai pukul 06.00 WIB.
Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo mengatakan, potensi bencana erupsi Gunung Anak Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 km.
Potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar, aliran lava dari pusat erupsi dan awan panas yang mengarah ke selatan.
Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.
Peningkatan status ini didasarkan pada hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 27 Desember 2018 pukul 05:00 WIB.
“Sehubungan dengan tingkat aktivitas Level III (Siaga) tersebut, masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Anak Krakataudalam radius 5 km dari kawah.Saat hujan abu turun, masyarakat diminta untuk mengenakan masker dan kacamata bila beraktivitas di luar rumah," ujar Purbo di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis.
Anton meminta masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung untuk tetap tenang dan dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat.
Di samping tu, retakan baru juga ditemukan di badan Gunung Anak Krakatau pada 1 Januari 2018.
Hal ini diungkapkan Kepala Badan Meteorologi klimatologi dan Geofisika (BMKG) Prof Dwikorita Karnawati di Posko Terpadu Tsunami Selat Sunda, Labuan, Kabupaten Pandeglang, Selasa (1/1/2019).
Dijelaskan Dwikorita, retakan muncul setelah gunung mengalami penyusutan dari sebelumnya 338 meter di atas permukaan laut (mdpl) menjadi hanya 110 mdpl.
"Pantauan terbaru kami lewat udara, gunung sudah landai, asap mengepul dari bawah air laut. Tapi di badan gunung yang tersisa di permukaan, ada celah yang mengepul terus mengeluarkan asap, celah itu pastinya dalam, bukan celah biasa," kata Dwikorita.
Dia mengatakan, terdapat dua retakan baru dalam satu garis lurus di salah satu sisi badan Gunung Anak Krakatau.
Dirinya menduga retakan terjadi lantaran adanya getaran tinggi yang muncul saat gunung erupsi.
Adanya retakan tersebut, dikatakan Dwikorita, membuat pihaknya khawatir, lantaran kondisi bawah laut Gunung Anak Krakatau saat terdapat jurang di sisi barat hingga selatan.
"Yang kami khawatirkan di bawah laut curam, di atas landai. Jika retakan tersambung, lalu ada getaran, ini bisa terdorong, dan bisa roboh (longsor)," ujar dia.
Bagian badan gunung yang diduga akan longsor karena retakan tersebut, bervolume 67 juta kubik dengan panjang sekitar 1 kilometer.
Volume tersebut lebih kecil dari longsoran yang menyebabkan tsunami pada 22 Desember 2018 lalu sekitar 90 juta kubik volume longsoran.
"Jika ada potensi tsunami, tentu harapannya tidak seperti yang kemarin, namun kami meminta masyarakat untuk waspada saat berada di zona 500 meter di sekitar pantai," kata dia.
Untuk memantau tsunami yang disebabkan Gunung Anak Krakatau, BMKG sudah memasang alat berupa sensor pemantau gelombang dan iklim.
Sensor tersebut dipasang di pulau Sebesi yang jaraknya cukup dekat dengan Gunung Anak Krakatau.
Dwikorita menyebut, nantinya alat tersebut akan bekerja memantau pergerakan gelombang dan cuaca yang disebabkan aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Jika ada gelombang mengalami fluktuasi yang tinggi, maka sensor akan mengirim sinyal ke pusat data yang terhubung.
"Secara pararel akan mengabarkan BMKG Jakarta, BPBD, dan Polda, akan diketahui lebih cepat jika ada gelombang tinggi seperti tsunami, jadi ada peringatan dini lebih cepat untuk masyarakat," pungkas dia.