Cerita Haru saat TKI Tuti Tursilawati Bertemu Ibunya sebelum Dihukum Pancung, Dapat Perlakuan Beda
Keluarga TKI asal Majalengka yang dihukum mati pemerintah Arab Saudi, Tuti Tursilawati sempat memiliki harapan anaknya bakal bebas.
Beban bu Iti makin berat ketika tahun lalu, ayahnya Tuti meninggal dunia karena sakit komplikasi dan juga beban pikiran tentang kasus Tuti. Persis bu Iti kehilangan tempat bersandar. Namun dalam kedukaan harus selalu semangat: saya harus sehat, biar Tuti tetap punya saya dalam menghadapi masalah ini, sambil terisak. Saya harus kuat, katanya. Kukatakan pada bu Iti, ibu perempuan kuat, pejuang. Saya juga seorang ibu dari dua anak perempuan. Saya belum tentu sekuat ibu jika berada pada posisi ibu.
Setahun terakhir terasa sangat berat dilalui. Sehari-hari ditemani adiknya Tuti yang sudah berkeluarga dengan seorang anak perempuan yang masih kecil, kira2 seusia dengan Sakwa, anak kedua saya. Cucunya itu merupakan pelipur lara. Ibu Iti jarang berani keluar rumah karena stigma dan pertanyaan masyarakat seringkali menyakiti. Jadi sudah dieksekusi ya? Pertanyaan itu sering dilontarkan oleh beberapa orang. Bu Iti selalu menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia masih terus berupaya dan Tuti masih rutin telpon sebulan 2 kali dari penjara. Kemlu juga rutin telpon untuk mengabarkan perkembangan kasusnya. Namun sebagian orang yang tanpa sensitifitas tidak puas dengan penjelasan itu dan mengatakan bahwa mereka baca dan melihat media menginfokan bahwa Tuti sudah dieksekusi. Hal itu yang membuat bu Iti trauma untuk keluar rumah.
Siang itu saat kami tengah ngobrol, telpon dari Arab masuk dan itu dari penjara. Tuti memberi kabar bahwa dia sehat dan ibunya bercerita tentang kunjungan kami yang datang untuk memberikan dukungan.
Jam menunjukkan pukul 15.30 dan kami pamitan karena harus mengejar kereta terakhir ke Jakarta melalui stasiun Cirebon. Dari Majalengka membutuhkan 2,5 jam plus 30 menit untuk makan siang yang lumayan udah telat. Tiga toples kue kering dan air mineral yang dihidangkan di meja tamu rumah Tuti tak tersentuh sedikitpun karena semua orang larut pada kesedihan. Cat dinding rumah warna pink jadi tidak nampak segar karena suasana. Saat pamitan saya memeluknya lama, air matanya tumpah menjadi-jadi menetes di baju saya.
Yang kuat ya bu Iti, pemerintah tengah mengajukan PK, semoga dikabulkan. Dan masyarakat sipil seperti kami juga bisa mengawal prosesnya dan mengambil peran people to people diplomacy.
Majalengka, 5 September 2018
Anis Hidayah."