Kilas Balik

Soekarno Sempat Sembunyikan Bendera Pusaka Saat Soeharto Jadi Presiden, Tempatnya Tak Terduga

Saat Soeharto diangkat jadi presiden RI, istana negara sempat dibuat gempar karena bendera pusaka disembunyikan oleh Soekarno. Simak ceritanya!

istimewa
Soekarno Sempat Sembunyikan Bendera Pusaka Saat Soeharto Jadi Presiden 

SURYA.co.id - Saat pertama kali Soeharto diangkat jadi presiden RI, istana negara sempat dibuat gempar karena bendera pusaka disembunyikan oleh Soekarno

Bendera Pusaka memiliki makna yang besar bagi bangsa Indonesia.

Kain merah putih yang dijahit oleh Fatmawati itu merupakan bendera yang dikibarkan pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Namun siapa sangka, keberadaan Bendara Pusaka sempat menjadi tanda tanya saat Soekarno lengser sebagai Presiden RI pada Maret 1967 dan digantikan oleh Soeharto.

Seperti dikutip dari buku 'Berkibarlah Benderaku-Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka' yang ditulis oleh Bondan Winarno

Bahkan, petugas Istana negara tak menemukan Bendera Pusaka tersebut.

Padahal, saat itu rencananya Bendara Pusaka akan dikibarkan pada upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1967

Soekarno ternyata membawa Bendera Pusaka keluar dari Istana setelah digantikan oleh Presiden Soeharto.

Istana negara sampai membentuk delegasi untuk menemui Soekarno

"Kenyataan bahwa Bendera Pusaka itu dijahit oleh Ibu Fatmawati dan merupakan milik pribadi Bung Karno, membuat kepemilikan benda bersejarah ini sempat menjadi masalah kecil," tulis Bondan Winarno

Delegasi yang dibentuk oleh Istana akhirnya menemui Soekarno di Istana Bogor.

Soekarno awalnya ragu saat ditanya keberadaan Bendera Pusaka.

Namun, Soekarno menyadari bahwa Bendera Pusaka yang dijahit oleh Fatmawati itu bukan lah milik pribadi, namun sudah menjadi milik bangsa Indonesia.

Soekarno lantas meminta delegasi untuk kembali menemuinya pada 16 Agustus 1967. Permintaan itu pun iyakan oleh delegasi.

Namun saat kembali menemui Soekarno pada 16 Agustus 1967, delegasi justru diajak Soekarno kembali ke Jakarta dan mendatangi Monumen Nasional (Monas).

"Ternyata Bung Karno menyimpan Bendera Pustaka di sebuah ruangan bawah tanah di kaki Monumen Nasional," tulis Bondan.

Setelah Bendera Pusaka diserahkan ke Istana, Presiden Soeharto tak langsung percaya bendera tersebut merupakan Bendera Pusaka.

Soeharto lantas memanggil mantan ajudan Presiden Soekarno Husain Mutahar untuk mengecek keaslian bendera tersebut.

Husain Mutahar adalah ajudan Presiden Soekarno yang mengamankan Bendera Pusaka saat Bung Karno dan Bung Hatta ditawan Belanda pada Agresi Militer Belanda ke dua.

Saat itu,  Mutahar diperintah oleh Soekarno menjaga Bendera Pusaka.

Agar tak disita Belanda, Mutahar sampai membuka jahitan bendara tersebut dan memisahkan warna merah dan putihnya.

Setelah Agresi Militer II Belanda selesai, Bendera Pusaka dijahit kembali dan diserahkan kepada Soekarno

Karena tahu betul Bendera Pusaka, Mutahar mengatakan bahwa bendera yang disimpan Soekarno di Monas adalah Bendera Pusaka.

Bendera Pusaka Merah Putih Berasal dari Kain Tenda Warung Soto

Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih adalah sebutan bagi bendera Indonesia yang pertama.

Bendera Pusaka dibuat oleh Ibu Fatmawati, istri presiden Soekarno.

Bendera Pusaka pertama kali dinaikkan pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Walaupun seharusnya Bendera Pusaka disimpan di Monas, Bendera Pusaka masih disimpan di Istana Negara.

Namun, tahukah Anda asal usul kain bendera itu sebenarnya?

Seorang pelaku sejarah, Brigjen TNI (Purn) Lukas Kustaryo menuturkan bagaimana lika-likunya saat ia berupaya mencari kain merah untuk bendera pusaka.

Ide ini pun muncul secara tiba-tiba.

Kala itu dari kancah romusha di Bayah, Banten Selatan, Shodanco Lukas diberi tugas secara inkognito membawa surat pribadi Tan Malaka untuk Bung Karno di Jakarta.

Sesampainya di Jl Pegangsaan Timur no. 56, Kustaryo melihat Ny Fatmawati menjahit bendera merah putih.

Saat itu bulan Agustus 1945, para tokoh pergerakan memang sudah terlihat sibuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Apalagi di kediaman Bung Karno terlihat kesibukan yang tidak seperti biasanya.

"Tapi saya lihat benderanya terlalu kecil, kira-kira hanya berukuran panjang setengah meter. Dalam hati saya berkata, kayaknya nggak pantas. Untuk proklamasi kok benderanya tak begitu bagus," begitu ujar Kustaryo seperti dilansir dari Majalah Intisari.

Karena tidak tega melihat bendera kecil itulah, atas inisiatif sendiri laskar Peta Pacitan ini berniat mencari kain yang lebih besar untuk bendera.

"Kalau tak salah Bu Fat sudah mempunyai kain seprai putih yang cukup panjang," tambahnya.

Tanpa tahu harus menuju ke mana untuk mencari kain merah, pemuda kelahiran Madiun, 20 Oktober 1920, ini lantas berjalan menyusuri rel KA dari Pegangsaan sampai Pasar Manggarai.

Di pinggir pasar ia melihat sebuah warung soto bertenda kain merah.

Nah, kebetulan pikirnya. "Saya tak lagi mikir jenis kainnya bermutu atau tidak. Meski saya lihat sudah tidak begitu bagus bahkan sudah robek, pokoknya kain tersebut masih bisa dipakai," kenangnya.

Maklum, di zaman Jepang mutu kain yang dikonsumsi rakyat amat jelek.

Terdorong rasa kebangsaan yang meluap-luap untuk segera mendapatkan kain bakal bendera itu, Kustaryo segera mendatangi si pemilik warung tenda.

Satu-satunya yang dipikirkan, bagaimana caranya mendapatkan barang tersebut.

"Saya beli kain ini dengan harga Rp 500,00, terdiri atas lima lembar ratusan uang zaman Jepang dari kocek saya sendiri.

Melihat uang segitu banyak, si tukang warung hanya terbengong-bengong saja. Transaksi waktu itu tidak berlangsung lama."

Setelah itu buru-buru ia membawa kain merah tersebut ke rumah Ibu Fat. Begitu diserahkan, Kustaryo langsung pergi lagi.

Bahkan ketika bendera itu dikibarkan pada saat proklamasi, ia pun tidak tahu.

"Setelah itu saya lalu pergi dari Jakarta, kembali bergabung dengan rekan-rekan pejuang lain.

Maklum waktu itu tentara Jepang yang bersenjata masih banyak berkeliaran. Belum lagi pasukan Inggris," kenangnya.

Selang beberapa tahun kemudian, suatu hari Kustaryo ketemu Ibu Fat lagi di Yogyakarta.

Iseng-iseng ia bertanya apakah bendera pusaka yang dikibarkan pada saat proklamasi tersebut, adalah bendera yang kain merahnya pemberian dia dulu.

"Bu Fat menjawab, benar! Kain merah yang saya jahit itulah pemberian Saudara.

Saudara memang sungguh berjasa. Terima kasih ... saya sampai lupa," begitu jawaban Ibu Fat seperti yang ditirukan Kustaryo.

Versi lain riwayat bendera pusaka ini, menurut Kustaryo memang belum pernah diketahui umum.

Apalagi beberapa saksi mata yang melihat Lukas memberikan kain tersebut kepada Ny Fatmawati, semuanya sudah tiada.

"Selain Bu Fat, yang sempat melihat adalah Bung Karno dan supir pribadi mereka. Kalau tidak salah namanya Pak Sarip."

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved