Berita Ekonomi Bisnis
Dua Perusahaan Baja di Surabaya Resmi Dimerger, GDS Diyakini Naikkan Kinerja
Dua perusahaan pabrik baja di Surabaya, PT Jaya Pari Steel Tbk (kode bursa JPRS) dan PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST) resmi merger menjadi PT GDS.
Penulis: Sri Handi Lestari | Editor: Parmin
SURYA.co.id |SURABAYA - Dua perusahaan pabrik baja di Surabaya, yaitu PT Jaya Pari Steel Tbk (dengan kode bursa JPRS) dan PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST) sejak Rabu (26/9/2018) telah resmi merger menjadi PT GDS usai menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa.
Dengan penggabungan ini, perseroan melihat potensi pengembangan kinerja yang lebih baik ditengah kondisi persaingan pasar yang semakin ketat.
"Manfaat dari penggabungan perusahaan ini, adalah perusahaan akan lebih fokus dalam kinerjanya. Misalnya JPRS berkonsentrasi dengan produk plat baja ukuran kecil, GDS dengan produk plat baja ukuran besar, kami maksimalkan, sehingga yang sebelumnya kami bersaing di pasar, saat ini bersinergi memberi kontribusi yang maksimal, sesuai dengan produk," ungkap Hadi Sutjipto, Direktur GDS, Kamis (27/9/2018).
Terkait penjualan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), saham JPRS akan langsung terkonversi ke saham GDST. Tanggal Pengumuman Hasil RUPSLB GDST dan JPRS akan dilakukan Jumat (28/9/2018), dengan jadwal dari KSEI, meliputi periode pengalihan saham dari pemegang saham yang bermaksud menjual sahamnya ke Rekening Penampungan KSEI (KSEI1 – 1092 – 001 - 96) pada 27 – 28 September 2018. \
Perkiraan tanggal pembayaran atas pembelian saham dari pemegang saham publik GDST dan JPRS yang tidak menyetujui rencana Penggabungan dan menyatakan maksud mereka untuk menjual saham-sahamnya pada 3 Oktober 2018.
Perkiraan tanggal terakhir perdagangan saham GDST dan JPRS sebelum penggabungan di BEI 4 Oktober 2018.
Perkiraan tanggal Efektif Penggabungan, yaitu berdasarkan tanggal penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar Perusahaan yang menerima oenggabungan oleh Menkumham atau tanggal yang ditetapkan dalam Akta Penggabungan 5 Oktober 2018.
Perkiraan tanggal awal perdagangan saham perusahaan hasil penggabungan di BEI 8 Oktober 2018.
Sementara terkait dengan aset, langkah penggabungan perusahan ini membuat kapasitas terpasang pabrik menjadi bertambah.
"Kapasitas terpasang di GDS mencapai 450.000 ton per tahun. Sementara JPRS mencapai 100.000 ton per tahun. Gabungan bisa tambah jadi 550.000 ton per tahun," jelas Hadi.
Sementara dari sisi kinerja, pihaknya akan lebih efisien dalam berbagai hal. Seperti manajemen, pembelian bahan baku, kontrak satu nama, efisiensi ongkos angkut, kapal, waktu dan lainnya.
"Tidak ada PHK dan imbas pada karyawan, kami tetap dengan 500an karyawan," ujar Hadi.
Terkait dengan pasar baja, saat ini kondisinya sama dengan pasar minyak dunia. Harga naik dan turun mengikuti harga Minya dunia.
Sementara pasar nasional, masih didorong dengan pembanguan infrastruktur yang masif. GDS mendapatkan porsi lumayan besar terkait proyek jembatan di Papua yang bahan baku plat baja dibeli di GDS dikerjakan oleh perusahan lainnya dengan lokasi perakitan di PT PAL Indonesia.
"Dari jembatan untuk Papua itu ada 6.500 ton baja yang dipakai, sekitar 80 persen dari kami," ungkap Hadi.
Selain itu untuk proyek-proyek nasional, produk GDS bergabung dengan produk baja dari perusahan lain untuk mendukung kebutuhan proyek yang dikembangkan oleh BUMN Karya.
Hadi tidak bisa menyebutkan infrastruktur mana yang menggunakan baja GDS, yang pasti pembangunan jalan tol di Jawa Tengah, karena kontur geografis daerahnya, membuat kebutuhan jembatan besar, sehingga kebutuhan baja juga ikut besar.
Sementara terkait dengan persaingan pasar, dengan masuknya produk baja dari Tiongkok akibat imbas perang dagang Tiongkok - Amerika Serikat (AS), GDS mengaku tidak keder. Mengingat pemerintah sudah memberikan regulasi anti dumping dimana ada aturan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) untuk produk impor.
"Kalau hitung-hitungan tenaga kerja, lokasi pabrik, dan lainnya, TKDN kita lebih unggul dan mampu bersaing," ungkap Hadi yang menyebutkan bila GDS saat ini ada di empat besar pabrik baja di Indonesia.
Terkait fluktuatif nilai tukar rupiah atas dolar AS, diakui membuah harga baja ikut naik. Hal itu membuat harga di pasar juga naik.
"Tapi untungnya demand tidak sensitif terhadap kenaikan harga baja. Karena memang proyek harus jalan terus," tandas Hadi.