Berita Tulungagung

Kisah Perajin Dupa Asal Tulungagung, Sempat Jadi Teknisi Taksi dan Banting Stir 'Meramu' Lidi Bambu

Bahan baku dupa ini adalah serbuk kayu, perekat dan parfum. Sedangkan gagang dupa yang terbuat dari bambu masih harus impor dari Tiongkok.

Penulis: David Yohanes | Editor: Titis Jati Permata
surya/david yohannes
Teguh menata dupa basah yang dijemur di samping rumahnya 

SURYA.co.id | TULUNGAGUNG - Seorang perempuan dengan cekatan memasukkan lidi bambu ke dalam mesin cetakan dupa.

Hanya sekedipan mata setiap lidi telah terbungkus serbuk kayu dan menjadi dupa basah.

Dalam waktu singkat dupa basah sudah menumpuk.

Seorang pekerja lainnya kemudian membawanya dengan troli kecil dan menjemurnya di bawah terik matahari.

Sementara pemilik usaha pembuatan dupa ini, Teguh Widodo (50) mengawasi dari kejauhan.

Di lokasi produksinya, di Perumahan Bumimas, Desa Tunggulsari, Kecamatan Kedungwaru, Teguh mempekerjakan 20 karyawan.

Mereka terdiri dari 9 kepala keluarga yang disebut Teguh sebagai tim. Masing-masing tim dibekali sebuah mesin.

“Target produksi saya setiap hari menghasilkan tiga kuintal dupa. Masing-masing kelompok sudah punya target produksi,” tutur Teguh, saat ditemui di tempat produksinya.

Teguh memulai usaha ini sejak tahun 2008. Sebelumnya ayah tiga anak ini bekerja di sebagai teknisi di sebuah perusahaan taksi di Surabaya.

Setelah memutuskan keluar dari tempatnya bekerja, Teguh ditawari untuk merintis usaha pembuatan dupa.

Ketika awal merintis, ia sebagai investor dan temannya menjalankan produksi.

Dengan modal awal Rp 50 juta usaha patungan ini dijalankan di Lumajang, tempat kelahiran Teguh. Usaha patungan ini terus berkembang.

“Sampai kemudian kami memutuskan untuk berpisah. Masing-masing membuat usaha sendiri,” ucap Teguh.

Tahun 2013 Teguh pindah ke Tulungagung, dengan alasan mendekatkan diri dengan kelaurganya.

Teguh kembali harus mengajari karyawan baru untuk membuat dupa.

Butuh tiga bulan hingga para pekerja baru ini mahir mengoperasikan mesin produksi.

Selama tiga bulan awal itu kapasitas produksi jatuh.

Namun setelah tiga bulan kapasitas produksi pulih, seperti saat masih di Lumajang.

Kini dalam satu bulan Teguh bisa mengirim 12 ton dupa.

“Pasar terbesarnya ke Bali dan Lombok. Karena kan kebutuhan dupa terbesar untuk Umat Hindu,” terang Teguh.

Sementara untuk pasar lokal hanya sekitar satu persen dari produksi.

Bahan baku dupa ini adalah serbuk kayu, perekat dan parfum.

Sedangkan gagang dupa yang terbuat dari bambu masih harus impor dari Tiongkok.

Pembuatan warna dupa berdasarkan pesanan. Namun secara umum ada tiga warna, yaitu merah, putih dan coklat.

Masing-masing warna mempunyai bahan baku yang berbeda.

Untuk warna merah biasanya menggunakan serbuk kayu jati. Untuk warga putih biasanya menggunakan serbuk kayu pinus.

Sedangkan warna coklat biasa menggunakan serbuk kayu merbau atau batok kelapa.

“Bahan bakunya bisa beli langsung beripa serbuk kayunya, tinggal kita kasih warna. Tapi tidak semua serbuk kayu bisa dipakai,” tambah Teguh.

Sebenarnya selain Lombok dan Bali, produk Teguh juga dilirik oleh konsumen di Dubai, Uni Emirat Arab.

Namun satu-satunya pasar Timur Tengah ini meminta kayu gaharu. Jumlah pesanannya juga terbatas.

Usaha dupa milik Teguh ini selama ini nyaris tanpa kendala.

Satu-satunya kendala adalah saat musim penghujan tiba.

Penjemuran yang mengandalkan sinar matahari jadi terganggu.

Teguh sebenarnya sudah menyiapkan sebuah mesin oven.

Namun kapastitas mesin hanya mampu 2 kwintal per hari, terlalu sedikit dibanding kapastitas produksi.
Biasanya untuk mengejar produksi, dupa dioven setengah kering kemudian dijemur diangin-anginkan hingga kering.

Omset usaha pembuatan dupa ini Rp 100 juta hingga Rp 150 juta per bulan.

“Biasanya sekali kirim 1 hingga 3 ton. Dalam satu bulan bisa beberapa kali pengiriman,” pungkas Teguh.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved