Kilas Balik

Firasat Sebelum Lengsernya Soeharto - Palu Sidang Mendadak Patah, Bu Tien Pernah Beri Pesan Penting

Sebelum Soeharto mundur dari presiden pada 21 Mei 1998, sempat terjadi sebuah 'firasat' yang menandakan presiden Soeharto akan lengser. Simak kisahnya

Kolase Tribun Bogor
soeharto 

SURYA.co.id - Sidang Paripurna ke-5 pada 11 Maret 1998 menandai terpilihnya lagi Soeharto menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya

Sebagai pimpinan sidang, Harmoko menutup sidang dengan mengetukkan palu sebanyak tiga kali.

Namun, saat itu palu sidang mendadak patah saat diketukkan.

Seperti dikutip dalam buku 'Berhentinya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Harmoko', karya Firdaus Syam (2008).

Kepala palu terlempar ke depan meja jajaran anggota MPR.

"Begitu palu sidang saya ketukkan, meleset, bagian kepalanya patah, kemudian terlempar ke depan...," ungkap Ketua DPR-MPR periode 1997-1999 Harmoko

Kejadian tersebut sedikit membuat Harmoko kaget.

Baca: Rahasia di Balik Kehebatan China Raih Juara Umum Asian Games 9 Kali, Begini Perlakuannya ke Atlet

Baca: Beredar Kabar Chat di WhatsApp (WA) & Ponsel Kita Disadap oleh Pemerintah, Kominfo: Ini Adalah Hoax

Baca: Kisah Agus Hermoto Prajurit Kopassus Penyandang Bintang Sakti, Rela Disiksa & Kehilangan Kaki Kiri

Sebab, insiden patahnya palu sidang ini pertama kali terjadi dalam sejarah persidangan MPR yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

"Bahwa hati saya bertanya-tanya," ujar Harmoko.

Usai sidang, seperti biasa pula, Harmoko mendampingi Presiden Soeharto meninggalkan ruang sidang paripurna.

Pertanyan-pertanyaan dalam benaknya tak kunjung sirna saat ia berjalan mengantarkan Presiden Soeharto menuju lift di Gedung MPR-DPR.

Sesampainya di depan lift, Harmoko menyatakan permohonan maaf kepada Presiden Soeharto. "Saya minta maaf, palunya patah.

Lantas Pak Harto hanya tersenyum sambil menjawab "barangkali palunya kendor"

Usai terpilih lagi menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya, Soeharto dihadapkan dengan aksi-aksi demonstrasi besar menentang pemerintahan.

Mahasiswa Universitas Trisakti menuntut reformasi pada 12 Mei 1998.

Aksi demonstrasi ini kemudian berujung tragedi.

Firasat Harmoko pun lantas terjawab.

Hanya dalam 70 hari setelah peristiwa patahnya palu, 21 Mei 1998, Soeharto memutuskan mundur dari jabatannya lantaran desakan publik.

Perjalanan Soeharto sebagai presiden RI selama 32 tahun pun patah bak palu yang diketukkan Harmoko.

Menurut Arwan Tuti Artha, penulis buku Dunia Spritual Soeharto, patahnya kepala palu di Sidang Paripura MPR ke-5 memberi isyarat patahnya perjalanan Soeharto di tengah jalan.

Baca: Pacar Kepo Isi Chat WhatsApp (WA) Kamu? Begini Cara Agar Dia Tak Bisa Membacanya

Baca: Benarkah Nonton TV Terlalu Dekat Bikin Mata jadi Silinder? Simak Penjelasannya & Cara Menanganinya!

Baca: Jadwal Pertandingan Asian Games 2018 Hari Ini, Jumat 31 Agustus 2018, Basket Indonesia Akan Main!

Sebenarnya, sebelum Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya, Siti Hartinah atau bu Tien sempat berpesan agar Soeharto jangan menjadi presiden lagi

Seperti diceritakan oleh Mien Sugandhi dalam buku "Pak Harto, The Untold Stories".

Pada tahun 1996, dalam sebuah upacara partai Golkar.

Menteri Negara Urusan Peranan Wanita saat itu, Ny.Mien Sugandhi, duduk berdampingan dengan Bu Tien.

Tiba-tiba bu Tien bilang ke Ny. Mien "Tolong katakan kepada...(menyebut salah satu petinggi partai Golkar), agar pak Harto jangan menjadi presiden lagi. Sudah cukup, sudah cukup, beliau sudah tua."

Mendengar perkataan Bu Tien, Ny.Mien menjawab dengan agak keheranan.

"Lo, kalau begitu siapa yang mumpuni untuk menggantikan beliau?" ujarnya.

"Biarlah itu diserahkan dan ditentukan oleh Pemilu saja. Aku sudah tidak mau lagi. Aku mau pergi, aku lungo (pergi). Pokoke aku lungo," kata bu Tien..

Ny.Mien Sugandhi lantas menyampaikan pesan bu Tien ke petinggi partai Golkar yang dimaksud.

Tak peduli dengan pesan yang dimandatkan bu Tien, petinggi partai Golkar itu kukuh menjadikan Soeharto presiden lagi.

28 April 1996 bu Tien wafat.

Belum genap tiga bulan menjabat presiden Indonesia untuk ketujuh kalinya, Reformasi Mei 1998 berkobar.

Soeharto tumbang, stabilitas nasional jomplang, Indonesia di ambang menjadi negara bangkrut saat itu.

Mien Sugandhi didalam hati berkata "Seandainya orang-orang yang dulu diberi pesan oleh Ibu Tien mendengarnya."

Di samping itu, tragedi tumbangnya rezim Orde Baru juga tak lepas dari sosok yang menjadi sahabat dekat Soeharto, Benny Moerdani.

Sejak masih berpangkat Kapten di TNI AD, Benny Moerdani sudah berhubungan akrab dengan Presiden Soeharto yang pada pada tahun 1960-an berpangkat Mayor Jenderal.

Pak Harto sangat mengagumi Benny Moerdani karena piawai dalam strategi tempur dan memecahkan masalah secara intelijen.

Sehingga masalah rumit baik di dalam maupun di luar negeri selalu dipercayakan kepada Benny Moerdani yang dikenal sangat loyal terhadap Soeharto.

Misalnya saja ketika Indonesia terlibat konflik politik dan militer dengan Malaysia (1964).

Pak Harto merasa kalau penyelesaian secara militer tidak menguntungkan Indonesia, lalu ia memutuskan untuk mengambil langkah intelijen serta diplomasi.

Tugas yang sebenarnya sangat berat dan tidak dikehendaki oleh Presiden Soekarno itu, diam-diam diserahkan kepada Benny Moerdani dan berhasil gemilang.

Indonesia dan Malaysia pun kembali berdamai serta terhindar dari bentrok militer yang bisa sangat merugikan kedua negara.

Dilansir oleh Nakita (grup Surya.co.id) dari buku 'Benny Moerdani Yang Belum Terungkap, Tempo, PT Gramedia, 2015' dan juga dari 'Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan, Julius Pour, Yayasan Kejuangan Panglima Sudirman 1993',

Ketika Soeharto menjabat Presiden RI kedua hingga lebih dari 30 tahun (1967-1998), Benny Moerdani pun terus dipercaya sebagai ‘tangan kanan’ Pak Harto.

Benny diberi tugas untuk menangani masalah keamanan, hubungan diplomatik dengan negara lain, dan sekaligus pengawal Presiden yang sangat loyal dan setia.

Tapi meski menjadi seorang yang loyal, Benny Moerdani ternyata seorang yang kritis dan berani memberi masukan serta teguran kepada Soeharto.

Benny bahkan berprinsip, ia harus bisa menjauhkan Soeharto dari orang-orang yang suka menjilat atau orang yang suka menfitnah demi mendapat perhatian.

Pada 1984 sejumlah menteri merasa risau dengan anak-anak Pak Harto yang sudah tumbuh dewasa dan mulai berbinis tapi dengan memanfaatkan kekuasaan bapaknya.

Bisnis anak-anak Pak Harto bahkan merambah ke soal pembelian alutsista yang seharusnya ditangani pemerintah dan ABRI (sekarang TNI), bukan oleh warga sipil.

Ketika ada kesempatan bermain biliar dengan Soeharto, Benny Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI memberanikan diri ‘menegur’ Pak Harto.

Ia mengingatkan soal bisnis anak-anak Pak Harto yang sudah merambah ke mana-mana dan terkesan memonopoli.

Pak Harto ternyata tidak terima oleh teguran Benny yang dianggap sangat kurang ajar dan setelah itu hubungan mereka berdua memburuk.

Benny Moerdami kemudian dicopot dari Panglima ABRI meski Pak Harto membantah jika pencopotan Benny akibat ‘teguran maut’ yang telah dilakukannya.

Pada Agustus 2004 Pak Harto menjenguk Benny Moerdani yang sedang sakit keras dan terbaring di Rumah Sakit RSPAD, Jakarta.

Di depan Benny, Pak Harto secara terus-terang mengakui bahwa teguran yang pernah dilontarkan Benny pada tahun 1984 ternyata benar.

Akibat bisnis anak-anaknya yang ikut memicu krisis ekonomi dan kemarahan rakyat terhadap keluarga Pak Harto, pada 21 Mei 1998, kekuasaan Soeharto pun tumbang.

Pak Harto juga menyatakan kepada Benny, jika teguran Benny itu dipatuhi, dirinya tidak akan sampai lengser dari kursi Presiden akibat demo besar-besaran dan kerusuhan sosial yang terjadi di mana-mana.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved