20 Tahun Reformasi: Kekecewaan Soeharto Pada Habibie Hingga Enggan Bertemu, Ternyata Ada Alasannya!

20 tahun pasca reformasi, ternyata Soeharto pernah menyimpan kekecewaan pada Presiden Ri yang ke tiga, BJ Habibie

Kolase Tribun Bogor

SURYA.co.id - 20 tahun yang lalu, tepatnya pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta.

Secara resmi jabatan presiden digantikan oleh wakilnya Soeharto saat itu, yaitu BJ Habibie.

Tak disangka, ternyata hari itu menjadi pertemuan terakhir antara Soeharto dengan Habibie.

Pada 9 Juni 1998, Habibie sempat berbicara melalui telepon, untuk mengucapkan selamat ulang tahun yang ke 77 kepada Soeharto.

Disamping itu, Habibie juga menyampaikan niatnya untuk menemui Soeharto.

Namun sayangnya, pemimpin Orde Baru itu menolaknya.

Dikutip oleh Grid.ID dari historia.id (21/05/2018),

"Tidak menguntungkan bagi keadaan sekarang, jikalau saya bertemu dengan Habibie.

Laksanakan tugasmu dengan baik, saya hanya dapat melaksanakan tugas sampai di sini saja.

Saya sudah tua", kata Soeharto.

Semenjak itu, Soeharto tidak pernah mau menemui Habibie lagi.

Habibie juga mengatakan kalau sampai di akhir tugasnya sebagai presiden, ia tidak pernah berhasil menemui Soeharto.

Presiden RI yang ke tiga ini mengaku sudah memakai berbagai cara untuk mengusahakan pertemuannya dengan Soeharto.

"Sampai saat berakhir tugas saya sebagai presiden, walaupun saya selalu berusaha lewat berbagai jalur, saya tidak pernah berhasil bersilaturahim dengan Pak Harto, baik lewat telepon, apalagi bertemu langsung", ungkap Habibie.

Habibie menganggap sikap Soeharto itu masih misterius.

Namun, ia meyakini jika Soeharto memiliki alasan tersendiri mengapa ia tak pernah mau menemui Habibie.

Habibie juga menyatakan, sejarah yang akan mengungkap teka-teki kemisteriusan Soeharto.

Pada 2010, adik Soeharto yang bernama Probosutedjo menerbitkan memoarnya yang bertajuk "Saya dan Mas Harto", karya Alberthiene Endah.

Di dalam memoar itu terungkap alasan mengapa Soeharto tidak mau bertemu dengan Habibie.

Menurut Probosutedjo, pada 19 Mei 1998 malam, Habibie sudah menemui Soeharto untuk mendiskusikan tentang perkembangan situasi yang saat itu sedang terjadi.

Awalnya, Habibie menyatakan jika dirinya tidak sanggup menjadi presiden jika Soeharto mundur.

Namun, setelah 14 menteri mengundurkan diri pada malam 20 Mei 1998, Habibie menyatakan jika dirinya sanggup menjadi pengganti Soeharto.

Kisah jatuhnya rezim Orde Baru pada 20 tahun lalu memang tidak bisa dilepaskan dari adanya aksi penolakan 14 menteri terhadap rencana Presiden Soeharto yang terjadi pada 20 Mei 1998.

Dikutip oleh Grid.ID dari Kompas (20/05/2018), bahwa Saat itu 14 menteri di bawah komando Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri, Ginandjar Kartasasmita menolak terlibat dalam Komite Reformasi atau Kabinet Reformasi hasil reshuffle.

Probosutedjo mengatakan jika pada saat itu Soeharto sangat kaget dengan pernyataan Habibie.

"Ini membuat kakak saya menjadi sangat kecewa. Hari itu juga dia memutuskan untuk tidak menegur atau berbicara dengan Habibie. Kabarnya, malam itu Habibie menghubungi Mas Harto lewat telepon, tapi Mas Harto enggan bicara", kata Probosutedjo.

Kekecewaan kedua Soeharto pada Habibie mengenai keputusan Habibie yang telah memberikan referendum kepada Timor Timur yang malah membuat provinsi tersebut lepas dari Indonesia.

Probosutedjo mengaku melihat kemarahan dari sorot mata Soeharto atas keputusan Habibie ini.

Tak hanya itu, masih ada kekecewaan ketiga yang dirasakan Soeharto terhadap Habibie.

Kekecewaan ketiga Soeharto pada Habibie diduga karena Habibie menyetujui pengusutan kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto selama berkuasa.

Pemerintah kemudian mengusut mantan Presiden RI ke dua itu yang ditetapkan dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

"Baginya, itu adalah sebuah penghinaan besar. Pengadilan terhadap Mas Harto terus dilakukan dan Habibie membiarkan hal itu terjadi", kata Probosutedjo.

Soeharto pernah satu kali dimintai keterangan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Sejumlah saksi juga telah diperiksa.

Namun sayangnya, Soeharto terserang stroke dan harus dirawat di RS Pertamina.

Ketika Habibie hendak menjenguk Soeharto, Tim Dokter Kepresidenan melarangnya.

Larangan itu bukan tanpa alasan.

Ketika Soeharto bertemu dengan Habibie, ada dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh Pimpinan Orde Baru itu.

Bisa jadi senang atau marah.

Kedua kemungkinan itu akan mengakibatkan gangguan emosi yang dapat meningkatkan pendarahan otak dan mengakibatkan hal yang fatal.

Setelah menerima laporan dari Kejaksaan Agung dan Tim Dokter Kepresidenan, Habibie mengajukan agar kasus Soeharto dideponir (ditutup dan tidak dapat dibuka lagi).

Setelah melalui diskusi yang mendalam dan profesional.

Hasilnya adalah kesimpulan untuk menutup masalah Soeharto dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan atau SP3 oleh Jaksa Agung. 

Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved