Berita Jember
Unej dan TNMB Jember Lakukan Pemberdayaan Masyarakat, Hasilnya Ciptakan Batik baru dan Ini
Tak hanya batik Meru Betiri, ICCTF Unej dan TNMB juga memberi pelatihan budidaya semut rangrang ke warga.
Penulis: Erwin Wicaksono | Editor: irwan sy
SURYA.co.id | JEMBER - Batik Meru Betiri merupakan batik jenis baru di Jember. Batik ini tercipta setelah The Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Universitas Jember (Unej) dan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) memberi pelatihan kepada ibu-ibu Desa Wonoasri, Tempurejo, Jember.
Keunggulan batik ini adalah penggunaan warna alami yang ramah lingkungan. Untuk menghasilkan batik Meru Betiri yang sempurna, harus melalui beberapa tahap proses produksi yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran ekstra.
Bahan-bahan yang digunakan adalah ranting tanaman mangrove, kulit kayu pohon jambal, dan pohon sengon. Dengan menggunakan bahan alami tersebut meminimalisir pencemaran air sisa pembuatan batik.
"Karena memakai bahan alami untuk pewarnaan, jadi meminimalisir pencemaran dari limbah yang dihasilkan," kata Rudi, selaku koordinator pewarnaan dalam produksi batik Meru Betiri.
Batik Meru Betiri mengusung filosofi vegetasi dan satwa yang ada di Taman Nasional Meru Betiri. Karenanya, desain batik ini di antara berupa inang raflesia, tawon raflesia, trenggiling, cabai, dan motif kera Meru Betiri.
"Inspirasi desain menonjolkan satwa atau tanaman TNMB," imbuh Sukmini Wardhani, salah seorang anggota Batik Warna Alam, Kehati Meru Betiri ketika ditemui di sanggar produksi (1/4/2018).
Proses tidak akan menghianati hasil, begitu kiranya yang bisa tergambar dari proses pembuatan batik Meru Betiri yang membutuhkan ketelatenan, kreativitas dan kesabaran demi menghasilkan mahakarya yang sangat bernilai.
Sukmini mengaku sangat bangga dengan pencapaian hasil karya batik ini yang menunjukkan gairah produksi tinggi.
"Produksi batik ini sangat membantu finansial ibu-ibu. Paling tidak ada masukan untuk mereka," ujarnya.
Batik Meru Betiri memiliki nilai seni tinggi dan dari segi bahan baku terbuat dari bahan-bahan alami yang ramah lingkungan. Harga jualnya tinggi mulai Rp 150.000 sampai dengan Rp 450.000.
"Tidak pernah menyangka sebelumnya goresan saya bisa terjual. Intinya saling melengkapi, karena goresan saya tidak ada artinya tanpa tangan ibu-ibu dan tim pewarna," ucapnya.
Tak hanya batik Meru Betiri, ICCTF Unej dan TNMB juga memberi pelatihan budidaya semut rangrang ke warga. Sama seperti batik, budidaya ini menjadi profesi sampingan yang cukup prospektif secara ekonomi bagi masyarakat setempat.
Budidaya tersebut menghasilkan kroto sebagai pakan burung berkicau. Perawatan dalam budidaya ini relatif mudah dan sederhana. Untuk pakan, cukup dengan memberikan belalang, jangkrik, tulang ayam, ikan dan air gula.
Ketua ICCTF Unej, Wachju Subchan, turut terjun ke lapangan dengan menanyakan perkembangan budidaya semut rangrang kepada peternak.

Pihaknya juga memberikan evaluasi mengenai perawatan dan memberikan dukungan terhadap warga agar supaya telaten dalam merawat budidaya semut rangrang tersebut.