BPJS Kesehatan
Industri Farmasi Panen Rp 65 Triliun Selama 2015 Gara-gara BPJS Kesehatan
#SURABAYA - "Pada Januari ini saja, peningkatan obat generic mencapai 15-25 persen,” ungkapnya.
Penulis: M Taufik | Editor: Yuli
SURYA.co.id | SURABAYA – Kondisi perekonomian ternyata tidak berpengaruh terhadap bisnis farmasi.
Buktinya, saat perekonomian sedang lesu, sepanjang tahun 2015 kemarin kinerja perusahaan farmasi di Jawa Timur malah moncer, capaiannya di atas target yang ditentukan.
Paulus Totok Lucida, Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Jawa Timur menyebut, dari target pencapaian sekitar Rp 60 triliun, para pelaku usaha farmasi berhasil mencatat capaian hingga Rp 65 triliun sepanjang 2015.
“Naik 20 persen dibanding tahun lalu,” kata Totok, Jumat (8/1/2016).
Kondisi ini, menurutnya, yang paling besar adalah akibat pemberlakuan BPJS Kesehatan oleh pemerintah.
Dengan jaminan kesehatan itu, semua lapisan masyarakat bisa berobat yang dampaknya jelas berpengaruh terhadap produksi dan penjualan obat-obatan. Semakin banyak orang berobat, semakin banyak pula obat-obatan yang terjual.
Tahun 2016, diyakini juga bakal terus meningkat. Pada Januari 2016 ini saja, sudah terlihat pertumbuhan sekitar 15-25 persen. “Terutama untuk obat generic. Pada Januari ini saja, peningkatan obat generic mencapai 15-25 persen,” ungkapnya.
Di Jawa Timur, sejauh ini tercatat ada 42 perusahaan farmasi. Dan tahun ini, dibocorkannya, bakal ada perusahaan asing yang datang ke Jawa Timur. Perusahaan itu bermain di sisi bahan baku hingga produksi.
Artinya, persaingan di bisnis ini juga bakal semakin ketat.
Tentang perusahaan farmasi dalam negeri, masih kata Totok, yang menjadi kendala selama ini adalah bahan baku. 90 persen bahan baku farmasi didapat dari impor. Karena itu, kinerja perusahaan farmasi sangat terpengaruh dengan fluktuasi nilai tukar rupiah.
“Karena itu, salah satu harapan pengusaha farmasi kepada pemerintah adalah permudahan izin, serta berharap untuk difasilitasi atau dimudahkan supaya ada infustri bahan baku di dalam negeri. Agar tidak terus-terusan impor,” tukasnya.
Butuh Regulasi Obat Pro Rakyat
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai bahwa besarnya nilai kapitalisasi industry farmasi tidak diimbangi dengan akses obat dan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat. Harga obat mahal, tapi pelayanan terhadap masyarakat sangat kurang.
Melihat kondisi ini, Kepala Kantor Perwakilan Daerah (KPD) KPPU Surabaya, Aru Armando berharap agar pemerintah mengeluarkan regulasi yang pro konsumen. Khususnya konsumen obat-obatan.
“Yakni regulasi yang menjamin konsumen atau pasien untuk mempunyai pilihan terhadap obat yang diresepkan,” kata Aru, Jumat (8/1).
Pilihan yang dimaksud adalah informasi kepada pasien terkait obat generic atau obat lain yang mempunyai kandungan sama dengan obat yang diresepkan dokter. Dengan informasi ini, pasien bisa memilih obat yang dibutuhkan.
“Jika tidak ada informasi, pasien kesulitan mendapat obat yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Padahal, bisa jadi terdapat obat yang kandungannya sama, dengan harga yang lebih terjangkau,” paparnya.
Selain informasi mengenai obat lain yang sejenis, pasien wajib mengetahui informasi Harga Eceran Tertinggi (HET) suatu obat.
Selama ini, masih kata Aru, tidak semua obat mencantumkan HET pada kemasan. Dan tidak semua apoteker pada apotek atau instalasi rumah sakit/klinik yang memberikan informasi mengenai HET kepada pasien.
“Ada dua pihak yang wajib memberi informasi mengenai pilihan obat sejenis dan HET. Yakni dokter dan apoteker. Namun, menurut kami, apoteker yang lebih tepat diberi kewajiban untuk memberi informasi kandungan obat dan HET kepada konsumen. Industri farmasi wajib mencantumkan HET pada produknya,” tandas Aru.
Menanggapi ini, Totok Lucida menyatakan bahwa semua produk obat sudah dincantumkan HET-nya. Tapi, ada yang dicantumkannya hanya di dus obat sehingga jika beli satu strip atau eceran tidak terlihat HET-nya.
“Hal ini juga harus dimaklumi, karena ekspayed obat rata-rata 3 tahun. Jika harga berubah, tentunya akan menjadi masalah. Dan perlu diketahui bahwa semua harga jual obat atas aturan pemerintah. Kalau ingin tahu tentang semua harga obat, KPPU bisa minta ke Kementrian Kesehatan,” jawab Totok.
Tentang kewajiban menginformasikan ke pasien, dia sepakat bahwa itu tugas apoteker. “Sebab, dokter hanya menulis generiknya. Tentang merek obat, apoteker yang memilihnya. Kalau ada generic harus dipilih generic, kalau tidak ada baru diberi patennya,” lanjutnya.