Musim Haji 2015
Jemaah dari Bali ini Berusia 108 Tahun
"Ya gini saya masih ingat apa saja yang dulu-dulu," ujar Sanusi, sesaat ditemui di Asrama Haji Embarkasi Surabaya (AHES), Minggu (13/9/2015).
Penulis: Sany Eka Putri | Editor: Parmin
SURYA.co.id | SURABAYA - Siapa sangka ada seseorang berusia hingga ratusan tahun, namun secara fisik dan ingatan ia masih prima. Seluruh kenangan masih diingatnya.
Jemaah kloter (kelompok terbang) 57 asal Bali, Buleleng ini menunjukkan rasa bahagianya dia bisa melaksanakan ibadah haji di tahun 2015. Dia adalah Sanusi.
"Ya gini saya masih ingat apa saja yang dulu-dulu," ujar Sanusi, sesaat ditemui di Asrama Haji Embarkasi Surabaya (AHES), Minggu (13/9/2015).
Pria itu mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 1907. Namun di surat keterangan ibadah haji, ia terlahir pada 1 Juli 1920.
Tak hanya itu saja, ternyata ia seorang veteran yang menyaksikan peperangan di Bali pada tahun kemerdekaan.
"Saya ingat pokoknya saya menembak kapal dari Belanda sampai hancur," cerita dia.
Ia pergi haji hanya berdua dengan cucunya, Zahrudin (48). Walaupun ketika berjalan ia hanya bisa dibopong dan mengenakan kursi roda, namun ia tak patah semangat.
Dikatakannya, dulu ia seorang pengusaha ikan bandeng di Bali. Sehingga ia kumpulkan untuk pergi haji. Namun begitu, jarak usianya dengan istrinya, Maimanah (68) sangat jauh, yakni selisih 40 tahun.
"Perginya kali ini sama saya, karena ibuk sudah haji duluan," kata Zahrudin.
Hal ini dikarenakan, pada tahun 2014 di mana ia seharusnya pergi haji, harus ditunda hingga tahun ini karena sakit dan harus opname di rumah sakit.
Selain itu, nama pria ini ternyata juga tertera di batu perjuangan di Bali. Yakni tercantum dan tertulis 'Babat Bali Pemuda Sanusi'.
Hal ini karena termasuk perjuangan yang telah Sanusi lakukan. Tak hanya Sanusi dari sekian jemaah yang menjadi inspirasi. Pasangan suami istri Sumarno dan Wiji ini harus merantau ke Bali untuk mencari rezeki.
Pasutri asal Solo ini sudah 67 tahun merantau di Bali. Keseharian mereka harus berjualan jamu keliling dan berjualan bakso.
"Saya jualannya jamunya keliling. Kalau bapak jualan bakso di sekolah," papar Wiji.
Pasangan yang dikaruniai dua anak ini mengaku di setiap aktivitasnya keduanya harus menggunakan sepeda ontel (pancal).
"Ke mana-mana sepedaan ontelan," kata dia yang tinggal di Denpasar.
Mereka menabung sejak tahun 2006. Dari penghasilan sehari yang tak menentu itu, semisal sehari hanya mendapatkan Rp 200.000 atau bahkan bisa kurang itu, awal menabung dalam satu tahun hanya mendapatkan Rp 5 juta.
"Ya kan banyak kebutuhan anak buat makan. Pas anak lulus semua, saya mulai nabung sama bapak untuk pergi haji. Alhamdulillah bisa terkumpul sampai lima puluh juta, trus daftar di kemenag daerah," papar dia.
