Event Surabaya
Undang-Undang Perselisihan Hubungan Industrial Beratkan Kaum Buruh
#SURABAYA - Peraturan itu tidak membuka kemungkinan adanya Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) non-permanen yang mempunyai kekuatan eksekusi.
SURYA.co.id | SURABAYA - Keberadaan Undang-Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI) memberatkan kaum buruh.
Soalnya, peraturan itu tidak membuka kemungkinan adanya Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) non-permanen yang mempunyai kekuatan eksekusi.
Akibatnya, proses mediasi atau konsiliasi dalam UU PPHI, yang merupakan bagian dari APS dan melahirkan anjuran, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Pandangan ini dikemukakan Iskandar Zulkarnaen, pemateri dalam Pelatihan Advokasi “Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial” di Hotel Walan Syariah, Surabaya, Sabtu (30/5/2015).
Panitia acara dalam siaran persnya untuk SURYA.co.id menyebutkan, Iskandar berpendapat bahwa anjuran mediasi atau konsiliasi sesuai dengan UU PPHI, tidak mempunyai peran penting dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasalnya, kata Iskandar, ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU PPHI, justru yang dibutuhkan dari tidak adanya kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui mediasi atau konsiliasi, adalah risalah mediasi atau konsiliasi sebagai syarat formil untuk mengajukan gugatan ke PHI.
“Pada prakteknya, tidak sedikit pengusaha yang justru berinisiatif membuat sengketa hubungan industrial, sehingga untuk mendapatkan kepastian hukum, maka pekerja/buruh didorong atau terdorong mengajukan atau melayani pengajuan gugatan ke PHI,” kata Iskandar.
Selain itu, ujar Iskandar, ketentuan Pasal 13 ayat (2) huruf a, dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI. Kedua pasal tersebut mengatur hal ihwal terbitnya anjuran sebagai kelanjutan dari tidak adanya kesepakatan antara pihak pekerja dengan pengusaha dalam menjalani proses penyelesaian perselisihan pada tingkat mediasi atau konsiliasi.
“Padahal, anjuran mediator tidak pernah dikenal dalam ranah hukum perdata. Selain itu, anjuran dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum, hanya formalitas telah melalui tahapan penyelesaian sengketa hubungan industrial pada tingkat mediasi atau konsiliasi,” tegasnya.
Karena itu, untuk memeriksa dan menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, harus melalui mekanisme gugatan kontentius sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 81 UU 2/2004, maka pekerja/buruh yang pendidikan hukumnya tidak cukup, acapkali justru berhadapan dengan keterbatasannya dalam membuat gugatan, jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan.
Kegiatan pelatihan advokasi buruh ini digelar oleh Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (FSP-KEP KSPI), Hari Sabtu – Minggu, 30-31 Mei 2015, di hotel Walan Syariah.