Seni Budaya
Ada Pagelaran Wayang Orang Bercitarasa Muda dan Gaul di Surabaya
Wajah, riasan, dan gaya para pemain wayang orang itu memancarkan aura muda, gaul dan enerjik.
Penulis: Magdalena Fransilia | Editor: Yuli
SURYA.co.id | SURABAYA - Pagelaran wayang orang identik dengan kesenian tradisional yang terkesan kuno, tapi jangan salah wayang orang Sriwedari asal Surakarta Jawa Tengah akan mengubah presepsi lawas itu.
Mengangkat cerita Mahabandhana, pergelaran seni kombinasi drama, tari dan kesenian tarik suara itu ditampilkan di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur, Sabtu (11/4/15).
Mahabandahana yang menceritakan kekuatan tali-tali berbisa dibawakan para pemain pada usia produktif, antara 20 sampai 30an tahun. Wajah, riasan, dan gaya mereka memancarkan aura muda, gaul dan enerjik. Meski dibalut kostum tradisional wayang pada umumnya, tapi justru itu yang membuat mereka terlihat anggun.
Penampilan diiringi musik gamelan, perkusi, yang dikombinasi alat musik modern ala barat. Panggung dibalut kain hitam nampak elegan, diterangi lampu warna warni dan asap layaknya konser spektakular. Para pemain menggunakan suara mereka sendiri (tanpa dubbing), dan nembang/ menyanyikan lagu memakai suara sendiri.
Wayang orang Sriwedari telah dijadikan ikon Kota Solo. Untuk itulah, perekrutan pada pemain tak sembarangan. Buktinya, pada Januari 2015 Pemerintah Kota (pemkot) Surakarta mengadakan seleksi untuk mengangkat 30 seniman muda sebagai pegawai dalam grup itu.
Penampilan perdana mereka di Surabaya ini disambut hangat Ketua UPT Taman Budaya Jatim Sukatno. Bahkan ia terlibat langsung membawakan karakter Prabu Gilian Sembul raja 1000 negara. Padahal dalam cerita sesungguhnya karakter itu tak pernah ada. “Itulah kekuatan kesenian wayang orang, sangat dinamis. Dapat menerima sisipan cerita lain diluar cerita utamanya,” ujar Agus Prasetyo sutradara cerita wayang orang ini.
Menurut Sukatno, dirinya sudah lama tak bermain dipanggung secara formal. Setelah pada 2013 menjadi duta seni Perancis, serta penampilan terakhirnya di ulangtahun Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) lewat pertunjukan panggung ketoprak pejabat. “Ini suatu kehormatan, sambil saya nostalgia pribadi,” terang Sukatno antusias.
Agus Prasetyo menjelaskan penampilan grup Sriwedari kali ini berbeda. “Rutinitas mereka bermain tanpa teks, full improvisasi. Kali ini memakai penaskahan khusus, serta casting dan musik yang lebih rancak. Mengalahkan pertunjukan opera, “ paparnya.
Pasang surut perjalanan grup ini membuatnya ingin tetap mempertahankan seni, namun dibubuhi sentuhan modern yang tak merusak esensi wayang orang sesungguhnya. Tetap ada pakem-pakem tertentu yang mereka jaga, untuk mempertahankan karakter asli tiap tokoh.
Menjadi tantangan tersendiri bagi Irwan Riyadi selaku penulis naskah yang terbiasa membuat script berbahasa Indonesia, kini harus menyusun pakai bahasa Jawa. “Biasanya cepat, kali ini butuh waktu 3 bulan untuk mempersiapkannya,” kata alumni STSI Surakarta lulusan 1997 itu.
Irwan menceritakan sedikit penggalan pentas drama wayang orang yang berlangsung selama 2 jam tersebut. “Ada sayembara untuk mendapatkan Dewi Kunthi. Raja-raja datang untuk memamerkan kelebihan mereka, Kunthi berhak memilih. Nantinya Kunthi akan diboyong Pandu ke Hastinapura. Yamawidura, adik Pandu selalu mendukung kakaknya di tahta pemerintahan,” jelas Irwan.
Beberapa pemain utama mengaku tak kesulitan membawakan peran sebab latar belakang mereka berasa dari jurusan seni. Eny Sulistyowati (24) pemeran Kunthi mengaku tak masalah membawakan peran itu. “Saya baru gabung 1 tahun, mempelajari pendalaman karakter tapi tak kesulitan. Kunthi punya karakter halus, luruh dan penurut jadi tidak menyulitkan,”ungkap lulusan Institut Kesenian Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan tari lulusan 2013 itu.
Heru Purwanto (34) sebagai pemeran Yumawidura menyampaikan hal yang sama. “Sudah biasa, saya malah sejak TK sudah menggeluti ini, sudah nggak kaku lagi,” ungkap alumni ISI lulusan 2010. Ia mengaku sudah sering membawakan karakter Abimanyu dan Janaka.
Jumlah pemain utama sebanyak 45 orang diharapkan mampu menghibur ratusan penonton yang hadir menyaksikan. Mereka ingin menghilangkan kesan feodal, ditayangkan semalaman, serta membuat orang mengantuk.
“Wayang orang itu bagus, pesannya mengedukasi namun tidak menggurui. Saya optimis penonton bisa capai 1000 orang. Kapasitas gedung 600 kursi, diluar dibuatkan layar lebar yang bisa menampung 400an orang,” ujar Heri Lentho humas Cak Durasim.
Sementara itu, Irwan Riyadi mengaku gelisah mencari bentuk wayang orang kedepannya seperti apa. Sehingga grup itu bermaksud menyegarkan kembali kesenian tradisional, dengan menjaga keklasikan wayang, mempertahankan filosofi untuk memenuhi keinginan pasar dan kebutuhan estetika.