Inovasi
Mahasiswa Surabaya Ciptakan Sensor Detak Jantung Tanpa Kabel
Mahasiswa bernama Eka Sari Oktarina itu menciptakan alat deteksi jantung elektronik. Bisa digunakan untuk mendeteksi sinyal denyut jantung.
Penulis: Magdalena Fransilia | Editor: Yuli
SURYA.co.id | SURABAYA - Keinginan memajukan teknologi di bidang kesehatan membuat mahasiswa S1 jurusan Sistem Komputer di STIKOM Surabaya tergerak menyalurkan keilmuanya dari sisi teknis.
Mahasiswa bernama Eka Sari Oktarina itu menciptakan alat deteksi jantung elektronik. Meski masih dalam bentuk prototipe namun alat ini sudah bisa digunakan untuk mendeteksi sinyal denyut jantung sekaligus mentransfer data dalam bentuk grafik di komputer.
Eka Sari Oktarina, inovator itu, menerangkan, alat sensor detak jantung yang memanfaatkan jaringan nirkabel atau wireless itu dibuat seefisien mungkin. Tujuannya memudahkan dokter dan menjaga privasi pasien yang hendak diperiksa.
“Mungkin selama ini orang sungkan membuka sedikit bajunya saat ditempeli stetoskop. Apalagi kalau dia perempuan, diperiksa dokter laki-laki,” ungkap dara kelahiran 4 Oktober 1991 itu di kampusnya, Jalan Kedung Baruk, Surabaya, Jumat (10/4/2015).
Selain itu, ia menganggap penyakit jantung merupakan jenis penyakit mematikan, selain kanker, diabetes dan gagal ginjal. Risiko serangan jantung pada usia di bawah 45 tahun mencapai 10 persen.
Sekitar 17 juta orang meninggal tiap tahun karena serangan jantung.
Faktor jarak, alat, biaya dan banyaknya jumlah pasien menjadi kendala tersendiri sehingga ia ingin membuat alat yang mampu mengirim data serempak dari beberapa pasien pada dokter yang menangani.
Alat tersebut berdimensi sangat kecil, hanya butuh 5 volt. Sehingga praktis bisa dibawa k emana saja. Mengadopsi teknologi wireless censor network (WSN) yang bekerja memancarkan gelombang radio melalui alat semacam stetoskop.
Cara kerjanya sederhana, alat sensor stetoskop diletakkan pada jantung pasien yang secara otomatis mengahasilkan data. Data tersebut diolah mikrokontroler kemudian ditampilkan pada komputer 1 yang dipegang suster (layar terminal pengukur jantung).
Tak lama, data itu akan mentranfer otomatis melalui signal pemancar radio yang bisa membaca gambar grafik denyut jantung pada komputer 2 yang dipegang dokter (layar penerima sinyal jantung).
Software yang dipakai menggunakan bantuan Microsoft Visual Basic. Radius pemancar radionya bisa 40 meter di dalam ruang, 100 meter bila di luar ruangan.
Meski demikian, Eka mengakui kelemahan alat buatannya, “Pengaruh tembok pembatas membuat sinyal melemah, sehingga masih ada ganguan pada gelombang radio,” ujar peraih IPK 3,86 itu.
Alat yang dibuat selama 6 bulan ini memiliki keunggulan, pasien tak perlu khawatir terjadi kesalahan data yang diterima dokter.
“Data yang dikirim ke komputer dokter itu, antara pasien satu dengan lainnya diberikan ID khusus. Sehingga akan terlihat jelas perbedaannya,” ungkap Dr Jusak pembimbing proyek Tugas Akhir (TA) tersebut.
Alat ini dikerjakan menggunakan dana penelitian hibah dari Dikti, dan dikerjakan dalam waktu enam bulan. “Untuk penelitian ini dana yang dihabisakan untuk beberapa kali percobaan mencapai Rp 7 juta, karena harga sensor stetoskopnya saja sampai Rp 1,3 juta,” tambah Dr Jusak.