Ki Joyo Membuat Batik dengan Warna Alami dan Ritual Khusus.
Ferry Sugeng Santoso (34) atau yang memiliki julukan Ki Joyo ini memiliki caranya sendiri untuk ikut melestarikan warisan budaya.
Penulis: Rahadian Bagus | Editor: Heru Pramono
SURYA Online, PASURUAN - Ferry Sugeng Santoso (34) atau yang memiliki julukan Ki Joyo ini memiliki caranya sendiri untuk ikut melestarikan warisan budaya. Pria kelahiran Pasuruan 24 April 1980 ini menuangkan keindahan alam di Kabupaten Pasuruan dalam bentuk karya batik yang memiliki nilai seni serta nilai jual yang tinggi.
Dengan tangan terampilnya, ia bisa mampu menghasilkan karya seni batik berukuran 2,5 meter persegi yang laku dijual dengan harga Rp 25 Juta. Karya-karya batiknya yang ia sebut memiliki filosofi itu juga banyak digemari oleh warga Singapura dan Malaysia.
Ditemui saat mengikuti pameran di gedung sentra bordir, Kecamatan Bangil, pria berkacamata ini menceritakan awal ia merintis usahanya. Ia mengaku sebagai seorang perajin batik tulis dengan konsep pewarnaan yang alami. Dia memanfaatkan bahan-bahan di alam untuk ia jadikan sebagai pewarna batik alami.
Sedangkan motif-motif batik yang ia hasilkan, terinsipirasi dari keindahan alam di Kabupaten Pasuruan. Misalnya keindahan gunung bromo yang dilihat dari penanjakan yang berada di Pasuruan. Sebagai contoh, dia membuat batik yang ia beri nama batik Pakrida, singkatan dari Penanjakan dan Krisan Sedap Malam.
Warga Dusun Pajaran, Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan, ini mengatakan selain menggunakan pewarna alami, batik buatannya juga ada yang memiliki kelebihan lainnya. Ada beberapa batik karyanya yang ia buat dengan harus menjalani ritual puasa dulu. Batik tersebut, kata dia memiliki kekuatan magis apabila dikenakan si pemilik.
"Misalnya batik dengan motif Tali Sukmo, cocok dipakai bagi yang belum menemukan jodoh," terangnya saat berbincang, dengan Surya, Sabtu (26/7/2014)
Untuk membuat batik filosofi yang memiliki kekuatan magis itu, bia membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk satu batik, bisa memakan sebulan bahkan bisa setahun. Tak heran, jika batiknya diminati banyak kolektor. Mulai dari kolektor dalam negeri hingga kolektor dari manca negara.
Kemampuannya membatik, sudah dipelajarinya sejak sejak 2005 silam. Dia mengaku, bakat membatiknya turun dari ibunya yang bernama Sri Kholifa (55). Maklum, ibunya juga seorang pembatik.
Ferry mengaku, pada awalnya dia memang sempat menggunakan pewarna sintetis dalam pembuatan batik. Hingga akhirnya pada 2006, lalu dia mendapat ilmu penggunaan pewarna alami dari mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Kementrian Perindustrian, di Yogyakarta.
Selama mengikuti pelatihan, ia belajar dengan sungguh-sungguh. Tak butuh waktu lama, untuk dia belajar dan mengaplikasikan materiyang ia dapat selamat mengikutipelatihan. Kini, ia sudah menguasai cari meracik pewarna dari bahan-bahan alami.
Beberapa bahan yang dia manfaatkan, di antaranya kulit kayu Mahoni yang dapat menghasilkan warna merah marron, merah segar, serta coklat. Kemudian, daun mangga jenis Black Liandra yang merupakan varietas mangga berasal dari India mampu menghasilkan warna (klorofil) kuning, indigo vera tingtoria atau tanaman nilo khusus untuk membuat warna biru, serta lesumba keling (bixa orellana) yang menghasilkwan yang unik.
"Saya ikut pelatihan dari kementrian perindustrian di Jogja, untuk pewarnaan dan manfaat pewarna alami. Seperti untuk pembuatan warna coklat, itu bisa dibikin dari kulit kayu mahoni. Atau warna-warna lainnya yang dari alam, akhirnya saya bisa kuasai," kata pria berambut panjang ini.
Sedangkan kemampuan spiritualnya, ia pelajari dari seorang guru yang enggan ia sebut namanya. Ia menerapkan kemampuan spiritualnya, pada saat membatik. "Saya belajar spiritual dari guru saya. Dan ilmu spiritual itu, saya aplikasikan ke batik," terangnya.
Berkat keunikan batiknya, harga batik yang dia buat mempunyai nilai jual yang cukup tinggi. Batiknya, ia jual dengan harga yang cukup bervariatif, mulai dari harga Rp 100 ribu - Rp 15 juta per lembarnya. Bahkan batiknya pernah dibeli seorang kolektor batik dengan harga Rp 25 juta.
"Memang cukup mahal harganya. Sebab, batik yang saya buat bukan batik sembarangan," ujar pemilik home industry Alam Batik ini.
Berkat prestasi serta usahanya merintis home industry batik, dia kerap mendapatkan undangan untuk mewakili Kabupaten Pasuruan, dalam setiap kegiatan pameran. Bahkan, Bupati Pasuruan, Irsyad Yusuf yang tertarik dengan karya batiknya berencana menjadikan batik Pakrida yang menggambarkan alam di Penanjakan Bromo serta indahnyabunga Krisan Sedap Malam sebagai motif batik khas Pasuruan.