Tujuh Anggota Sindikat Pemalsu Setoran Pajak Dibekuk Polisi
SURABAYA - SURYA- Masyarakat pembayar pajak hendaknya datang sendiri ke Kantor Pembayaran Pajak (KPP) tanpa melalui jasa konsultan atau calo. Sindikat pembuatan validasi pajak (bukti bayar ke bank) palsu dibongkar anggota Satuan Pidana Umum (Pidum) Reskrim Polwiltabes Surabaya, Senin (22/3).
Salah satu karyawan konsultan pajak, Drs Fatchan dan enam anak buahnya yang beroperasi sejak 2005 di Surabaya dan sekitarnya dijebloskan ke tahanan. Terbongkarnya jaringan ini setelah penyidik menerima laporan dari David Sentono, 40, Direktur PT Putra Mapan Sentoso yang berkantor di Ruko Mangga Dua Blok B.
Awalnya, pemilik usaha penjualan oli itu mendapat teguran dari Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pembayaran Pajak (KPP) Wonocolo. Intinya, Surat Setoran Pajak (SSP) korban yang pembayarannya lewat Drs Fatchan dinyatakan palsu atau tidak disetorkan.
Padahal korban yang memiliki tiga perusahaan di bidang yang sama itu sudah setor uang Rp 934 juta ke konsultan pajak Agustri Junaidi di Puri Indah, Sidoarjo. Namun uang itu tidak dibayarkan oleh staf Agustri. “Korban lapor ke Polwiltabes Surabaya karena merasa dirugikan. Ini baru satu perusahaan, belum perusahaan lain,” tutur Kasat Reskrim Polwiltabes Surabaya AKBP Anom Wibowo, Senin (22/3).
Dari pengaduan itu, Kanit Pidum AKP Arbaridi Jumhur bersama anak buahnya lalu menangkap Drs Fatchan, 45, asal Medayu Utara VII di rumahnya. Dari penangkapan Fatchan, polisi menangkap enam anak buahnya yang masing-masing punya tugas sampai berhasil dicetaknya SSP palsu.
Mereka M Mutarozikin, 33, asal Jl Mutiara, Perum GKB Driyorejo Gresik; Gatot Budi Sambodo, 42, warga Jl Dinoyo Langgar Surabaya; Herlius Widhia Kembara, 26, Jl Gunung Anyar Surabaya; Totok Suratman, 37, warga Jl Kalidami Surabaya; M Soni, 35, warga Kendangsari XI Surabaya; dan Siswanto, 35, warga Taman Pondok Legi IV, Waru Sidoarjo. Siswanto pernah ditangkap Unit V Reskrim Polwiltabes Surabaya karena terlibat pembuatan faktur pajak fiktif pada 2005.
“Siswanto waktu itu menjadi pekerja harian lepas (PHL) KPP Wonocolo,” ungkap penyidik, Senin (22/3).
Modus Fatchan Cs untuk memperoleh SSP palsu ini, misalnya Fatchan mendapat proyek dari seorang wajib pajak, proyek itu lalu diserahkan ke calo pajak yang beroperasi di beberapa wilayah. Uang korban yang nilainya sesuai di SSP yang sudah dikantongi Fatchan langsung dipotong 10 persen.
Di alur pertama dalam kasus uang pajak David, setelah menerima uang pajak, Fatchan menyerahkan pengurusannya ke M Mutarozikin dan uangnya dipotong 20 persen. Tersangka Mutarozikin lalu menyerahkan uang itu kepada tersangka Gatot Budi Sembodo dan uangnya dipotong 15 persen. Gatot lalu memberikan ke Herlius Widhia Kembara dan uang dipotong 19 persen. Herlius menyerahkan ke Totok Suratman dan uang dipotong lagi 6 persen.
Terakhir, Totok menyerahkan uang ke Siswanto untuk menggarap SSP palsu. SSP yang dipalsukan itu milik Bank Jatim. Dalam menggarap SSP, Siswanto memotong uang itu 25 persen. Tersangka mengerjakannya sendiri di rumah lewat laptop.
Dari file yang dibuka penyidik, ada sekitar 500 SSP dikerjakan tersangka. Dari perusahaan mana saja, penyidik tidak tahu karena tersangka saat mengerjakan di laptop hanya mengganti nama perusahaan saja. “Di data komputer tersangka hanya terlihat kotak saja, nama perusahaannya tidak terdeteksi,” jelasnya.
Dijelaskan Kasat Reskrim, jika asumsinya ada 500 wajib pajak yang ditilep, keuntungan sindikat bisa miliaran. “Satu perusahaan saja uang yang dikemplang kelompok ini mencapai Rp 934 juta. Kalau 500 perusahaan, berapa kerugian negara,” jelasnya.
Setelah SSP palsu selesai, Siswanto mengembalikan lewat orang yang memberinya proyek yakni Totok hingga balik lagi ke Fatchan. Dari Fatchan, SSP palsu diberikan kepada Moizul Umam (bukan tersangka), petugas penerima pajak di KPP Wonocolo. “SSP itu diterima oleh Moizul Umam tanpa dicek asli atau palsu,” terang AKBP Anom Wibowo.
Yang membuat curiga penyidik, kalau ini kelalaian, mengapa berlangsung bertahun-tahun. “Masak orang pajak tidak tahu ciri dari kertas yang dipakai dan hurufnya,” kata seorang penyidik.
Dari keterangan saksi Mirza Pahlevi, Kabag Penelitian Pembayaran Pajak menyatakan jika SSP itu palsu. Dikuatkan lagi pengakuan saksi Sri Bondan dari Bank Jatim juga menyatakan SSP bikinan Siswanto palsu.
AKBP Anom menegaskan akan terus menyelidiki dan berkoordinasi dengan KPP Wonocolo.
Tersangka Fatchan yang diperiksa penyidik mengaku selama 5 tahun ‘bermain’ SSP palsu, ia bisa membeli rumah dan tanah yang kini dijadikan barang bukti. Dari tersangka Siswanto, penyidik menyita mobil Daihatsu Taruna tahun 2007 dan sepeda motor. Di rumah Siswanto, penyidik menyita tiga laptop, printer, stempel Bank Jatim, Bank Mandiri dan Kantor Pos. Kepada wartawan, Siswanto mengaku order yang masuk dia kerjakan sendiri.
Sudah Lama Terendus
Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jatim I Ken Dwijugiasteadi mengatakan, tengara sindikat pembuat SSP palsu sudah lama terendus. “Tapi itu bukan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak untuk mengusut, karena sudah masuk tindak pidana umum. Jadi biar pihak kepolisian yang menangani,” katanya, Senin (22/3).
Yang pasti, peristiwa itu terjadi karena si wajib pajak (WP) memanfaatkan jasa calo. “Saya sudah mengimbau sejak dulu agar pembayaran pajak dilakukan sendiri, tidak melalui perantara alias calo. Pembayaran pajak saat ini sudah sangat mudah, baca aturan atau prosedurnya kemudian tinggal bayar ke bank. Kalau melalui calo atau perantara yang mengatasnamakan diri sebagai konsultan, tentu biayanya akan membengkak,” ujarnya.
Kerugian yang diderita wajib pajak akibat ulah calo, menurutnya, di luar tanggungjawab DJP. “Kita tahunya mereka ya belum bayar pajak, makanya tetap kita tagih,” imbuhnya. nmif/ame