Goa Gembul, Tempat Lelaku yang Laris di Bulan Suro

Tuban - SURYA- Sebagian besar masyarakat Jawa meyakini bahwa bulan Suro (yang akan jatuh 18 Desember nanti) merupakan bulan paling keramat sepanjang tahun. Karena itu, Suro diyakini menjadi waktu yang tepat untuk lelaku atau melakukan ritual mengasah ilmu supranatural. Sejumlah lokasi keramat di Kabupaten Tuban, yang menjadi langganan warga untuk melakukan ritual tahunan mulai tampak kesibukanya menjelang datangnya 1 Suro. Salah satunya adalah Goa Gembul yang berada di Dusun Gembul, Desa Jadi, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Meski awal Suro baru jatuh pada Sabtu (19/12) mendatang, tempat keramat itu sudah mulai menunjukkan aktivitas yang meningkat sejak beberapa hari terahir. Sejumlah warga mulai mendatangi goa di pinggir tebing perbukitan batu kapur --yang konon merupakan tempat rapat Walisongo pada zaman dulu-- untuk menyiapkan ritual pada Suro tahun ini. Salah satunya yang dilakoni oleh Mbah Sakimo, 65, warga Dusun Mbokgedhe, Desa Jadi yang sudah tiga malam ini bertapa di sana. Paranormal yang biasa menyembuhkan sejumlah penyakit ini tiap tahun bertapa di Gembul. “Sudah tiga malam terhitung sampai Rabu malam ini. Tapi, siang hari bekerja di ladang seperti biasa,” kata Sakimo didampingi cucunya yang bernama Ari. Mbah Mo, panggilan Sakimo, mengaku bahwa pertapaan yang dilakukan pada Suro tahun ini salah satu tujuan utamanya adalah untuk mencari kesembuhan penyakit yang sedang dideritanya. “Akhir-akhir ini badan saya sering sakit. Semoga dengan bertapa ini Tuban memberikan kesembuhan atas penyakit saya,” tambahnya. Juru kunci Gembul, Samidin, 50, ketika ditemui Surya Rabu (16/12) kemarin membenarkan bahwa aktivitas paling banyak di petilasan Walisongo tersebut adalah saat bulan Suro. “Setiap tahun selalu kita adakan ritual rutin. Waktunya, pada Kamis Pon malam Jumat Wage pada bulan Suro. Atau kalau tidak ada, maka dilaksanakan pada Kamis Kliwon, Malam Jumat Wage. Jadi bukan setiap tanggal satu Suro,” katanya. Diungkapkan bapak empat anak yang sudah 10 tahun menjadi juru kunci Gembul tersebut, Suro-an di Gembul tidak pernah dipersiapkan sedemikian rupa. Hanya saja, ketika pas jadwalnya, banyak sekali warga yang datang dengan sendirinya dengan membawa ayam, kambing atau sapi untuk disembelih di halaman goa dan kemudian dimakan bersama-sama. “Tidak ada undangan atau persiapan resmi. Mereka biasanya yang sedang melaksanakan nadzar,” ujarnya. “Seperti yang dulu pernah bertapa di sini kemudian bernadzar akan menyembelih sapi atau kambing ketika maksudnya itu terwujud. Kemudian nadzar itu dilaksanakan pada saat Suro-an seperti ini,” tambahnya mencontohkan. Sejumlah warga yang biasa bertapa atau melakukan ritual di Gembul berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Mulai dari Jawa Timur sendiri, Jawa Tengah, Jawa Barat hingga Sulawesi dan Kalimantan. Tujuannya bermacam-macam. Mulai dari yang sekedar lelakon ilmu kanuragan, mencari kesembuhan penyakit sampai yang ingin mendapatkan jabatan. Bahkan, menurut Samidin, Bupati Tuban Haeny Relawati bersama suami juga pernah berkunjung ke Gembul. “Banyak yang ke sini, mulai pejabat, aparat atau orang-orang yang memang gemar bertapa di tempat-tempat seperti ini. Bahkan, saat belum menjadi bupati dulu, Bu Haeny bersama suaminya juga ke sini,” kisah Samidin. Gembul sendiri sejak tahun lalu sudah direnovasi sedemikian rupa dengan tembok yang ditutup mori dan beralas keramik. Dana renovasi dari sumbangan para pengunjungnya. Konon, dahulu kala Gembul adalah tempat berkumpulnya para Wali Songo untuk mengadakan rapat sebelum membagi wilayah perjuangan di tanah Jawa. Goa di perbukitan batu kapur ini terbagi menjadi tiga ruang yang dulunya hanya disekat dengan kayu dan kain mori. Ruang pertama untuk mengaji, ruang tengah untuk bertapa dan ruang paling ujung terdapat ranjang peninggalan para wali yang sampai sekarang masih ada. “Ruang itulah konon tempat berkumpulnya sembilan wali,” kisahnya. Termasuk tangga dari kayu yang terpasang disana juga masih asli peninggalan sejak zaman dulu. Selain itu, juga ada batu besar berbentuk bulat panjang di depan goa yang dinamakan Batu Gajah. Konon, batu tersebut dulunya untuk tempat menali gajahnya para wali yang sedang rapat. “Tapi bukan gajah seperti pada umumnya,” kata Samidin. Warga yang ingin berkunjung ke Gembul, syaratnya tidak boleh sombong. Wanita yang sedang datang bulan juga tidak diperkenankan meski hanya menginjak tangga. “Pernah ada pertapa dari Jawa Tengah yang sombong. Saat pertama masuk dia mengaku sudah terbiasa bertapa dan lokasi seperti ini dianggap enteng. Tapi, ketika masuk di ruang tengah tubuhnya langsung berputar-putar sambil berteriak-teriak histeris,” ungkap juru kunci ini. Sedangkan untuk wanita, penah juga ada segerombol siswi yang sedang berkemah nekat masuk dalam keadaan datang bulan. Beberapa jam kemudian mereka kesurupan sampai menggelepar-gelepar. Uniknya, sebagian besar warga Jadi malah tidak berani masuk ke Gembul dengan alasan takut. Mereka khawatir karena tingkah polah mereka dalam keseharian akan berdampak ketika masuk ke petilasan para wali itu. M. Taufik, Tuban
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved