Berita Viral

Sosok Anggota DPR yang Dukung Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk', Contohkan Dirinya Berangkat Lebih Awal

Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk ternyata mendapat dukungan salah satu anggota DPR RI. Ia bahkan ngaku sering berangkat lebih awal. Ini sosoknya.

Kolase Kompas.com
STOP STROBO - (kanan) Anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar Soedeson Tandra yang dukung gerakan stop tot tot wuk wuk. 

SURYA.co.id - Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk ternyata mendapat dukungan salah satu anggota DPR RI.

Ia bahkan mencontohkan dirinya yang selalu berangkat lebih awal jika ada kepentingan agar tak kena macet.

Dia adalah Anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar Soedeson Tandra.

Ia menegaskan, penggunaan sirene dan lampu strobo oleh pejabat seharusnya tidak dijadikan alasan untuk merasa lebih penting dibanding masyarakat lain yang juga punya kepentingan di jalan.

“Pertanyaannya, apakah pejabat perlu cepat, lalu masyarakat tidak? Kalau ingin cepat, ya berangkat lebih awal. Jangan, ‘wuk wuk wuk’ begitu,” ujar Soedeson kepada wartawan, Minggu (21/9/2025), melansir dari Kompas.com.

Menurutnya, praktik tersebut bukan hanya soal hak istimewa, tetapi juga mencederai rasa keadilan publik.

“Itu bukan hanya melukai perasaan rakyat, tapi juga menunjukkan seolah-olah pejabat punya hak istimewa,” tegasnya.

Baca juga: Profil Irjen Agus Suryonegoro, Kakorlantas Polri yang Hentikan Pakai Strobo Imbas Stop Tot Tot Wuk

Lebih jauh, Soedeson mengingatkan adanya risiko besar dari penggunaan sirene dan strobo yang tidak sesuai aturan.

“Penggunaan seperti itu seringkali diikuti manuver berbahaya, seperti zig-zag di jalan. Itu bisa menimbulkan kecelakaan,” jelasnya.

Karena itu, ia mendorong agar aturan ditegakkan secara ketat.

Menurut Soedeson, hanya Presiden atau tamu negara yang memang pantas mendapat fasilitas prioritas di jalan raya.

“Kecuali Presiden atau tamu negara, silakan. Kalau yang lain itu, enggak perlu lah,” katanya.

Soedeson juga memberikan contoh dari pengalamannya sendiri.

Jika memiliki agenda penting, ia memilih mengatur waktu lebih awal tanpa meminta perlakuan khusus di jalan. 

“Saya tidak pernah menggunakan kayak begitu-begitu. Kalau acaranya saya melihat bahwa acaranya itu macet, saya datang lebih awal saja ke sana, ya kan,” tutupnya.

Sosok Soedeson Tandra

Melansir dari Wikipedia, Soedeson Tandra lahir 4 Desember 1963.

Ia adalah seorang Kurator dan politikus Partai Golongan Karya.

Saat ini ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina DPP HKPI dan Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar mewakili Papua Tengah.

Soedeson Tandra merupakan pria kelahiran Maluku Tenggara yang berkutat di dunia hukum dan memiliki spesialisasi di bidang kepailitan.

Sepakterjangnya di dunia kepailitan sudah diakui dengan pendirian Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI) yang dipimpinnya terdaftar resmi di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum & HAM Republik Indonesia.

Selain di bidang hukum, Tandra juga aktif dalam kegiatan politik. Jabatannya sebagai Fungsionaris Partai Golongan Karya Papua Tengah meneguhkan dirinya untuk mengabdi dan menyampaikan aspirasi masyarakat Papua Tengah dalam kancah Nasional.

Dengan latar belakang sesama 'orang timur' tentunya membuat Tandra paham dan dapat merasakan keinginan dan maksud dari masyarat Papua Tengah.

Atas dasar itulah, Tandra memutuskan untuk mencalonkan dirinya menjadi Calon Anggota Legislatif DPR RI Daerah Pemilihan Provinsi Papua Tengah dengan maksud agar mempermudah dirinya menyampaikan aspirasi masyarakat Dapilnya.

Fenomena penggunaan sirene dan strobo oleh pejabat sebenarnya bukan hal baru.

Namun, ketika masyarakat sudah semakin melek digital, praktik yang dianggap sepele ini cepat sekali jadi sorotan publik. 

Wajar jika gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” mendapat banyak simpati, karena masyarakat ingin merasakan kesetaraan di jalan.

Sebagai penulis, saya melihat pandangan Soedeson Tandra ini relevan dan membumi. Ia bukan sekadar mengkritik, tapi memberi teladan dengan memilih berangkat lebih awal daripada meminta hak istimewa. Sikap seperti inilah yang justru bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat.

Di era keterbukaan informasi, hal-hal sederhana seperti disiplin waktu dan taat aturan justru bisa menjadi cermin kepemimpinan.

Jika pejabat bisa memberi contoh, masyarakat pun akan lebih mudah untuk ikut patuh. Pada akhirnya, lalu lintas yang lebih tertib bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga soal keselamatan bersama.

Sebelumnya, Media sosial tengah dihebohkan dengan munculnya gerakan ‘Stop Tot Tot Wuk Wuk’. 

Gerakan ini lahir dari kejenuhan publik melihat maraknya penyalahgunaan strobo dan sirine oleh kendaraan yang tidak berhak.

Mulai dari pelat merah, hingga kendaraan pejabat yang tidak sedang bertugas atau tanpa pengawalan resmi.

Serta mobil berpelat sipil yang memasang strobo maupun sirine tanpa hak.

Kasubdit Gakkum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, AKBP Ojo Ruslani, menjelaskan bahwa tidak semua kendaraan berhak menggunakan rotator.

“Kendaraan pribadi tidak termasuk yang berhak menggunakannya,” katanya, dikutip SURYA.CO.ID dari Kompas.com.

Bagaimana aturan menggunakan strobo dan sirine?

Aturan sudah jelas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 135, hak penggunaan strobo hanya diberikan kepada pemadam kebakaran, pimpinan lembaga negara dan tamu negara atau pejabat asing.

Dalam Pasal 59 disebutkan, lampu biru dan sirine hanya boleh dipakai oleh kendaraan kepolisian, sementara lampu merah dengan sirine diperuntukkan bagi kendaraan tahanan, pengawalan TNI, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, hingga mobil jenazah.

Adapun lampu kuning tanpa sirine digunakan untuk patroli jalan tol, mobil derek, atau pengangkut barang khusus.

Hak utama di jalan pun dibatasi pada tujuh kategori kendaraan, di antaranya pemadam kebakaran, ambulans, kendaraan untuk pertolongan kecelakaan, hingga iring-iringan jenazah.

Kendaraan pejabat negara dan tamu asing baru bisa mendapatkan prioritas bila sedang dikawal polisi.

Jika menemukan kendaraan sipil atau oknum aparat yang menyalahgunakan strobo maupun sirine, masyarakat disebut bisa melaporkannya.

Sanksinya diatur dalam Pasal 287 Ayat 4, yakni pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda Rp 250.000.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved