SURYA.co.id - Tukimah, nenek 69 tahun di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah terkejut mengetahui tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) rumahnya di awal tahun 2025.
Sebelumnya, ia hanya membayar sekitar Rp161 ribu per tahun. Namun, kini jumlahnya melonjak hampir enam kali lipat menjadi kurang lebih Rp872 ribu.
“Waktu terima surat pajaknya itu, Andri, keponakan saya, bilang kok banyak sekali naiknya,” ungkap Tukimag, Jumat (8/8/2025), dikutip dari Tribun Jateng.
Kenaikan tersebut dipicu naiknya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan seluas 1.242 meter persegi yang ia tempati. Nilainya meroket dari Rp425.370.000 menjadi Rp1.067.484.000 miliar hanya dalam setahun.
Hidup Sebatangkara
Selama ini, Tukimah tinggal sendirian di rumahnya di Jalan Raya Ambarawa, Bandungan.
Tukimah bukan pengusaha besar atau warga kaya.
Ia sehari-hari menghidupi dirinya dari warung kelontong kecil di pinggir jalan.
Lahan yang kena pajak juga tidak hanya rumah yang ia tinggali.
Di tanah tersebut berdiri tiga bangunan, rumah dan warung miliknya, rumah sang adik, dan sebuah bangunan kecil di bagian belakang.
Seluruhnya masih atas nama Koyimah, kerabat yang sudah meninggal dunia.
Menurut Tukimah, status kepemilikan lahan belum dipisahkan secara administratif, sehingga pajaknya dihitung dalam satu NJOP besar.
“Ya harapannya tahun ini bisa diturunkan pajaknya, itu saja, tidak neko-neko saya. Kami ingin mengajukan keringanan, mudah-mudahan ada perhatian,” ujarnya.
Penjelasan BKUD Kabupaten Semarang
Kepala Badan Keuangan Daerah (BKUD) Kabupaten Semarang, Rudibdo, menyebut penetapan nilai PBB dilakukan berdasarkan sejumlah faktor, salah satunya kenaikan NJOP wilayah.
“Kami tidak memukul rata, namun melakukan penilaian selektif didasarkan pada kenaikan NJOP yang disesuaikan nilai pasar setempat, juga hasil verifikasi lapangan,” jelasnya kepada Tribunjateng.com.
Terkait kasus Tukimah, pihaknya sudah melakukan pengecekan langsung ke lokasi.
“Setelah kami cek, lokasi tersebut terletak dekat dengan Jalan Raya Ambarawa–Bandungan, yang merupakan jalan provinsi atau kelas dua," katanya.
Menurut Rudibdo, lokasi itu sudah belasan tahun tidak dilakukan penilaian terbatas.
Saat penilaian ulang, NJOP langsung naik signifikan.
Jalan Ambarawa–Bandungan kini menjadi akses utama menuju kawasan wisata.
Mobilitas dan kegiatan ekonomi meningkat, sehingga nilai tanah ikut terdongkrak.
Ia menjelaskan, kenaikan nilai tanah biasanya dipengaruhi pembangunan, permukiman baru, serta transaksi jual beli di sekitar lokasi.
Selain harga pasar, penilaian juga disandingkan dengan Zona Nilai Tanah (ZNT) dari BPN.
“Di samping harga pasaran dan ZNT dari BPN, verifikasi di lapangan juga diperkuat oleh tanda tangan berstempel perangkat desa atau kelurahan setempat,” imbuhnya.
Ada Ruang untuk Keringanan Pajak
Rudibdo menegaskan warga berhak mengajukan keberatan atau keringanan jika merasa tidak mampu membayar pajak.
“Mekanismenya diatur dalam Perda 13 Tahun 2023 dan Perbup 87 dan 89 dan Bupati juga memberi ruang untuk insentif fiskal, seperti pengurangan atau penundaan pajak," katanya.
Keringanan pajak mempertimbangkan kondisi lapangan, kemampuan bayar, serta situasi ekonomi lokal dan nasional.
Aturan ini mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2022, PP Nomor 35 Tahun 2023, Perda Kabupaten Semarang Nomor 13 Tahun 2023, serta Peraturan Bupati Nomor 87 dan 89 Tahun 2023.
Bupati Semarang, Ngesti Nugraha, bahkan mengeluarkan SK Nomor 900.1.13.1/0161/2025 yang membebaskan bunga atas piutang PBB-P2, pajak air tanah, dan reklame tahun 2013–2023.
Kebijakan ini berlaku hingga 30 September 2025.
BKUD mencatat hingga 5 Agustus 2025, capaian PBB baru mencapai Rp26,7 miliar atau 30,34 persen dari target Rp88,1 miliar.
Target tersebut tidak berubah untuk tahun-tahun berikutnya.
Menurut Rudibdo, sebagian warga cenderung menunda pembayaran hingga jatuh tempo.
Akibatnya, beban psikologis dan administratif terasa lebih berat di akhir tahun.