Menurut situs resmi Sritex, Iwan Setiawan Lukminto menjabat sebagai Komisaris Utama setelah sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama sejak 2014 hingga 2023, sebelum kepemimpinan beralih ke adiknya, Iwan Kurniawan Lukminto.
Pria kelahiran 24 Juni 1975 ini merupakan lulusan Business Administration dari Suffolk University, Amerika Serikat. Ia juga pernah mengikuti pendidikan Lemhanas Angkatan 20.
Baca juga: Sumber Kekayaan Keluarga Iwan Lukminto Selain PT Sritex, Punya Bisnis Hotel hingga Museum
Selain berperan dalam Sritex, ia memiliki rekam jejak di berbagai organisasi bisnis dan tekstil, seperti:
- Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) 2020-2021
- Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API)
- Dewan Kehormatan PB Wushu Indonesia
Sumber Kekayaan Keluarga Lukminto
Tutupnya PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex tentu berpengaruh pada kekayaan keluarga Iwan Setiawan Lukminto yang menjadi pendirinya.
Namun, ternyata keluarga Iwan Lukminto masih punya sumber kekayaan lain.
Meski dikenal sebagai perusahaan tekstil, keluarga Lukminto dikenal agresif meraup untung dari lini bisnis yang terdiversifikasi, mulai dari hotel hingga wisata.
Tak heran, jika kekayaan keluarga Lukminto berhasil mereka sulap hingga mencapai US$515 juta atau setara dengan Rp7,8 triliun.
Baca juga: Rekam Jejak Mira Christina Istri Iwan Kurniawan Lukminto Bos PT Sritex, Lulusan Kampus Luar Negeri
Apa saja bisnis yang dimiliki Keluarga Lukminto?
1. Tekstil
Awalnya, Sritex hanyalah sebuah usaha dagang atau UD Sri Redjeki yang didirikan oleh sang Ayah, Lukminto untuk memproduksi kain mentah dan bahan putihan di Solo pada 1966.
Setahun kemudian, Lukminto membuka pabrik cetak pertama yang menghasilkan kain putih dan berwarna di Surakarta.
Pabrik kedua yakni pabrik tenun dibangun pada 1982.
Pabrik tekstil itu kemudian direlokasi ke Desa Jetis, Sukoharjo dengan nama PT Sri Rejeki Isman atau Sritex.
Pada 3 Maret 1992, pabrik Sritex diresmikan Presiden Soeharto bersama 275 pabrik aneka industri lainnya di Surakarta.
Setelah sukses di dalam negeri, Sritex mencoba menembus pasar Eropa pada 1992.
Perusahaan yang kini menjadi raksaksa tekstil di Asia Tenggara itu berhasil membuat seragam bagi NATO dan tentara Jerman yang kualitasnya diakui.