SURYA.CO.ID, TRENGGALEK - Lobster, udang laut yang terkenal memiliki harga mahal, ternyata berhasil dibudidayakan di Teluk Prigi, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek.
Beberapa warga setempat sudah bertahun-tahun membudidayakan lobster di perairan tersebut. Salah satunya, yakni Kacuk Wibisono.
Kacuk mulai membudidayakan lobster sejak 2019. Tepatnya setelah Menteri Kelautan RI saat itu, Susi Pudjiastuti berkunjung ke Pantai Mutiara.
Waktu itu, Kacuk mengenang, Susi menyebut bahwa perairan Pantai Mutiara bagus apabila dimanfaatkan untuk budidaya lobster.
Dari situ, Kacuk terinspirasi untuk mulai membudidayakan binatang laut itu.
Apalagi saat itu, belum ada nelayan yang berbudidaya lobster di wilayah Trenggalek dan sekitarnya. Benur lebih banyak ditangkap untuk dijual.
Ketika itu, aktivitas jual-beli bayi benur masih ilegal.
"Total, saya sudah panen sembilan kali. Yang delapan kali, sukses hampir 100 persen," kata Kacuk, Rabu (5/10/2022).
Kacuk membudidayakan lobster pada 20 keramba.
Masing-masing keramba berukuran 3 meter x 3 meter. Ketinggian keramba sekitar 4 meter.
Kacuk menempatkan keramba itu di dua lokasi berbeda. Keduanya berada di perairan Teluk Prigi.
Selama ini, ada beberapa jenis lobster yang ia budidayakan. Antara lain, lobster pasir, batu, dan batik.
Ukuran lobster yang dibudidayakan juga beragam. Mulai dari benur hingga lobster berukuran 1 ons.
"Kalau dari bibit ukuran 1 ons, dalam waktu empat bulan, ukurannya bisa jadi 1,6 ons," sambung dia.
Sementara untuk mencapai ukuran yang sama, dari bibit yang masih berupa benur, ia butuh waktu sekitar 1,5 tahun.
"Paling besar, saya pernah membudidayakan lobster seukuran 1 kilogram (kg) lebih," imbuhnya.
Di teluk Prigi, tepatnya di sekitaran Pantai Mutiara, Kacuk mengaku tak susah untuk membudidayakan lobster.
Pakan tersedia melimpah di lautan. Kacuk biasa mencari pakan lobster dengan melaut. Pakan yang sering ia pakai adalah beberapa jenis kerang dan ikan.
"Modal untuk pakan paling cuma BBM (bahan bakar minyak) untuk melaut saja," sambung dia.
Sementara untuk bibit lobster, Kacuk membelinya dari nelayan.
Untuk mengisi satu keramba, modal yang dikeluarkan sekitar Rp 5 juta hingga Rp 6 juta.
Ketika waktunya panen, satu keramba bisa menghasilkan sekitar Rp 15 juta.
Meskipun, tak semua dari 20 keramba yang Kacuk punyai, ia manfaatkan untuk budidaya dalam setiap waktunya.
Soal pasar, Kacuk mengaku tak kesulitan. Ia biasa menjual hasil panennya ke pengepul yang punya jaringan ekspor.
Soal ini, Kacuk dari awal memang meniatkan budidayanya untuk menghasilkan lobster kualitas bagus yang layak dikirim ke luar negeri.
"Kalau di pasar lokal, cukup susah karena lobster ini harganya cukup mahal," tutur penggiat pariwisata itu.
Tak cuma jaringan pasar, Kacuk juga jeli melihat peluang. Saat harga lobster di bawah Rp 300 ribu per kg, ia tak akan memanen hasil budidayanya.
"Harganya, kalau lobster pasir, rata-rata Rp 300 ribu per kg. Tapi kalau saat-saat khusus, seperti ketika Imlek, harganya bisa naik hingga Rp 600 ribu per kg," sambung dia.
Ke depan, Kacuk berencana untuk mengembangkan budidaya menggunakan keramba dasar.
Saat ini, ia masih memanfaatkan keramba atas.
Kedua keramba itu memiliki beda sistem budidaya.
Keramba atas memanfaatkan jaring yang mengambang ke dalam permukaan laut.
Sementara keramba dasar memanfaatkan kerangkeng besi dan ditaruh di kedalaman antara 10 hingga 15 meter.
Salah satu kelebihan keranda dasar, menurut Kacuk, lebih tak terpengaruh terhadap musim.
Menurut Kacuk, budidaya lobster jauh lebih mudah ketimbang budidaya udang vanam, yang saat ini menjamur di wilayah pesisir selatan Trenggalek.
Selain ongkos produksi lebih murah, perawatan budidaya lobster juga lebih mudah.
"Yang utama pakannya. Tiap hari harus diberi pakan," pungkasnya.