Generasi Lebay, Generasi Alay

Guk Sueb Mahasiswa Universitas Negeri Malang suebeus@yahoo.com Ada istilah yang santer di masyarakat saat ini, khususnya generasi muda: lebai atau lebay. Tidak ada makna yang pasti atas istilah ini, setidaknya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Namun, sebagian besar sepakat mengartikannya sebagai hal yang berlebihan dengan merujuk pada kata lebih. Sebagaimana maknanya, tampaknya istilah lebay ini juga dilebih-lebihkan penggunaannya. Hingga segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan yang wajar dilihat dari sudut pandang yang berlebihan, seraya mengucapkan jargon mereka: “Lebay...!” Bukan maksud berlebihan, istilah lebay tampaknya telah menjadi gaya sifat/ideologi lebay, atau lebay-isme. Bahkan dengan bangga, beberapa kelompok remaja yang saya jumpai mengklaim dirinya sebagai generasi lebay. Hal ini dibenarkan bahwa lebay-isme telah menjalar di berbagai aspek kehidupan remaja saat ini. Tengok saja dalam berbahasa, remaja saat ini lebih dibilang gaul ketika menggunakan bahasa lebay: penggunaan pengejaan, huruf kapital, serta mencampuradukkan huruf dengan angka yang tidak wajar. Kita bisa melihat penggunaannya yang tidak wajar dalam bahasa SMS, atau pada pengetikan status di jejaring sosial ala Facebook (FB), Twitter, dan sebagainya. Tidak berhenti di lingkup jejaring sosial, penggunaan bahasa lebay juga berimbas pada bahasa sehari-hari. Kali ini bukan lantaran ejaannya yang berlebihan, melainkan rasa tidak puas menggunakan satu bahasa, dengan menggabungkan dengan bahasa lainnya. Misalnya bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris yang bahkan kita mengenalnya dengan bahasa Indogris, karena mereka merasa lebih gaul dengan menggunakan bahasa dengan aksen campur aduk semacam ini. Ada juga yang merasa khawatir kalau tidak ikutan lebay nanti akan dicap generasi alay atau anak kampungan yang nggak gaul. Dalam melakukan aktivitas, lebay-isme yang berlebih-lebihan justru akan berpotensi memunculkan jiwa kekanak-kanakan. Hal ini lantaran lebay sering diidentikan dengan sikap manja dan ekspresif. Sikap kekanak-kanakan inilah yang nantinya akan menyebabkan generasi muda, terutama yang menganut tren lebay-isme, mempunyai jiwa yang lebih labil, yang berujung pada minimnya dan mundurnya jatidiri, dan hanya mengikuti arus saja. Kata bijak mengatakan, sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Tidak ada motif lain dari bersikap lebay melainkan agar mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitar atau caper (cari perhatian). Jika memang motivasi seseorang bersikap lebay hanya sekadar perhatian, sungguh ironis nasib generasi bangsa ini. Alih-alih membangun bangsa yang besar, kita justru tertinggal lantaran mental kita yang labil. Alih-alih meningkatkan nasionalisme yang tinggi, kita justru kehilangan ideologi lantaran hanya menganut tren belaka.n
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Publikasikan Karya di Media Digital

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved