2 Kasus Bunuh Diri di Jombang , Aktivis Desak Edukasi Kesehatan Mental dan Buka Ruang Konseling

Melihat gejala sosial yang kian mengkhawatirkan ini, aktivis perempuan muda Jombang, Yesi Aprillia, menyampaikan kegelisahannya. 

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Deddy Humana
Instagram/ysiaprillia24.
PERCOBAAN BUNUH DIRI - Aktivis muda Komunitas Ruma Dara dan Genre Jombang, Yesi Aprillia mengisi forum Genre Jombang di Ruang Bung Tomo Pemkab Jombang, Senin (7/8/2025). Tekankan aksi nyata krisis kesehatan mental. 

SURYA.CO.ID, JOMBANG - Rentetan kasus percobaan bunuh diri di Kabupaten Jombang kembali mengguncang publik. Dua insiden tragis yang terjadi di hari yang sama, Jumat (4/7/2025), mengangkat kembali urgensi penanganan isu kesehatan mental di kalangan masyarakat.

Insiden pertama melibatkan seorang pemuda berusia 20 tahun asal Mojoagung berinisial MA, yang nekat menceburkan diri ke dalam sumur akibat cintanya tidak direstui. 

Di hari yang sama, seorang pria lanjut usia di Kecamatan Megaluh, Giman (83) mencoba mengakhiri hidupnya dengan menusuk dadanya sendiri karena putus asa dengan penyakit kronis yang dideritanya.

Melihat gejala sosial yang kian mengkhawatirkan ini, aktivis perempuan muda Jombang, Yesi Aprillia, menyampaikan kegelisahannya. 

Mantan Ketua Umum Pusat Informasi dan Konseling Mahasiswa (PIK-M) Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang itu mengingatkan bahwa tekanan batin, baik pada anak muda maupun lansia, tidak boleh lagi dipandang sebelah mata.

“Kesehatan mental harus menjadi perhatian bersama. Ini bukan hanya persoalan pribadi, tetapi persoalan sosial. Kalau masyarakat dan keluarga tidak peka, kita akan terus melihat kejadian seperti ini berulang,” ucap Yesi yang kini juga aktif di Komunitas Ruma Dara dan Genre Jombang, Selasa (8/7/2025). 

Yesi menjelaskan, latar belakang bunuh diri bisa sangat kompleks seperti masalah asmara, beban ekonomi, masalah keluarga, hingga rasa frustrasi karena sakit menahun. 

Ia menekankan bahwa beban mental bisa menghantam siapa saja tanpa memandang usia. “Orang muda sering tak punya ruang aman untuk bercerita, sementara lansia cenderung merasa terasing dan tak berdaya. Ini kondisi psikologis yang serius,” jelasnya.

Menurutnya dalam kasus MA, luka akibat cinta yang tidak direstui mungkin terlihat sepele di mata orang dewasa. Namun bagi yang mengalaminya, hal itu bisa menjadi tekanan besar jika tidak ada pendampingan emosional.

Sementara penderitaan Giman menunjukkan sisi gelap kehidupan lansia yang kerap diabaikan. “Lansia yang hidup dengan penyakit kronis butuh dukungan emosional, bukan hanya pengobatan medis. Kesepian dan penderitaan bisa menumpuk jadi keputusasaan,” tambah Yesi.

Ia mendorong keluarga dan lingkungan terdekat untuk lebih peduli dan terbuka dalam menyikapi perubahan perilaku anggota keluarga.

“Jangan tunggu sampai terlambat. Ajak bicara, dengarkan tanpa menghakimi, dan bantu mereka mendapat akses bantuan profesional,” sarannya.

Lebih jauh, Yesi mendorong pemda, sekolah, serta komunitas agar memperluas edukasi kesehatan mental. Ia menekankan pentingnya penyediaan layanan konseling yang mudah dijangkau oleh masyarakat umum, khususnya kelompok rentan.

“Pengetahuan soal kesehatan mental harus ditanamkan sejak dini. Jangan hanya menunggu orang sakit, tetapi cegah dari sekarang,” pungkas Yesi. *****

 

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved