Siloam Oncology Summit 2025, Kedokteran Nuklir Berpotensi Jadi Harapan Baru dalam Terapi Kanker
MRCCC Siloam Hospitals Semanggi mengembangkan inovasi penanganan kanker melalui pelaksanaan Siloam Oncology Summit (SOS) 2025.
Penulis: Sri Handi Lestari | Editor: irwan sy
SURYA.co.id | SURABAYA – Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Siloam Hospitals Semanggi mengembangkan inovasi penanganan kanker di Indonesia melalui pelaksanaan Siloam Oncology Summit (SOS) 2025.
Mengusung tema 'United by Unique', SOS 2025 menghadirkan 89 pembicara nasional dan 11 pembicara internasional dari berbagai institusi ternama, di antaranta dari MD Anderson Cancer Center (Amerika Serikat), National Cancer Center Singapore, University of Wollongong (Australia), Icon Cancer Center (Australia), National Cancer Center (Jepang), Sir Run Run Shaw Hospital (China), Rangsit University/Rajavithi Hospital (Thailand), hingga National Cancer Institute Anthoni van Leeuwenhoek (Belanda).
CEO MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, dr Edy Gunawan MARS, menyampaikan bahwa SOS 2025 merupakan ruang belajar dan bertumbuh bersama bagi ekosistem kesehatan global, khususnya penanganan kanker.
“Kami percaya bahwa perkembangan penanganan kanker hanya dapat dicapai melalui kolaborasi. Setiap profesi memiliki peran penting yang unik. Melalui SOS 2025, kami berharap dapat menyatukan keahlian dan memperkuat jejaring, untuk mengembangkan inovasi penanganan pasien menjadi lebih baik dan optimal,” kata dr Edy, dalam rilisnya, Selasa (20/5/2025).
Dalam acara pembukaan SOS 2025, CEO Siloam Hospital Group, Caroline Riady, mengatakan bahwa setiap pasien itu unik dan memiliki riwayat yang berbeda, kondisi biologis yang berbeda, dan harapan yang berbeda.
“Begitu pula para profesional yang terdiri dari ahli onkologi, ahli bedah, ahli patologi, ahli radiologi, perawat, peneliti, manajemen, semuanya membawa keahlian mereka yang berbeda kemudian dipersatukan oleh tujuan bersama dan berkolaborasi memberikan perawatan kanker terbaik,” jelas Caroline.
Melalui pendekatan multidisiplin, pihaknya dapat menyesuaikan perawatan dengan kondisi unik setiap pasien.
Menyediakan perawatan kanker yang tidak hanya efektif, tetapi juga penuh kasih sayang, holistik, dan berkelanjutan.
Pada salah satu sesi Plenary Siloam Oncology Summit 2025, juga dibahas mengenai Kedokteran Nuklir dalam Pengobatan Kanker Masa Depan.
Pembicara pertama Senior Consultant Medical Oncologist dari The National Cancer Centre Singapore, Dr Jason Yongsheng Chan MBBS PhD menjelaskan soal tantangan dan kesenjangan akses dalam tata laksana limfoma sel T/NK di Asia.
“Limfoma sel T lebih umum di Asia. Biasanya lebih agresif dan penyakit ini cenderung lebih sulit didiagnosis, dan sulit ditangani,” ungkap dr Jason.
Sebagai informasi, ada dua jenis utama limfoma atau kanker getah bening: limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin (LNH).
LNH terbagi lagi menjadi dua tipe utama: limfoma sel B (B-cell lymphoma) dan limfoma sel T (T-cell lymphoma).
Pengobatan limfoma sudah berkembang cukup pesat, antara lain dengan ditemukannya berbagai obat-obatan imunoterapi yang efektif.
"Namun sayangnya, pendapatan per kapita di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara, masih relatif rendah sehingga sulit mengakses pengobatan canggih yang mahal," ungkap dr Jason.
Penelitian untuk pengobatan limfoma masih terus dilakukan, baik dengan obat-obatan baru ataupun menggunakan kombinasi baru dari obat-obatan yang sudah ada.
“Saya percaya, ada prioritas riset untuk pengobatan limfoma di Asia. Kita butuh lebih banyak peluang edukasi, workshop, internship, dan fellowship. Saya menyambut seluruh ahli dalam bidang limfoma untuk saling berbagi ilmu di komunitas limfoma Asia,” pungkas dr Jason.
Peneliti dan Dokter University of Wollongong Australia, Prof David Currow FAHMS, FRSN sebagai pembicara kedua memberikan materi tentang sesak napas (breathlessness) sebagai sesuatu yang silent tetapi mematikan.
"Sesak napas atau kesulitan bernapas (breathlessness) sering diabaikan oleh tenaga kesehatan," ujar Prof David.
Padahal, kondisi ini sangat memengaruhi kualitas hidup pasien bahkan berdampak pada kondisi mental.
Sesak napas kronis dalam dunia kedokteran termasuk baru untuk didefinisikan, yaitu pada tahun 2017.
Menurut Prof David, ada beberapa aspek penting dari definisi ini. Pertama, garis waktu tidak diperlukan.
Ini tidak seperti nyeri yang dikategorikan saat individu harus merasakan nyeri selama X bulan atau X tahun, sebelum kita menyebutnya nyeri kronis.
"Kesulitan bernapas tetap ada meskipun pengobatan dan penyebab yang mendasarinya telah dioptimalkan. Bagian penting dari definisi sesak napas kronis adalah menyebabkan disabilitas pada pasien," papar Prof David.
Karena tidak mendapat penanganan dengan baik untuk keluhannya, sebagian besar pasien sesak napas kronis 'beradaptasi' dengan mengurangi pengeluaran energinya agar bisa bernapas dengan baik.
Padahal, faktanya mereka tidak dapat melakukan sebagian besar kegiatannya.
Dalam survei, banyak pasien yang menghindari keluar rumah karena merasa terlalu sesak untuk berganti pakaian.
Kegiatan lain juga dihindari, termasuk aktivitas fisik intensitas rendah dan aktivitas seksual.
"Banyak profesional kesehatan tidak menanyakan tentang keluhan ini pada pasiennya. Dokter cenderung akan menanyakan tentang diare, pola BAB, rasa nyeri, dan pola tidur, tapi tidak menanyakan tentang sesak napas," lanjut Prof David.
Sesak napas ini adalah prediktor prognosis yang jauh lebih baik daripada volume ekspirasi paksa untuk penderita penyakit paru obstruktif kronik.
Pada hari-hari terakhir kehidupan pasien kanker, sesak napas ini juga meningkat.
Terapi untuk sesak napas kronis bisa berupa nonfarmakologi dan farmakologi.
Untuk nonfarmakologi bisa menggunakan kipas genggam yang menggunakan baterai.
Sedangkan terapi farmakologi, penelitian menunjukkan penggunaan morfin dosis rendah memberikan manfaat.
Pembicara ketiga yaitu Dokter National Cancer Institute - Anthoni van Leeuwenhoek Netherland, Prof Marcel PM Stokkel MD PhD, membahas soal konsep teranostik (terapi dan diagnostik) dalam kedokteran nuklir pada kanker.
Kedokteran nuklir menggunakan radionuklida atau radioisotop. Ini sudah mulai dilakukan sejak 1940-an, pasca Perang Dunia II, tapi penggunaannya baru berkembang pesat sekitar 10 tahun terakhir.
“Radioisotop akan menyebar ke seluruh tubuh dan menempel pada sel kanker, lalu menargetkannya (membunuhnya) secara spesifik, dan menghentikan penyebaran kanker di dalam tubuh,” jelas Prof Stokkel.
Terapi dengan radioisotop telah banyak digunakan pada kanker tiroid, prostat, dan kanker neuro-endokrin.
Radioisotop efektif dalam membasmi kanker karena bekerja dari dalam tubuh secara sistemik, sehingga mampu menargetkan seluruh sel kanker di dalam tubuh.
Secara umum, efek sampingnya pun lebih minimal dibandingkan terapi sistemik lain seperti kemoterapi dan imunoterapi.
“Kemoterapi kerap menimbulkan efek samping pada berbagai organ, termasuk ginjal dan sumsum tulang. Itu sebabnya pasien merasa payah setelah terapi. Terapi berikutnya mungkin perlu ditunda hingga kondisinya membaik. Sedangkan dengan terapi radioisotop, efek samping sangat minimal. Empat jam setelah injeksi, pasien bisa langsung pulang,” jelas Prof Stokkel.
Sayangnya, saat ini penggunaan radioisotop umumnya masih digunakan untuk mengobati kanker stadium lanjut, atau yang sudah tidak lagi responsif terhadap pengobatan standar, di mana opsi terapi sangatlah terbatas.
“Penelitian masih terus dilakukan. Menurut temuan, hasilnya sangat menjanjikan untuk mengobati kanker prostat dan neuro-endokrin sejak stadium awal. Tapi skalanya masih dalam penelitian, belum untuk digunakan dalam level klinis,” ujar Prof Stokkel.
Lebih jauh tentang terapi nuklir, dijelaskan oleh Dokter Spesialis Kedokteran Nuklir Konsultan Nuklir Onkologi MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, dr Ryan Yudistiro SpKN(K) MKes FANMB PhD, dalam diskusi bersama media seusai simposium ilmiah, bahwa di kedokteran nuklir, biasa digunakan radioaktif yang memancarkan sinar gamma.
“Sinar ini dideteksi oleh kamera gamma, dan menghasilkan pencitraan yang detil,” ujar dr Ryan.
Selain sinar gamma, ada pula radioaktif yang bisa memancarkan partikel alfa dan beta untuk digunakan sebagai terapi.
Energi radiasi dari partikel alfa efektivitasnya lebih besar daripada beta, tapi masih di tahap uji klinis.
“Yang sudah banyak digunakan untuk terapi yaitu partikel beta,” imbuhnya.
Terapi FAPI belakangan jadi tren di kedokteran nuklir sebagai molekul yang menjanjikan untuk terapi dan diagnostik.
“Jadi digunakan terapi gamma pada fibroblast untuk mencari lokasi tumor di dalam tubuh, dan kita juga bisa melabelinya dengan partikel beta sehingga bisa sekaligus membunuh tumor,” jelas dr Ryan.
Prof Stokkel juga menjelaskan soal Fibroblast Activation Protein Inhibitor (FAPI) teranostik.
Ini adalah metode yang mengombinasikan antara pencitraan diagnostik dan terapi target menggunakan molekul yang secara spesifik menargetkan protein fibroblast (FAP).
Fibroblast sendiri bukan lah sel kanker, tapi merupakan micro-environment di sekitar tumor.
“Saat tumbuh, sel kanker membutuhkan lingkungan yang cocok. Fibroblast banyak terdapat di sekitar kanker, yang mendukung pertumbuhan sel kanker,” pungkas Prof Stokkel.
Selain forum ilmiah, SOS 2025 juga memberikan ruang bagi praktisi dan peneliti muda lewat kompetisi poster ilmiah.
Dari total 60 abstrak yang terkumpul, terpilih 44 poster untuk dipresentasikan.
Kompetisi poster ini menghasilkan 3 poster terbaik sebagai pemenang.
Pemenang pertama adalah Vincent Lau dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan judul Computational and Experimental Validation of Delites™️as a Novel Polyherbal Therapy Targeting PI3K/Akt Pathway in Cervical Cancer.
Kemudian pemenang kedua adalah Ignatius Ivan dari Departement of Cardiovaskular Medicine, Universitas Pelita Harapan dengan judul The Role of Sodium-Glucose Cotransporter-2 Inhibitor in Cardio-Oncology Care: A Systematic Review, Meta-Analysis, and Meta-Regression on Cardiovascular Outcomes.
Pemenang ketiga adalah Ali Zainal Abidin dari akultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Pusat Kolaborasi Riset Precision Oncology based Omics (PKR Promics), Universitas Gadjah Mada dengan judul Plasma Circulating Mirna Expression Profile as A Diagnostic Biomarker Candidate for HR+/HER2- Breast Cancer.
Siloam Hospitals Semanggi
Siloam Oncology Summit
kanker
penanganan kanker
sel kanker
terapi kanker
surabaya.tribunnews.com
SURYA.co.id
Respons Adem Ayah Affan Driver Ojol Dilindas Rantis Brimob, Tak Mau Semua Polisi Jadi Korban |
![]() |
---|
Menjajal dan Menikmati Mobil Listrik BYD ATTO 1 Surabaya-Malang PP |
![]() |
---|
Rekam Jejak Brigjen Muhammad Nas yang Turun Tangan Tenangkan Massa Ojol, Mentereng di Kostrad |
![]() |
---|
3 Tewas Akibat Gedung DPRD Makassar Sulsel Dibakar, Fotografer Bagian Humas Jadi Korban Tewas |
![]() |
---|
Jejak Cristiano Ronaldo Di Al Nassr, Pemain Asing Kontribusi Terbanyak Di Sejarah Liga Arab Saudi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.