Jasad Gadis Muda di Jombang
Gadis Jombang Dirudapaksa Bergiliran 3 Pria hingga Tewas di Sungai : Korban Femisida Paling Ekstrem
Women Crisis Center menanggapi kasus gadis Jombang, Jawa Timur, yang dirudapaksa 3 pria, lalu dibuang ke sungai hingga meninggal dunia.
Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID, JOMBANG - Women Crisis Center (WCC) Kabupaten Jombang, Jawa Timur (Jatim), menanggapi kasus siswi kelas 3 SMA, PRA (18) yang ditemukan tidak bernyawa di sungai Desa Pacarpeluk, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang.
Menurut pihak WCC Jombang, kejadian ini masuk kategori femisida.
Disebutkan, korban baru 1 tahun ditinggal meninggal dunia oleh sang ibu.
Mulanya pada Senin (10/2/2025) sekitar pukul 16.00 WIB, korban PRA keluar rumah, ia pamit kepada ayahnya menemui seseorang untuk membeli barang atau cash on delivery (COD).
Namun, setelahnya tidak lagi kembali ke rumah, hingga diketahui jika korban telah meninggal dunia.
Hasil autopsi menunjukkan, sebelum meninggal dunia, korban sempat dianiaya dan dirudapaksa.
Selanjutnya, korban yang sudah tak berdaya dibuang ke sungai. Sehingga korban meninggal akibat tenggelam.
Pada Kamis (13/2/2025), polisi berhasil menangkap para pelaku rudapaksa dan pembunuhan.
Mereka adalah AP pria berusia 19 tahun, warga Sembung, Perak, Jombang.
AP diketahui sebagai kekasih dari korban.
Pelaku selanjutnya, AT (18 tahun) dan LI (32 tahun) asal Kunjang, Kediri.
Kini, ketiga pelaku dijerat dengan pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana atau pasal 339 atau pasal 338 KUHP.
Menurut Direktur WCC Jombang, Ana Abdillah, kejadian ini masuk dalam kategori femisida.
Femisida ini, merupakan penghilangan nyawa terhadap perempuan berbasis gender yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk.
"Termasuk pembunuhan oleh pasangan intim (intimate partner femicide), pembunuhan terkait kekerasan seksual, pembunuhan akibat eksploitasi seksual hingga pembunuhan kehormatan keluarga," ucap Ana Abdillah saat dikonfirmasi melalui pesan seluler, Sabtu (15/2/2025).
Pihaknya menyebut, jika PRA (18) adalah remaja korban femisida yang merupakan tingkat paling ekstrem kekerasan berbasis gender.
Apa yang terjadi pada korban, merupakan persoalan sistemik yang secara kultural masih mengakar kuat di sistem masyarakat patriarki.
"Korban dibunuh, karena dia perempuan yang didorong superioritas, dominasi dan hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan," ungkap Ana.
Ana melanjutkan, korban femisida tidak hanya dirampas nyawanya, melainkan mengalami penyiksaan berlapis dan sadis oleh pelaku.
Femisida diketahui terjadi, karena kepentingan pelaku yang merasa sebagai gender superior untuk mengontrol hidup dan tubuh korban yang dipandang mereka sebagai objek dan milik, bukan sebagai manusia yang berdaulat atas dirinya.
"Jika mengutip direktori MA (2022), adapun motif yang biasa mendasari terjadinya femisida adalah pertengkaran, cemburu, sakit hati, perselingkuhan, kecurigaan perselingkuhan dan faktor ekonomi," bebernya.
Motif ketiga pelaku dalam kasus ini, lanjut Ana, diketahui adalah ekonomi, dengan maksud merampas sepeda motor dan ponsel milik korban, di samping motif merebut kedaulatan tubuh korban.
Apa yang harus dilakukan negara? Ana menjelaskan, jika negara dan elemen pemerintahan di bawahnya, provinsi sampai pemerintah daerah bisa melakukan identifikasi dampak dan pulihkan keluarga korban femisida.
"Pemberdayaan masyarakat untuk memahami hak kesehatan seksual dan reproduksi, melalui edukasi tentang hubungan yang sehat," pungkasnya.
Baca juga: 3 Pria Sadis Rudapaksa Gadis Muda Asal Jombang, Jasad Korban Ditemukan Terapung di Sungai
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.