Dominasi Partai Besar Ambruk Usai Presidential Treshold Dihapus, Bakal Ada 18 Paslon di Pilpres

Daulat publik benar-benar diberi ruang oleh MK dan kuasa parpol besar dipreteli secara signifikan

Penulis: Yusron Naufal Putra | Editor: Deddy Humana
istimewa
Surokim Abdussalam, pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM. 

SURYA.CO.ID, KOTA SURABAYA - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold 20 persen, dinilai jadi bagi publik di awal tahun 2025 ini. 

Dari kacamata politik, langkah MK tersebut dinilai sebagai putusan progresif.  Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya, yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

"Secara substantif, putusan ini sangat progresif," kata pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Bangkalan, Surokim Abdussalam saat dihubungi dari Surabaya, Kamis (2/1/2025). 

Secara umum, Surokim menilai putusan ini positif sekaligus menjadi tantangan ke depan. Hal ini akan menguntungkan publik karena Pilpres berpotensi memunculkan banyak pasangan calon sehingga menyuguhkan alternatif kepada pemilih. 

Bahkan Surokim menyebut, pilihan rakyat menjadi faktor utama dalam kedaulatan memilih paslon dibanding saat berlakunya presidential threshold 20 persen, di mana parpol dominan dalam memutuskan pasangan yang akan diusung. Tidak akan ada lagi parpol yang dominan. 

"Ini sekaligus memukul telak kekuatan dan dominasi partai besar dalam pengusulan paslon. Daulat publik benar-benar diberi ruang oleh MK dan kuasa parpol besar dipreteli secara signifikan," ujar Surokim yang merupakan peneliti senior di Surabaya Survey Center (SSC). 

"Bagaimana pun publik patut menyambut baik putusan ini , kedaulatan publik dikembalikan dalam posisi semestinya. Beragam intrik, patgulipat, dominasi, dark zone parpol akan hilang dengan sendirinya dan kuasa parpol dalam pencalonan pilpres tidak lagi menentukan. Semua punya peluang yang sama," tambah Surokim. 

Meski demikian, keputusan ini juga menjadi tantangan. Misalnya dari sisi teknis penyelenggaraan. Sebab akan banyak calon yang dimunculkan sehingga membuat Pemilu kian kompleks. Sebagai gambaran pada Pemilu 2024 lalu, yang diikuti oleh 18 partai politik. 

Dengan tanpa ambang batas, tentu ke depan seluruh parpol punya kesempatan untuk mendaftarkan paslon. Bisa jadi ada 18 paslon sesuai jumlah partai. 

Sehingga perlu dipikirkan lebih jauh mengenai pelaksanaan kontestasi Pilpres mendatang. "Secara teknis penyelengaraan Pemilu akan kian kompleks dan tidak sesederhana yang dibayangkan," terang Surokim. 

Sebelumnya diberitakan, MK memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden. 

Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo di ruang sidang utama Gedung MK Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Dalam pertimbangan hukumnya, MK mengutip frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Frasa itu dinilai menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

Satu hal yang dapat dipahami MK, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan. MK juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya memunculkan dua paslon. 

Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya dua paslon maka masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi dan kalau tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pilpres akan terjebak dengan calon tunggal. 

Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong.

Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon. 

“Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi, Saldi Isra.

Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional. ****

Sumber: Surya
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved