Berita Surabaya

Bergerak Mendobrak Batas : Perjuangan Tutus Setiawan Membela Hak Tunanetra Lewat Jurnalisme

Tutus Setiawan dan rekannya, Atung Yunarto, menyapa pemirsa yang berlangganan Channel Youtube Radio Braille Surabaya

AJI Surabaya
Tutus Setiawan (kiri) dan Hanan Abdullah. Keduanya adalah pendiri sekaligus awak Radio Braille Surabaya (RBS). 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - "Halo Sobat RBS. Jumpa lagi dengan kami, Tutus Setiawan dan Atung Yunarto, pada segmen Sorot!"

Demikianlah Tutus Setiawan dan rekannya, Atung Yunarto, menyapa pemirsa yang berlangganan Channel Youtube Radio Braille Surabaya. Channel itu membagikan konten yang membahas aksesibilitas sarana transportasi publik di kota Surabaya, Jawa Timur.

Dalam video itu terlihat, Tutus Setiawan dan Atung Yunarto berdiri menghadap kamera sambil masing-masing memegang tongkat alat bantu jalan. Sementara di belakang mereka, terlihat lalu lalang kendaraan angkutan umum. 

Tutus dan Atung--demikian mereka disapa-- adalah tunanetra yang sejak lama aktif dalam upaya-upaya advokasi hak-hak disabilitas, khususnya tunanetra. Sehari-hari, mereka aktif sebagai guru PNS di sekolah luar biasa di jl Gebang Putih, Kecamatan Sukolilo, kota Surabaya

Namun, di luar pekerjaan tersebut, mereka juga aktif dalam Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) Surabaya. Sesuai namanya, organisasi ini didirikan oleh Tutus dan kawan-kawan untuk memberdayakan tunanetra. 

Tutus Setiawan sendiri beberapa kali mendapat penghargaan karena upaya-upaya yang dia lakukan untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak tunanetra. Salah satunya adalah penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra, pada 2015 silam. 

Kini, hampir sepuluh tahun berlalu sejak menerima penghargaan itu, Tutus masih konsisten di jalur pemberdayaan dan advokasi hak tunanetra. Malahan, dia menerapkan strategi-strategi baru untuk memperbesar dampak yang dihasilkan. Salah satunya adalah dengan melahirkan Radio Braille Surabaya

"Radio Braille Surabaya atau RBS ini kami launching pada 3 Desember 2022. Bertepatan dengan hari disabilitas internasional," kata Tutus Setiawan beberapa waktu lalu. 

Tutus bercerita. Mulanya, RBS didirikan karena kegelisahannya melihat media massa di Indonesia yang belum memberikan ruang yang lebih luas bagi kelompok disabilitas. Sedikit sekali pemberitaan media massa yang mengangkat isu disabilitas. 

"Kalaupun ada, biasanya cuma di momen-momen tertentu seperti ketika hari disabilitas. Tetapi pemberitaan itu belum bisa membantu terwujudnya hak-hak disabilitas," lanjutnya. 

Kegelisahan itu lantas memunculkan gagasan untuk membangun media alternatif sendiri. Media alternatif itu harus dibangun dan dikelola oleh tunanetra. Sebab, tunanetra lah yang mestinya lebih memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka. Sehingga dampak dari konten yang dibuat, akan lebih besar. 

Namun, Tutus dan kawan-kawannya di LPT Surabaya tak memiliki keterampilan berjurnalistik dan mengelola media. 

Tapi rupanya semesta mendukung niat baik Tutus. Dalam sebuah kesempatan di awal 2022, Tutus menceritakan gagasannya kepada seorang jurnalis anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya.

"Gayung bersambut. Kawan-kawan jurnalis di AJI Surabaya bersedia memberikan pelatihan jurnalistik untuk kami," kenangnya. 

Singkat cerita, pelatihan-pelatihan pun digelar. AJI Surabaya mendatangkan para jurnalis berpengalaman sebagai trainer. Sementara, ada 4 orang anggota LPT Surabaya yang menjadi peserta. Mereka adalah Tutus Setiawan, Atung Yunarto, Sugi Hermanto, dan Hanan Abdullah, satu-satunya perempuan di circle itu. 

Pelatihan-pelatihan yang diberikan, di antaranya teknik pernafasan ala penyiar radio, teknik wawancara, teknik pengambilan gambar menggunakan perangkat handphone, dan lain sebagainya. 

Di awal-awal pelatihan yang berlangsung sekali sepekan, nama Radio Braille Surabaya belum muncul. Nama itu baru disepakati di November 2022 ketika mereka mulai menyepakati untuk meluncurkan media alternatif. 

"Meski format konten yang disajikan adalah video, namun kami beri nama Radio Braille Surabaya. Alasannya, bagi tunanetra, satu-satunya yang mereka bisa konsumsi adalah audionya. Sehingga, bagi kami, video pun sama halnya dengan radio," tuturnya. 

"Sedangkan kata Braille kami pakai untuk menunjukkan representasi tunanetra. Sementara Surabaya, sudah jelas itu menunjuk pada kenyataan bahwa media ini dilahirkan dan beroperasi di Surabaya," imbuhnya. 

Terkait format video, Tutus menganggap bahwa ini adalah format terbaik yang dapat menjangkau audience Awas atau audience non-tunanetra. 

"Kami ingin konten kami ini tak hanya dinikmati oleh tunanetra. Tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat Awas. Sehingga mereka memiliki kesadaran untuk turut memperjuangkan hak-hak disabilitas," katanya. 

Setelah RBS diluncurkan pada 3 Desember 2022, mereka pun mulai memproduksi konten. Dari 4 awak RBS, hanya Sugi Hermanto yang masih memungkinkan untuk menjadi juru kamera sekaligus editor video. 

Sebab, dialah satu-satunya di RBS yang kategori ketunanetraannya adalah low vision. Dalam artian, dia masih bisa menangkap visual meski samar-samar. Dengan kemampuan itu Sugi masih bisa melihat apakah komposisi sebuah visual sudah pas atau belum.

"Selebihnya, kami bertiga (Tutus, Atung, dan Hanan) menjadi host atau reporter. Dalam video, kami berbicara panjang lebar karena sasaran audience kami juga tunanetra. Jadi, dengan kami berbicara banyak, mereka bisa memahami apa isi konten kami," lanjutnya. 

Strategi ini rupanya berhasil membawa perubahan. Salah satunya, Pemkot Surabaya akhirnya menggratiskan ongkos naik Suroboyo Bus bagi disabilitas. Ini terjadi setelah RBS membuat reportase tentang aksesibilitas layanan Suroboyo Bus. 

Tutus menambahkan, dalam membangun RBS, dirinya harus melibatkan kelompok-kelompok lain yang bersedia menyumbang perhatian, tenaga, dan waktu. 

"Kami bersyukur karena mendapat dukungan dari teman-teman jurnalis, khususnya di AJI Surabaya, serta mahasiswa-mahasiswa yang bersedia menjadi volunteer. Kami juga baru saja mendapat dukungan dari Unesa dalam bentuk website. Rencananya dalam waktu dekat akan kami luncurkan," ujar Tutus. 

"Ini juga menunjukkan ke publik bahwa kelompok tunanetra pun sebenarnya bisa menjadi jurnalis," tegasnya.

Pantang Menyerah

Tutus Setiawan adalah pria kelahiran 6 September 1980 di kota Surabaya.

Bapak 3 anak ini tidak terlahir buta.  Dia kehilangan penglihatan saat usia 8 tahun akibat sebuah insiden di sekolah yang membuat saraf matanya terganggu. Meski sudah mendapat perawatan medis, bahkan dioperasi, namun pada akhirnya Tutus harus rela benar-benar kehilangan penglihatannya.

Bagi Tutus yang saat itu masih SD, perubahan kondisi ini membuat dunianya terguncang. Moralnya ambruk. Namun dengan dukungan orangtua dan keluarga, pada akhirnya dia kembali bangkit.

"Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan," kata Tutus.

Singkat cerita, Tutus terus bersekolah. Setelah lulus dari SD dan SMP Luar Biasa, dia melanjutkan studi jenjang SMA di SMA Kemala Bhayangkari 2, Surabaya. Ini adalah sekolah umum. Di sekolah itu, Tutus adalah satu-satunya siswa tunanetra.

Di sekolah inilah Tutus membuat pembuktian. Dari yang semula diragukan karena tunanetra, dia malah tampil sebagai salah satu murid dengan kemampuan akademik yang menonjol. Dari situ, dia mendapatkan beasiswa hingga lulus SMA.

Tutus tak puas hanya bersekolah hingga SMA. Dia pun melanjutkan studi sarjana di jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Bahkan, dia kini juga telah mengantongi ijazah magister dari kampus tersebut.

Pada 2003, bersama beberapa rekannya, Tutus yang sehari-hari menjadi guru di SMPLB-A dan SMALB-A YPAB Kota Surabaya, mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT).

Menggunakan wahana ini, Tutus dan rekan-rekannya berusaha mengadvokasi hak-hak tunanetra dan memperkuat kapasitas mereka.

"Selain advokasi hak tunanetra, LPT juga mengadakan berbagai jenis pelatihan untuk tunanetra," katanya.

Rupanya, kiprah Tutus Setiawan dalam memperjuangkan hak-hak disabilitas netra ini dilirik oleh PT Astra Internasional Tbk yang kemudian mengganjarnya dengan penghargaan SATU Indonesia Awards pada 2015.

"Tetapi penghargaan itu bukan tujuan utama. Sama seperti alasan kami melahirkan Radio Braille Surabaya, semua upaya ini adalah untuk terus memperjuangkan hak-hak disabilitas netra. Kalau media massa tidak memberi ruang bagi isu-isu disabilitas, maka sudah saatnya disabilitas yang bergerak membangun media sendiri," pungkasnya.

Inisiatif

Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Hanaa Septiana mengatakan, meski AJI Surabaya dianggap membidani lahirnya Radio Braille Surabaya, namun sejatinya, justru AJI Surabaya yang belajar dari Tutus Setiawan dkk.

Menurut Hanaa, sebelum berkolaborasi dengan Radio Braille Surabaya, jurnalis-jurnalis anggota AJI Surabaya memang kerap kali dipercaya menjadi trainer untuk pelatihan-pelatihan jurnalistik. Bahkan, beberapa mendapat kepercayaan untuk mengajar di kampus sebagai dosen praktisi atau sebagai dosen lepas.

“Baru bersama RBS kami dipercaya untuk melatih kawan-kawan disabilitas netra. Tentu ini pengalaman pertama bagi sebagian besar dari kami. Jadi di Radio Braille Surabaya ini pula kami belajar untuk mengembangkan praktik jurnalisme yang inklusif,” kata Hanaa.

Jurnalis 30 tahun ini melanjutkan, kunci keberhasilan Radio Braille Surabaya adalah adanya inisiatif dari para anggotanya.

“Keinginan untuk dilatih dan dibekali dengan keterampilan berjurnalistik ini munculnya dari mas Tutus dan kawan-kawan. Jadi bukan kami yang menawarkan. Tetapi mereka yang berinisiatif meminta dilatih. Tentu saja kami tak bisa menolak kolaborasi ini karena percaya dampaknya akan luar biasa,” kata Hanaa.

Untuk menumbuhkan keterampilan berjurnalistik pada awak Radio Braille Surabaya, AJI Surabaya menerjunkan beberapa anggotanya yang kaya pengalaman. Tidak hanya berpengalaman melakukan reportase, tetapi juga berpengalaman menjadi trainer.

Namun sebagian besar trainer yang dihadirkan AJI Surabaya dalam beberapa bulan pelatihan, adalah jurnalis radio. Ini sesuai dengan format konten Radio Braille Surabaya yang akan lebih mengedepankan format video dengan narasi yang panjang.

“Misalnya, selain dilatih melakukan reportase lapangan, mereka (awak Radio Braille Surabaya) juga dilatih teknik pernapasan agar tidak mudah lelah ketika harus menjelaskan hasil reportase mereka di depan kamera,” kenang Hanaa.

Kolaborasi Dengan Persma

Kata Hanaa, AJI Surabaya menyadari bahwa keterlibatan organisasinya saja tak cukup. Dibutuhkan adanya kolaborasi dari pihak lain agar Radio Braille Surabaya semakin produktif dan berdampak.

Karena itu, AJI Surabaya melibatkan mahasiswa-mahasiswa dari beberapa kampus di kota Surabaya untuk menjadi relawan. Para mahasiswa yang sebagian besar memiliki latar belakang sebagai anggota Pers Mahasiswa (Persma) ini diperbantukan untuk mendampingi ketika kru Radio Braille Surabaya melakukan peliputan lapangan.

Tetapi sebelum para mahasiswa ini diterjunkan sebagai relawan, mereka lebih dulu mendapatkan pelatihan dari Radio Braille Surabaya. Sebab, jauh lebih penting untuk mengajarkan ‘orang awas’ tentang bagaimana cara berinteraksi dengan tunanetra.

“Pelatihan ini bertujuan agar mereka (mahasiswa) paham bagaimana cara berinteraksi dengan disabilitas netra, serta bagaimana cara memastikan keselamatan para disabilitas netra ketika terjun melakukan reportase di lapangan,”tuturnya.

Dukungan Kampus

Besarnya dampak yang dibuat oleh Radio Braille Surabaya lewat kontennya, ternyata juga menarik minat perguruan tinggi di Surabaya untuk terlibat dalam kolaborasi.

Salah satunya Universitas Negeri Surabaya (Unesa), melalui prodi S1 Komunikasi, yang memfasilitasi pembuatan website untuk Radio Braille Surabaya.

Lewat website itu, hasil-hasil reportase video yang diproduksi oleh Radio Braille Surabaya, dapat dikemas ulang dalam bentuk teks naratif. Sehingga format konten yang disajikan akan semakin kaya.

“Saat ini website tersebut masih terus dikembangkan dan kami harap bisa diluncurkan saat ulang tahun kedua Radio Braille Surabaya pada bulan Desember 2024 nanti. Dengan menerapkan multiplatform seperti ini, kami yakin Radio Braille Surabaya akan makin berdampak,” pungkas Hanaa.

BACA BERITA SURYA.CO.ID LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved