SURYA Kampus
Sosok Galih Sulistyaningra Lulusan Beasiswa LPDP S2 di Inggris yang Pilih Pulang Jadi Guru SD
Inilah sosok Galih Sulistyaningra, Lulusan Beasiswa LPDP S2 di Inggris yang Viral karena Pilih Pulang Jadi Guru SD.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Putra Dewangga Candra Seta
SURYA.co.id - Sosok seorang wanita bernama Galih Sulistyaningra baru-baru ini menyita perhatian warganet karena keputusannya.
Lulusan beasiswa LPDP S2 di Inggris itu pilih pulang dan mengabdi sebagai guru Sekolah Dasar (SD).
Melalui akun TikTok-nya, @galihtyanr, Galih berbagi video yang menunjukkan kesehariannya sebagai guru.
Dalam video singkatnya, dia menuliskan, "Lulusan Beasiswa LPDP S2 London pulang ngapain?."
Dengan bangga dan tanpa rasa malu, dia memberitahu bahwa dirinya kini menjadi Guru SD Negeri dan mengajarkan berbagai hal penting.
Baca juga: Sosok Rista Gadis Papua Penerima Beasiswa LPDP Termuda, Punya Cita-Cita Mulia untuk Kampung Halaman
Materi yang diajarkannya pun tak main-main, di antaranya:
- Pencegahan kekerasan seksual.
- Prinsip Sains.
- Teknologi, Teknik, Seni, dan Matematika (STEAM).
- Kesetaraan gender, empati, nilai, dan kemanusiaan.
Galih juga menekankan bahwa meskipun dirinya adalah penganut agama Katolik, sementara mayoritas muridnya beragama Islam, hal ini tidak menjadi penghalang baginya untuk mengajak para murid buka puasa bersama.
Selain aktif di dalam kelas, lulusan University College London tersebut juga kerap mewakili guru SD negeri dalam berbagai kesempatan seperti talk show dan seminar.
Dalam keterangan unggahannya, Galih berkisah bahwa menjadi guru SD Negeri bukanlah rencana awal.
"Karena S1 aku Pendidikan Guru SD, maka aku kembali dan menjadi guru SD. Padahal, kalau mau jujur, bukan itu rencana awalnya," tulis Galih dalam keterangan video.
"Tapi ternyata memang aku butuh menjadi Guru SD Negeri terlebih dahulu untuk paham konteks dan masalah akar rumput. Dan tanpa sadar memberi pengaruh untuk teman-teman lain," tambahnya.
Meski bukan rencana awal, tapi ketika Galih mengingat kembali, ternyata ini adalah jalan baginya untuk mewujudkan apa yang dipresentasikan saat wawancara LPDP.
"Setelah ku ingat kembali, ternyata ini jalanku mewujudkan apa yang ku presentasikan saat wawancara dengan panelis LPDP: mengintegrasikan pembelajaran kontekstual dan bermakna di sekolah-sekolah negeri," katanya.
Alih-alih menjadi pembuat atau pemangku kebijakan, menjadi guru SD negeri ternyata telah membuat Galih Sulistyaningra mewujudkan misinya seperti yang dirangkai saat mendaftar LPDP.
"Siapa sangka ternyata tercapai dengan menjadi guru SD negeri itu sendiri, bukannya pembuat atau pemangku kebijakan, atau NGO. Tapi malah aktor utama dan garda paling depan, penentu kualitas pembelajaran. Hidup memang lucu terkadang," ujarnya.
Galih bercerita bahwa dirinya pulang ke Tanah Air pada 2019 dan langsung mengikuti tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk formasi S1 guru SD, atas dorongan kuat dari orangtuanya yang juga seorang guru.
Bagi orangtuanya, kesuksesan adalah menjadi abdi negara.
"Walau itu artinya mengikhlaskan dan mengarsipkan dulu ijazah S2-ku, serta merelakan pendapatan yang menurun jauh dari yang sebelumnya kuterima. Namun, orientasiku saat masih lajang kala itu tentu berbeda dengan kini yang menjadi ibu," tambahnya.
Di kisah lain, ada seorang anak petani di Kabupaten Buru Selatan, Pulau Buru, Maluku, memilih kuliah di Program Studi Ilmu Hukum demi membangun kampung halaman.
Ia adalah Ratu Boi Maira Suat Pasai atau Boymaira Suat Pasai.
Terlahir dari keluarga sederhana, membuka mata Boymaira tentang betapa pentingnya pendidikan.
Apalagi jika melihat kondisi warga di kampung halamannya yang kerap kali bertikai hingga berujung kematian.
Hal tersebut tak lepas dari faktor pendidikan dan pengetahuan yang rendah.
Inilah yang turut mendorong Boy untuk terus melanjutkan pendidikan hingga jenjang tertinggi.
Tak cukup sekedar lulus SMA dan sarjana saja, ia bahkan melanjutkan studi hingga jenjang magister (S2) berkat beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

"Kenapa saya sampai keluar dari kampung, karena persoalan fasilitas pendidikan tidak memadahi."
"Kedua, lingkungan yang tidak mendukung karena pemahaman antropologi masyarakat. Kalau ketika sudah punya harta seperti rempah-rempah kopra, cengkeh, kelapa, mungkin sebatas SMP atau SMA saja cukup" ujar Boy, dikutip dari laman LPDP.
Masa kecil Boy dihabiskan di Kabupaten Buru Selatan.
Sebab, orang tuanya kemudian hijrah ke Pulau Buru untuk mencari kehidupan di sana dan menjadi petani dengan menanam pohon cengkeh, pala, dan kopra.
Kehidupan ekonomi masyarakat Pulau Buru bergantung pada hasil laut dan pertanian di darat.
Dengan kondisi seperti itu juga tak heran apabila rata-rata pendidikan masyarakat di sana hanyalah tamatan SMP atau SMA.
Pendidikan tinggi masih jauh dari asa lantaran berat di ongkos.
“Mungkin psikologi mereka ketika mereka melanjutkan sampai tingkat kuliah itu menjadi penghambat di ekonomi (keluarga) mereka” kata Boy.
Itulah mengapa, pendidikan tidak menjadi prioritas utama untuk dikejar.
Bahkan, banyak yang enggan bersekolah tinggi karena pemikiran bahwa lulus sekolah belum tentu mendapat pekerjaan yang layak.
Beruntung, keluarga Boy sedikit demi sedikit melek pendidikan.
Dari kelima saudara, tiga orang telah tamat sarjana termasuk Boy.
Tinggal di Pulau Buru tentu tak mudah bagi Boy untuk mendapatkan akses pendidikan yang mumpuni.
Ia bahkan harus menempuh perjalanan jauh dan berliku untuk bisa ke Pulau Ambon, tempatnya bersekolah.
Dari kampungnya, ia terlebih dahulu menuju Kota Namrole dan melanjutkan ke Kota Ambon menggunakan kapal feri dalam waktu tempuh tujuh sampai delapan jam. Jika menggunakan pesawat maka hanya butuh 25 menit saja, namun tentu harganya lebih mahal.
Saat masih menempuh S1 di Unpatti Ambon, harga pesawat kala itu untuk sekali terbang sekitar 500 ribu rupiah. Saat ini kabarnya telah menyentuh angka satu juta rupiah. Sementara apabila naik kapal laut dihargai sekitar 200 ribu rupiah saja.
Boy merampungkan jenjang SMA sampai lulus sarjana Ilmu Hukum Universitas Pattimura pada 2022 di Ambon.
Hanya butuh 3 tahun 8 bulan untuk Boy mendapatkan gelar Sarjana Hukum.
Baca juga: Sempat Ditentang Orang Tua, Ulfatun Anak Buruh di Jepara Akhirnya Lulus Cumlaude S2 UGM Berkat LPDP
Dukungan dari rekan, saudara, dan keluarga membuat Boy terus termotivasi untuk melanjutkan studi S2. Pilihannya jatuh ke Magister Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada. Alasan Boy memilih UGM karena tertarik dengan dosen-dosen hukum yang menurutnya berkompeten dan memiliki kualitas bagus.
“Oleh karena itu saya memutuskan untuk memilih UGM sebagai kampus utama. Dan keinginan untuk mendapatkan ilmu lebih banyak lagi seputaran ilmu hukum pidana” jelas Boy.
LPDP sendiri secara khusus memiliki program Beasiswa Daerah Afirmasi, sebuah jalur beasiswa khusus yang diperuntukan untuk putra-putri yang berasal dari daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Pulau Buru tempat asal Boy adalah salah satu daerah yang masuk dalam program ini.
Ia mengaku pertama kali mendapat informasi terkait adanya beasiswa LPDP dari kakak kandungnya di tahun 2021. Ketertarikannya kemudian juga mendapat dukungan dari senior dan rekan-rekannya di kampus.
Sampai pada akhirnya ia mencoba seleksi beasiswa LPDP di tahun 2023 melalui program Beasiswa Daerah Afirmasi dan lolos dalam sekali percobaan tersebut. Sedangkan surat diterima sebagai mahasiswa S2 Ilmu Hukum UGM juga sudah di tangan.
Asa Kembali ke Kampung Halaman, Memberikan Bantuan Hukum
Boy memang baru akan memulai studi Magister Ilmu Hukum pada pertengahan tahun nanti. Namun ia telah berkeinginan untuk bisa kembali ke kampung halaman dan mengabdikan ilmunya untuk memberikan bantuan hukum pro bono.
Penelitian skripsi sarjananya mengangkat permasalahan penyalahgunaan senjata tajam di kalangan masyarakat adat di Buru Selatan.
Para masyarakat adat ini memiliki kebiasaan membawa senjata tajam ketika berpergian di lingkungan mereka, di tempat umum, maupun di perkotaan.
Ini cukup mencolok apabila dibanding orang-orang Buru di perkotaan yang tidak membawa senjata tajam saat bepergian. Dengan membawa senjata tajam kemana-mana inilah yang menjadikan rawan disalahgunakan dan dapat memantik pertikaian berdarah.
Belum lagi permasalahan lainnya yang berkaitan dengan hukum seperti konflik tanah dan tambang. Sengkarut inilah yang meninggalkan ruang kosong ketidaktahuan hukum dan biaya perkara yang mahal.
Sebagai anak hukum yang menyaksikan latar belakang kondisi di daerahnya, Boy ingin mendirikan sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pasca menyelesaikan studi S2 kelak.
“Kehidupan masyarakat di sana itu mereka tidak memahami ketika ada permasalahan. Mereka berpikir ketika ke pengacara maka membutuhkan biaya yang yang begitu banyak. Agar mereka sadar ternyata LBH itu membantu mereka dalam segala bentuk masalah” harap Boy.
Dengan kehadiran LBH, warga menjadi mengerti konsekuensi hukum dari segala perbuatannya dan berimbas pada ketertiban serta dapat meringankan beban rakyat saat harus berurusan dengan hukum.
Selain itu dengan pencapaian Boy yang mau berkuliah hingga jenjang S2 menggunakan beasiswa LPDP ini dapat memantik generasi muda di Pulau Buru dan sekitarnya untuk terus mengejar pendidikan tertinggi. Terlebih negara sedang hadir memberikan kesempatan studi S2 dan S3 di dalam dan luar negeri.
“Karena dengan adanya pendidikan maka saya yakin wilayah saya akan maju” menutup cerita pemuda dari pulau yang pernah menjadi kamp pembuangan lawan politik di rezim Orde Baru itu.
Dirinya yakin daerahnya akan semakin bersinar dengan sumber daya manusia yang terus bergerak maju melalui pendidikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.