Berita Surabaya

Sosok Pak Sadi yang Baru Saja Berpulang, Peracik Soto Ambengan Tenar dan Kerap Jadi Jujugan Pejabat

Sampai sekarang soto Pak Sadi kerap jadi santapan pejabat-pejabat saat menyelenggarakan acara kenegaraan.

Penulis: Tony Hermawan | Editor: Titis Jati Permata
surya.co.id/tony hermawan
Bambang Sutrisno menunjukkan foto Sadi semasa masih hidup 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Namanya singkat dan sangat mudah diucapkan: Sadi. Tak ada nama belakang setelah aksara itu.

Anak-anak muda Surabaya generasi 1970-1980-an mestinya familiar dengan nama tersebut.

Setiap ada orang menyebutkan nama Jalan Ambengan akan selalu mengenang sebuah cita rasa masakan suwiran ayam, disiram kuah kuning, dan bertabur koya. Sosok itulah yang menciptakannya.

Sadi adalah pelopor penjual Soto Ayam di Jalan Ambengan.

Berawal berdagang secara keliling menggunakan gerobak dorong, ia sekarang memiliki depot di mana-mana, satu di antaranya terletak 600 meter dari Kantor Pemkot Surabaya. Sayang, berita duka datang dari peracik kuliner itu.

Sadi meninggal di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Minggu, 11 Februari 2024, sekira pukul 19.04 WIB.

Esoknya, jenazah dikebumikan di tanah kelahirannya di Desa Gajah, Kabupaten Lamongan.

Catatan adminitrasi kependudukan Sadi berpulang di usia 79. Namun, keluarga meyakini Sadi sebenarnya berusia 82 tahun.

"Kalau di KTP memang tertulis lahir 8 Januari 1945, tapi abah (Sadi) pernah bilang ke saya kalau sebenarnya lahir 1942. Kenapa diganti, katanya biar mudah diingat dan biar sama dengan tahun Kemerdekaan Indonesia," kata Bambang Sutrisno, anak keempat Sadi.

Sadi meninggalkan tiga putra; Muhammad Soleh, Sudiono, Bambang Sutrisno.

Istrinya, Ny. Djaijah dan putranya yang kedua, Hartono beberapa tahun silam lebih dulu berpulang.

Kepergian Sadi tentu saja menjadi kabar mengagetkan keluarga, pelanggan, tetangga, termasuk teman-teman bisnisnya.

Silih berganti karangan bunga berdatangan di rumah Ambengan, yang bisa dibilang letaknya berada di belakang depot.

Saking banyaknya orang-orang yang melayat, dua bus sampai disewa untuk mengantarkan Sadi dikebumikan di Lamongan.

Almarhum yang sudah memiliki 10 cucu ini ternyata dikenal bisa membuat orang yang semula cemberut bisa berubah ramah ketika sudah berada di meja makannya.

Ia jago membuat sebuah acara pesta di mulut. Merogoh kocek Rp 26 ribu ia sajikan di mangkuk berisi suwiran ayam kampung, ayam merah, telur rebus, dan suun.

Kuah soto kunyit, lengkuas, dan serai menyatu menghasilkan ras medok nan gurih, namun tetap pas.

Acara pesta di mulut makin meriah karena campuran koya yang terbuat dari kerupuk udang.

Hartono, putra keduanya sewaktu masih hidup, tepatnya 2013 silam, pernah membawa olahan masakan itu ke Singapura untuk diikutkan sebuah kompetisi kuliner.

Soto Ambengan Pak Sadi ini menyabet penghargaan Masters of the Year dari World Street Food Congress Food.

Rasa masakan pedagang kaki lima dari sejumlah negara kalah enak bila dibandingkan dengan masakannya.

Sejumlah petinggi negara ternyata mengenal Soto Pak Sadi.

Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo pernah singgah ke Ambengan untuk makan sotonya.

Sampai sekarang soto Pak Sadi kerap jadi santapan pejabat-pejabat saat menyelenggarakan acara kenegaraan.

Jauh-jauh sebelum wafat, Sadi sudah mewariskan usaha tersebut ke anak-anaknya.

Putranya yang paling bontot mengurus depot yang berada di Ambengan.

Sedangkan anak pertama dan ketiga mengurus di cabang-cabang yang ada di sejumlah Kota Surabaya dan Jakarta.

"Meskipun sudah turun ke generasi, tapi rasa tetap sama, tetap otentik. Kunci soto Abah bertahan sampai sekarang, ya karena mempertahankan resep. Bumbu dan racikan tidak ada yang berubah. Abah semasa hidup itu selalu wanti-wanti kalau bahan baku naik mending harga jual ikut dinaikkan daripada mengurangi bumbu," ucapnya.

Sisi Lain Sang Peracik Soto

Sadi ternyata memiliki sisi lain. Sebagai peracik soto ayam handal, dirinya di lingkungan tetangganya di Ambengan dikenal suka menyemir rambut.

"Bukan menyemir rambut di salon, tapi di pos kampling samping rumahnya," ujar Mbak Lah, ibu rumah tangga yang membuka warung kopi dekat rumah Pak Sadi.

Bambang Sutrisno, anak keempat Sadi cerita, almarhum ayahnya memang kerap tampil stylish. Kendati begitu, seleranya tidak tinggi-tinggi.

Untuk urusan menyemir rambut tidak pergi ke salon. Ada karyawan salon yang kebetulan tetangganya kerap diminta untuk menyemir rambut ayahnya.

Sadi semasa muda pernah menjadi perokok berat. Akan tetapi berhenti gara-gara dagang soto ayam.

Proses ia berhenti merokok sangat alamiah. Tidak pakai terapi. Cerita itu bermula ketika Sadi yang dagang soto ayam di lapangan Jalan Ambengan (sekarang berubah pom bensin), sekitar 1971 ditawari membuka warung soto di depan asrama Brimob di Jalan Ambengan.

Di situlah usahanya ramai. Saking sibuknya sampai tak bisa merokok. Berlanjut menjadi kebiasaan yang akhirnya sama sekali tidak merokok.

Tetangga mengenal Sadi orang yang selalu terlihat riang. Meski usianya menginjak lansia, namun tak terlihat tak terlihat ringkih.

Semasa hidup ia kerap riwa-riwi Surabaya-Jakarta untuk mengurus sotonya di sana. 15 hari di Jakarta, sisanya di Surabaya.

Namun, sejak November 2023 lalu Sadi kerap jarang pulang di rumah Ambengan.

Kondisi kesehatannya mulai menurun. Dia berjuang melawan tumor otak. Sadi menghebuskan nafas terakhir karena penyakit itu.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved