Berita Tulungagung

Program PTSL Diganggu Oknum yang Mengaku LSM, ATR/BPN akan Minta Payung Hukum ke Bupati Tulungagung

Kantor ATR/BPN Tulungagung telah melakukan pengukuran sebanyak 107.000 bidang tanah dan menyelesaikan 42.726 sertifikat lewat program PTSL di 2023.

Penulis: David Yohanes | Editor: irwan sy
SURYA.CO.ID/David Yohanes
Kepala ATR/BPN Tulungagung, Ferry Saragih. 

SURYA.co.id | TULUNGAGUNG - Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Tulungagung telah melakukan pengukuran sebanyak 107.000 bidang tanah dan menyelesaikan 42.726 sertifikat lewat program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) selama tahun 2023.

Menurut Kepala ATR/BPN Tulungagung, Ferry Saragih, saat ini Tulungagung masih 70 persen menuju Kabupaten Lengkap karena masih ada 108 desa yang belum masuk PTSL.

“Jadi masih ada 108 desa dari 257 desa di Tulungagung yang belum mengajukan program PTSL. Ini tergantung desanya masing-masing,” ucap Ferry.

ATR/BPN Tulungagung menargetkan, akan menuntaskan pengukuran pada 2025.

Di tahun itu seluruh bidang tanah di Kabupaten Tulungagung sudah terpetakan, namun belum termasuk sertifikat.

Selain itu Ferry mengaku akan minta dukungan ke bupati, para camat hingga turun ke desa-desa agar segera mengajukan program PTSL.

“Secara teknis, selama ini tidak ada kendala yang berarti. Hanya masalah pemilik tanah yang kadang sulit ditemui, karena tinggal di luar daerah atau luar pulau,” ungkap Ferry.

Namun masalah terbesarnya justru adanya oknum anggota LSM yang justru dianggap membuat takut para Kepala Desa untuk ikut PTSL.

Oknum anggota LSM ini mempertanyakan biaya PTSL mengacu pada SKB 3 menteri yang ditetapkan sebesar Rp 150.000.

Fakta di lapangan, biaya yang dibutuhkan lebih dari itu sehingga biaya yang diminta di atas Rp 150.000.

“Selama ini masyarakat tidak ada yang komplain soal biaya PTSL. Yang ribut justru oknum LSM itu, bingung juga,” ucap Ferry.

Ferry menjelaskan, pemenuhan kelengkapan berkas menjadi tugas pemohon, mulai meterai, patok tanah, surat keterangan, surat pernyataan dan lain-lain.

Namun dalam pelaksanaannya, pemohon mempercayakan kepada kelompok masyarakat (Pokmas) untuk mengurusnya.

Pokmas juga membutuhkan biaya operasional dan sudah disepakati oleh masyarakat.

“Selagi masyarakat tidak komplain soal biaya, kami juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun dilarang malah tidak ada yang jalan,” ujarnya.

Ferry menegaskan jika PTSL gagal dilaksanakan maka yang rugi adalah masyarakat pemilik tanah.

Mereka harus mengeluarkan biaya sertifikasi yang lebih mahal lewat proses rutin.

Sementara ATR/BPN jika dianggap tidak memenuhi target, maka uangnya akan dikembalikan ke negara.

Karena itu Ferry akan meminta bantuan ke Bupati untuk membuatkan payung hukum yang mengatur biaya PTSL.

Selama belum ada payung hukum yang menguatkan seperti Perbup misalnya, maka SKB 3 menteri itu akan dipakai untuk menekan para Kades.

Para Kades pun mengeluh karena ujung-ujungnya dimintai uang.

“Sekali lagi, kalau PTSL gagal yang rugi adalah masyarakat karena harus membayar mahal lewat proses rutin. Apakah ini harus kita pertaruhkan atas nama orang-orang tertentu saja?” pungkas Ferry.

Seorang Kades yang dihubungi SURYA.co.id mengakui jika sejumlah Kades yang ikut program PTSL menerima surat dari LSM tertentu.

Isi suratnya mempertanyakan biaya PTSL lebih dari Rp 150.000, seperti yang disebutkan SKB 3 menteri.

Padahal jika berpatokan dengan harga Rp 150.000, maka tidak ada Pokmas yang mau menangani berkas PTSL dari warga.

“Coba saja, dengan biaya Rp 150.000 siapa yang mau menjalankan PTSL? Biaya operasionalnya apa cukup?” ucapnya.

Ujung-ujungnya para Kades dimintai uang jutaan rupiah dengan ancaman akan dibawa ke ranah hukum.

Karena takut dan tidak mau ribet, para Kades rata-rata menuruti membayar permintaan LSM ini.

Situasi ini yang juga membuat Kades-Kades lain takut melaksanakan program PTSL.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved