Pilpres 2024
Kata Pengamat soal Gaya Cak Imin, Gibran dan Mahfud MD saat Debat: Ada yang Terlalu Percaya Diri
Kata Pengamat soal Gaya Cak Imin, Gibran dan Mahfud MD saat Debat: Ada yang Terlalu Percaya Diri
Penulis: Arum Puspita | Editor: Adrianus Adhi
SURYA.CO.ID - Gaya cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar alias Cak Imin; cawapres nomor urut 2 Gibran; dan cawapres nomor urut 3 Mahfud MD jadi sorotan pengamat.
Satu di antaranya pengamat komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo.
Menurut Kunto, ketiga cawapres memiliki kelebihan dan kelemahan masing0masing.
Ia kemudian menilai, Cak Imin terlalu percaya diri. Ia mengandalkan istilah 'slepet' di setiap orasinya.
“Menurut saya, Cak Imin lebih cenderung overconfidence. Dia selalu pakai ‘slepetan’ yang akhirnya jadi garing,” kata Kunto kepada Kompas.com, Sabtu (23/12/2023).
Kunto berpendapat, beberapa pernyataan Muhaimin cenderung kontroversial dan kontradiktif satu sama lain.
Contohnya ketika menyinggung soal rencana penerapan wealth tax atau pajak kekayaan. Gagasan ini sebenarnya berpotensi menyenangkan masyarakat kelas menengah dan bawah.
Namun, pada saat bersamaan, Muhaimin justru memuji omnibus law Cipta Kerja yang sejak dulu mendapat penolakan masif dari publik.
Lalu, Imin juga menyuarakan penolakan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Akan tetapi, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu justru ingin membangun 40 kota baru selevel DKI Jakarta.
“Jadi tampak terlalu overconfidence dan ceplas-ceplos, sehingga kadang-kadang blunder,” ujar Kunto.
Meski begitu, Kunto menilai, Muhaimin memberikan closing statement atau pernyataan penutup yang cukup baik dengan berulang kali menegaskan soal keadilan dan pemerataan pembangunan.
“Di akhir-akhir Cak Imin oke statement-statement-nya, terutama statement penutupnya,” tutur Kunto.
Gaya Gibran
Bukan hanya Cak Imin, Kunto juga mengamati gaya Gibran, yang terlihat berupaya menyerang lawan berulang kali. “Serangan” dilakukan Gibran dengan menyebut istilah-istilah yang awam.
Misalnya, Gibran menanyakan tentang regulasi carbon capture and storage ke cawapres nomor urut 3, Mahfud MD.
Lalu, putra sulung Presiden Joko Widodo itu bertanya soal SGIE (State of the Global Islamic Economy) ke Muhaimin hingga membuat lawannya kebingungan.
Kunto menyebut, cara Gibran menggunakan istilah atau bahkan singkatan tanpa menjelaskan maknanya merupakan strategi untuk membingungkan lawan.
“Memang hanya taktik untuk membingungkan lawan saja, enggak ada urusannya dengan pengetahuan,” kata Kunto.
Kunto menilai, strategi Gibran ini meniru taktik ayahnya pada debat Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, ketika Jokowi menggunakan istilah TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) dan unicorn di hadapan lawannya saat itu, Prabowo Subianto.
Penggunaan singkatan dan istilah awam, kata Kunto, sebenarnya jauh dari esensi debat. Akibatnya, persoalan lain yang lebih substansial justru tak dibahas.
“Akhirnya kan semalam jadi tidak ada kebijakan fiskal yang di perbincangkan. Jadi enggak ada kemudian kebijakan ekonomi makro yang diperbincangkan, semuanya hanya sekedar gimik. Istilah-istilah seperti hilirisasi karbon itu yang akhirnya menurut saya menjauhkan esensi debat ini,” katanya.
Memang, lanjut Kunto, Gibran berhasil dalam urusan performa di debat, tapi tidak pada adu gagasan.
“Kemarin semata-mata hanya show aja. Dan Mas Gibran menurut saya berhasil dalam show di debat itu, tapi bukan pada adu gagasan dan substansi debatnya,” tutur dia.
Gaya Mahfud MD
Terakhir, Kunto menilai, Mahfud MD lebih berhati-hati dalam menyampaikan gagasannya saat debat.
Menurutnya, Mahfud berupaya menarik materi tema debat ekonomi dan investasi ke ranah hukum, bidang yang dikuasai oleh Menko Polhukam itu.
“Topik debatnya bukan kepakaran dia, sehingga dia berusaha membelokkan tentang hukum dalam permasalahan ekonomi,” kata Kunto.
Namun, karena banyak menarik-narik isu ekonomi ke ranah hukum, pada akhirnya Mahfud tak fokus pada substansi debat yang sebenarnya bertema ekonomi, keuangan, pajak dan tata kelola APBN-APBD, investasi, perdagangan, serta infrastruktur dan perkotaan ini.
“Dia tidak menjelaskan soal kebijakan fiskal, lalu Mahfud menggarisbawahi soal korupsi, jadi seperti out of topics,” ucap Kunto.
Mahfud juga dinilai setengah hati dalam membalas serangan Gibran. Namun, tampak bahwa mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu sangat sabar meladeni pertanyaan-pertanyaan tajam yang dilempar Gibran menggunakan perspektif ilmu hukum yang ia kuasai.
“Jadi, menurut saya Pak Mahfud lebih oke menjawabnya ketika dia menjelaskan prosedur daripada jenis undang-undang apa, atau legislasi apa yang diperlukan,” tutur Kunto.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.