Pilpres 2024
BIODATA Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi yang Diklaim Paling Bersih dari Tuduhan Langgar Etik
Inilah profil dan biodata Wahiduddin Adams, hakim konstitusi yang diklaim paling bersih dari tuduhan pelanggaran kode etik.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Putra Dewangga Candra Seta
SURYA.co.id - Inilah profil dan biodata Wahiduddin Adams, hakim konstitusi yang diklaim paling bersih dari tuduhan pelanggaran kode etik.
Diketahui, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memeriksa seluruh hakim konstitusi per Kamis (2/11/2023) malam.
Hakim konstitusi sekaligus anggota MKMK dari unsur hakim aktif, Wahiduddin Adams, menjadi hakim terakhir yang diperiksa.
Menurut Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Wahiduddin diklaim sebagai hakim yang paling bersih dari tuduhan pelanggaran etik.
"Pak Wahid paling bebas dari tuduhan langgar kode etik.
Makanya cocok dia jadi anggota MKMK," ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie kepada wartawan, melansir dari Kompas.com.
Namun demikian, Jimly tidak menjelaskan lebih lanjut alasan di balik pernyataannya itu.
Melansir dari WIkipedia, Wahiduddin Adams lahir 17 Januari 1954.
Ia adalah seorang birokrat dan hakim Indonesia. Ia menjabat sebagai Hakim Konstitusi Republik Indonesia mulai 21 Maret 2014.
Sebelum berkarier sebagai hakim, Adams adalah seorang birokrat di Kementerian Hukum dan HAM, menjabat sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan dari 2010 hingga 2014.
Adams besar di sebuah desa kecil yang bernama Pulau Gemantung dan bersekolah di desa Sakatiga, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
Ia menempuh pendidikan di madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah setempat sebelum masuk ke IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, di mana ia meraih gelar Sarjana Peradilan Islam pada tahun 1979.
Ia melanjutkan pendidikannya juga di IAIN Syarif Hidayatullah, di mana ia mendapatkan gelar Magister Hukum Islam (1991) dan Doktor Hukum Islam (2002).
Pada tahun 1987, Adams menempuh pendidikan posdoktoral dalam bidang ilmu perundang-undangan di Universitas Leiden.
Selepas menyandang gelar doktornya, ia mengajar sebagai dosen tamu pada mata kuliah ilmu perundang-undangan di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah[2] dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Adams mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 2005, tiga tahun selepas ia menyelesaikan program doktoralnya.
Adams memulai kariernya sebagai pegawai di Badan Pembinaan Hukum Nasional, di mana ia berkarier selama delapan tahun (1981-89).
Ia kemudian menjadi perancang peraturan perundang-undangan pada Direktorat Jenderal dan Perundang-Undangan (1990-95) dan kepala biro di Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman (1995-2001).
Selama satu tahun (2001-02), ia bertugas sebagai koordinator administrasi di Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Provinsi Sulawesi Tenggara di Kendari.[1]
Adams dua kali menjabat posisi direktur pada lingkungan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, yaitu sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan (2004) dan Direktur Fasilitasi Perencanaan Peraturan Daerah (2004-10).
Pada tahun 2010, di bawah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, ia menjadi Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, jabatan yang ia emban sampai terpilihnya ia ke MK.[1]
Pada saat menjabat Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Adams terlibat dalam penyusunan beberapa Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh pemerintah, seperti RUU Peradilan Agama, RUU Zakat, RUU Wakaf, dan RUU Perbankan Syariah. Ia juga terlibat dalam menyusun rancangan awal revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dugaan Pelanggaran Etik
Sebagai informasi, dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi), Anwar Usman, mengabulkan sebagian gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada 16 Oktober 2023.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Hakim yang setuju putusan itu hanya Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul. Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion), bahwa hanya gubernur yang berhak untuk itu.
Sementara itu, hakim konstitusi Arief Hidayat, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo menolak dan menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Kemudian, putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya hampir tiga tahun.
Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto.
Pasangan ini telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada 25 Oktober 2023.
Hingga kini, MK telah menerima secara resmi 20 aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Aduan tersebut bervariasi, mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan seluruh hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk MKMK.
MKMK menyatakan bakal membacakan putusan paling lambat pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI.
>>>Ikuti Berita Lainnya di News Google SURYA.co.id

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.