Piala Dunia U20 2023

Penilaian Universitas Muhammadiyah Malang Atas Dicabutnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20 2023

Batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 membuat Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ikut angkat bicara

Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: Fatkhul Alami
Surabaya.Tribunnews.com/Sylvianita Widyawati
Dosen Hubungan Internasional UMM, Hafid Adim Pradana MA menilai, keputusan FIFA diduga karena penolakan dari sejumlah pihak di Indonesia atas keikutsertaan timnas Israel. 

SURYA.co.id | MALANG - Batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 membuat Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ikut angkat bicara.

Dosen Hubungan Internasional UMM, Hafid Adim Pradana MA menilai, keputusan FIFA diduga karena penolakan dari sejumlah pihak di Indonesia atas keikutsertaan timnas Israel.

Hafid Adim Pradana MA mempertanyakan mengapa penolakan tersebut tidak dilakukan sejak timnas Israel dinyatakan lolos kualifikasi.

"Batalnya Indonesia menjadi tuan rumah tentu saja memberikan kerugian di berbagai sektor. Secara diplomatik, Indonesia akan memiliki citra yang kurang baik di mata internasional," jelas Hafid.

Meski Indonesia harus tetap menghargai dan menghormati keputusan FIFA, namun Indonesia akan selalu diingat sebagai negara yang gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.

Apalagi sejak dua tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan biaya yang tidak sedikit. Seperti membangun fasilitas baru maupun memperbaiki infrastruktur yang ada.

Dengan tidak jadinya itu, timnas Indonesia U-20 juga gagal tampil. Padahal ini sebagai kesempatan timnas Indonesia untuk tampil di piala dunia karena menjadi tuan rumah.

Hafid juga menggarisbawahi pernyataan resmi FIFA di paragraf kedua, yaitu secara tidak langsung mengarah pada kejadian kelam sepakbola Indonesia yang terjadi pada Oktober tahun lalu.

“Saya rasa, meskipun FIFA tidak pernah memberikan statement ke publik, pastinya FIFA tetap mengamati perkembangan hukum dan penanganan kejadian Kanjuruhan," jelas Hafid.

Sehingga ia mengayakan bahwa negara tidak begitu serius menangani persoalan terkait. Namun ia memandang keputusan FIFA sebagai penerapan standar ganda. Ia mencontohkan saat perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar, pada saat itu Rusia melakukan invasi ke Ukraina.

“Saat itu FIFA memberikan sanksi kepada federasi Rusia dengan mendiskualifikasi timnas Rusia dan tidak memperbolehkan bendera, nama, hingga atribut Rusia terpajang di gelaran itu,” jelasnya.

Jika memang FIFA bersikap tegas pada Rusia, seharusnya hal tersebut juga diberlakukan sama kepada Israel karena telah memulai konflik dengan Palestina.

Namun sikap itu tidak dilakukan oleh FIFA. Alasan besarnya adalah karena asosiasi FIFA dibentuk dan didirikan oleh negara-negara barat.

“Jadi jargon FIFA yang mengatakan sepakbola harus dipisahkan dengan politik itu hanya omong kosong,” tegasnya.

Dengan adanya ini, maka Indonesia harus mengambil pelajaran dari keputusan ini.

Ini menjadi sanksi bagi dunia persepakbolaan indonesia. Sudah saatnya pemerintah dan PSSI memiliki komitmen untuk memperbaiki kualitas sepakbola yang ada. Yaitu jangan jadikan sepakbola sebagai ajang berpolitik.

"Jika nanti kembali ingin menjadi tuan rumah event olahraga besar, ada baiknya untuk melakukan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mencapai pemahaman yang sama," pungkasnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved