Shohibul Anshor Bagikan Pandangannya soal Perdebatan Calon Presiden Jawa dan Non-Jawa
Pengamat sosial politik mengatakan, perdebatan mengenai Jawa dan non-Jawa terjadi karena Indonesia masih kuat akan hal-hal yang bersifat golongan.
SURYA.CO.ID - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi momentum hajatan demokrasi Indonesia yang penyelenggaraannya semakin dekat. Menjelang Pemilu 2024, muncul perdebatan terkait calon presiden (capres) Jawa dan non-Jawa.
Hal tersebut tentunya bukanlah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), karena Indonesia memiliki beragam suku bangsa, sehingga pembahasan ini penting untuk dibicarakan. Perdebatan ini juga menjadi bentuk literasi politik untuk generasi muda.
Pengamat sosial politik sekaligus Direktur Basis Shohibul Anshor Siregar mengatakan, perdebatan mengenai Jawa dan non-Jawa merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Pasalnya, Indonesia masih kuat akan hal-hal yang bersifat golongan.
"Berbicara Jawa vs non-Jawa, presiden kita disebut dari awal berjumlah 7 orang. Namun, ada yang kenal tidak dengan Syafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat? Saya tidak bisa membayangkan Indonesia tanpa kedua nama ini, tapi dari kampung hingga ke manapun, yang dikenal hanya 7 presiden, dua lagi yang saya sebutkan ini ke mana?
"Nah, jadi kalau prediksinya 2029 akan ada presiden non-Jawa, saya sedikit pesimis. Masih jauh sepertinya. Budaya ini ada yang sifatnya di bawah permukaan dan tidak terbaca, masih sangat sulit mencapai keinginan perubahan atas stigma tersebut," tutur Anshor.
Hal itu disampaikan Anshor saat menghadiri bincang bersama "Memilih Damai" bertajuk "Presiden Ke-8 Haruskah Kembali Perdebatan Jawa vs Non-Jawa", di Medan, Rabu (30/11/2022).
Tidak dapat dibantah, di Indonesia masih sangat kental dengan tudingan politik identitas yang sesuai dengan teori Francis Fukuyama.
Anshor mengaku tidak tahu apakah di dunia ini ada orang yang ikhlas melepaskan identitasnya.
"Di Amerika selain yang dikemukakan Pak Panji sebelumnya, hari ini masih bisa kita deteksi. Ada pergerakan yang luar biasa, tidak ada satu orang pun calon presiden Amerika Serikat yang mampu berdiri sebagai calon dengan tuduhan, bahwa dia kurang beragama dan kampanye mereka umumnya diracik dari mimbar-mimbar gereja. Jadi Indonesia perlu membenahi persoalan tuduhan identitas itu, ke mana arahnya," jelasnya.
Sementara itu, Ray Rangkuti mengatakan bahwa penting untuk melihat prestasi calon pemimpin, bukan sekadar bicara soal etnis atau golongan tertentu.
"Jawa dan non-Jawa itu jangan dilihat dari segi geografik, jangan juga dilihat dari segi etnis. Di Pulau Jawa termasuk beragam suku bangsa ada, sama seperti di sini juga hampir semua suku bangsa ada," ujar Rangkuti.
Ia menilai, ketika berbicara mengenai Jawa, seseorang berbicara mengenai jumlah pemilih terbesar di Indonesia.
"Karena jumlah pemilih terbesarnya itu ada di Jawa memang mau tidak mau orang mengatakan Jawa adalah kunci. Itu hukum politiknya saja. Kalau sekiranya separuh dari penduduk Jawa itu pindah ke Sumatera Utara, Sumatera Utara adalah kunci. Mau tidak mau politik itu mengikuti jumlah pemilih terbanyak di mana," sambungnya.
Menurutnya saat ini jika ditanya apakah yang menentukan adalah Jawa. Jawabannya ya, karena pemilihnya banyak di sana.
"Tetapi apakah karena itu kemudian para calon pemimpin tidak bisa tumbuh dari mereka yang secara etnis bukan Jawa, secara geografis bukan Jawa, dan secara asal-usul bukan Jawa, jawabannya tidak. Untuk tahun 2024 ini saya rasa sulit bagi calon presiden, karena nama-namanya sudah terkunci di tiga nama, ada Prabowo, Anies, dan Ganjar, kalau wakil masih terbuka ini," ungkapnya.
Ia melanjutkan, sistem yang dianut adalah liberal, jadi akan menyesuaikan dengan kemampuan calon pemimpin. Asumsi kedua adalah para milenial tidak terpaku pada etnis.
"Sebagai contoh misalnya, perilaku pemilih di masa mendatang itu seperti nonton YouTube, siapapun yang membuat sesuatu yang menarik di YouTube kita akan pasti sukai tidak perlu melihat sukunya apa, jenis kelaminnya apa, agamanya apa tidak peduli juga negaranya di mana pun," lanjutnya lagi.
Selanjutnya, sebut dia, pemilih akan berbicara prestasi dan bukan etnis. Tidak mungkin presiden atau gubernur bisa terpilih jika tidak memiliki prestasi.
"Jadi pemimpin daerah pun tidak bisa, sudah tidak trennya lagi. Mau punya partai sebesar apa pun kalau tidak diminati oleh publik tidak akan bisa menjadi calon presiden. Jika nantinya Ibu Kota Negara (IKN) pindah, maka pusat politik yang selama ini dikenal Jakarta, pasti akan berpindah ke tempat baru. Pusat kekuatan politik akan pindah dengan sendirinya," paparnya.