KKB Papua
BIODATA Lodewijk Mandatjan Eks Petinggi KKB Papua yang Punya 14 Ribu Pasukan, Pernah Ketemu Soeharto
Berikut profil dan biodata Lodewijk Mandatjan, mantan petinggi KKB Papua yang punya 14 ribu pasukan. Pernah ketemu Soeharto.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
SURYA.co.id - Inilah profil dan biodata Lodewijk Mandatjan, mantan petinggi KKB Papua yang punya 14 ribu pasukan.
Lodewijk Mandatjan merupakan sosok petinggi KKB Papua yang legendaris.
Selama memimpin aksi teror dari tahun 1964 sampai 1967, ia berhasil menghimpun 14 ribu pasukan.
Meski demikian, Lodewijk Mandatjan akhirnya lulus dan menyerah.
Ia kembali ke NKRI dan bahkan bertemu dengan Presiden Soeharto.
Berikut profil dan biodata selengkapnya.
Melansir dari Wikipedia, Lodewijk Mandatjan adalah seorang tokoh militer dan politikus asal Papua.
Ia merupakan ketua Eenheidspartij Nieuw Guinea (EPANG) atau Partai Persatuan Nugini.
Ia awalnya adalah pejuang Trikora, tapi ia merasa kecewa dengan Indonesia karena ekonomi terus-terusan buruk.
Selama memimpin aksi teror dari tahun 1964 sampai 1967, ia berhasil menghimpun 14 ribu pasukan.
Hendro Subroto dalam bukunya Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando mengatakan komandan KKB Papua Lodewijk Mandatjan melancarkan pemberontakan bermodal senapan-senapan tua peninggalan Perang Dunia II.
Kemudian pada 28 Juli 1965, ada serangan ke asrama Yonif 641/Cendrawasih Manokwari yang sebabkan tiga anggota TNI gugur dan 4 lainnya luka-luka.
Pertempuran diperparah dengan pasukan khusus TNI RPKAD (sekarang Kopassus) bertugas meredam pemberontakan KKB Papua saat itu.
Saat itu sekitar 50 prajurit RPKAD yang baru mendarat di Papua langsung bertugas guna hancurkan KKB Papua.
Aksi Lodewijk Mandatjan terus memanas sampai akhirnya [Sarwo Edhie Wibowo] pun turun tangan.
Ia saat itu menjabat sebagai panglima Kodam XVII/Tjendrawasih (1968-1970).
Akibatnya Sarwo Edhie Wibowo harus menghadapi Lodewijk Mandatjan yang memimpin KKB Papua saat itu.
Dengan kecerdikannya, ia menerapkan operasi tempur dengan operasi non tempur.
Ia masih menggunakan pendekatan non tempur karena Sarwo Edhie merasa KKB Papua masih merupakan saudaranya sendiri sebangsa dan setanah air.
"Kalau pemberontak kita pukul terus menerus, mereka pasti hancur.
Tetapi mereka adalah saudara-saudara kita. Baiklah mereka kita pukul, kemudian kita panggil agar mereka kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi" kata Sarwo Edhie Wibowo dalam buku karya Hendro Subroto.
Atas dasar hal itulah dan menghindari pertumpahan darah yang lebih banyak, Sarwo Edhie menugaskan menyebarkan puluhan ribu pamflet yang berisi seruan agar KKB Papua kembali ke NKRI.
Selanjutnya ia menugaskan perwira Kopassus Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky untuk menemui pimpinan KKB Papua Lodewijk Mandatjan.
Hal tersebut dilakukan untuk membujuk Mandatjan dan anak buahnya agar kembali ke NKRI. Mereka berdua segera dengan tangan kosong tanpa senjata berjalan kaki memasuki hutan Papua.
Saat bertemu dengan Mandatjan, Mayor Heru Sisnodo berkata: "Bapak tidak usah takut. Saya anggota RPKAD (sekarang Kopassus).
Komandan RPKAD yang ada di sini anak buah saya. Dia takut sama saya. Kalau bapak turun dari hutan, nanti RPKAD yang akan melindungi bapak."
Akhirnya Lodewijk Mandatjan berhasil diyakinkan dan ia turun beserta keluarga dan anak buahnya ke Manokwari. Dengan itu Kopassus layaknya sudah memberantas tubuh dari KKB Papua dan tinggal menyisir untuk memburu sisa-sisa pemberontak KKB Papua lainnya.
Tidak hanya diluluhkan oleh Sarwo Edhie Wibowo, Lodewijk Mandatjan juga pernah diundang ke Istana Merdeka bertemu dengan Soeharto pada 11 Januari 1969.
Saat itu Presiden Soeharto menerima kakak beradik Mayor (Tituler) Lodewijk Mandatjan dan Kapten (Tituler) Barens Mandatjan di Istana Merdeka. Mereka menjelaskan jika atas kemauan sendiri mereka kembali.
Soeharto lalu bersikap layaknya orang Jawa dan mengakui sadar banyak kekurangan dalam kehidupan rakyat di Irian Barat.
Tapi bagi Soeharto, kebahagiaan harus diperjuangkan dengan mengusahakan pembangunan sehingga kemudian kehidupan rakyat bisa diperbaiki setahap demi setahap.
Ia lantas tegaskan tekad membangun Irian Barat sejak daerah itu direbut dari Belanda, dan masalahnya saat itu adalah bagaimana mewujudkan pembangunan Irian Barat secepatnya.
Ia meminta kedua Mandatjan mengenai penentuan pendapat rakyat di mana diminta bantuan mereka untuk ikut mensukseskannya.
Mantan Petinggi KKB Papua Insyaf
Tokoh KKB Papua lainnya yang tak kalah jadi sorotan adalah Nicholas Messet.
Dia merupakan mantan petinggi KKB Papua yang insyaf setelah tahu dicurangi oleh kolonial Belanda.
Nicholas Messet dulunya adalah salah satu pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Nicholas Messet kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi sejak 2007 silam.
Selama 40 tahun tokoh ini mencari arti dari kata kemerdekaan bagi Papua.
Ia lama malang melintang di negeri Paman Sam.
Dalam sebuah video yang diunggah akun facebook Yudi Prasetyo Djojokusumo, medio 2020, secara gamblang Nicholas Messet mengisahkan perjalanan hidupnya.
Seperti dilansir dari Tribun Palu dalam artikel 'Bos Besar KKB Papua Sadar Dicurangi Belanda Gara-gara Ucapan Presiden AS, Kini Pilih Kembali ke NKRI'.
Awalnya, ia terhentak saat Nicolaas Jouwe, pemimpin Papua yang terpilih sebagai wakil presiden dari Dewan Nugini yang mengatur koloni Belanda, Nugini Belanda bercerita tentang pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) John F Kennedy.
Dalam pertemuan itu, Kennedy menyadarkan Nicolaas Jouwe bahwa dirinya telah dicurangi Belanda.
“Pada 24 Agustus 1828, Papua adalah bagian dari Hindia-Belanda. Itu artinya anda (Papua) adalah bagian dari Indonesia,” kata Kennedy kepada Nicolaas Jouwe, sebagaimana diceritakan Nicholas Messet dalam video tersebut.
Berdasarkan cerita Jouwe tersebut, Nicholas Messet kemudian memutuskan untuk pulang kembali ke Indonesia.
Sebelum mengambil keputusan itu, Nicholas Messet mengaku telah berkeliling dunia selama 40 tahun untuk mencari arti kemerdekaan.
Khususnya untuk menjawab pertanyaan, apakah benar bangsa Papua itu merdeka?
“Setelah mendapat jawaban dari bapak almarhum Nicolaas Jouwe di Belanda, maka saya berpikir bahwa saya harus kembali ke Republik Indonesia. Dan saya kembali tahun 2007,” terangnya.
Nicholas Messet mengaku menjadi salah satu orang yang ikut mengibarkan bendera bintang kejora Papua pada tanggal 1 Desember 1961.
Kala itu dia masih berusia 15 tahun, 59 tahun lalu, dan tidak banyak orang yang hadir dalam acara tersebut.
Terlepas dari itu, dia kini tegas mengakui bahwa Papua sudah merdeka di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Mengapa saya katakan demikian? Karena pada tanggal 24 Agustus 1828 pemerintah Belanda atau pemerintah Kolonial Belanda waktu itu resmi menyatakan bahwa tanah Papua adalah bagian dari Hindia-Belanda,” tegasnya.
“Sementara Hindia-Belanda itu dijajah oleh pemerintah Belanda. Untuk itu, kita sudah merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Kita adalah bagian dari Republik Indonesia,” tekannya.
Atas alasan itu, dia mengajak para simpatisan OPM untuk bangun dari tidur dan sadar bahwa cita-cita pembentukan negara Papua adalah tipu daya Belanda.
“Jadi untuk saya, bendera itu kenangan lama. Kenang-kenangan yang Belanda menipukan kita bahwa kita akan menjadi satu negara sendiri di luar dari Republik Indonesia,” tandasnya.
>>>Ikuti Berita Lainnya di News Google SURYA.co.id