Berita Surabaya

Bullying Marak di Sekolah, Pakar Psikologi Anak UNESA Ungkap Penyebab dan Solusinya

Fenomena bullying menyerupai epidemi atau penyakit menular yang cepat dan dapat menimbulkan banyak korban.

Penulis: Zainal Arif | Editor: Titis Jati Permata
Foto Istimewa dan pixabay.com
Pakar Psikologi Anak UNESA, Riza Noviana Khoirunnisa S Psi M Si 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Kasus bullying kini semakin marak terjadi dilingkungan sekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 17 kasus perundungan di sekolah, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA).

Baru-baru ini, salah satu siswa SD di Tasikmalaya meninggal dunia diduga karena depresi lantaran jadi korban perundungan teman-temannya di sekolah.

Mengenai kasus tersebut, Pakar Psikologi Anak UNESA, Riza Noviana Khoirunnisa S Psi M Si turut berkomentar.

Menurutnya, fenomena bullying menyerupai epidemi atau penyakit menular yang cepat dan dapat menimbulkan banyak korban.

Hal itu terlihat, dengan adanya kasus perundungan yang terus meningkat setiap tahunnya.

Ada banyak faktor penyebab Bullying pada anak. Namun yang sering ditemukan adalah adanya ketidakseimbangan antara pelaku dengan korban.

Baca juga: Demam Citayam Fasion Week Menular ke Kota Madiun, Pemkot Izinkan Asal Tak Ganggu Ketertiban

"Bisa berupa ukuran badan, fisik, kepandaian komunikasi, gender hingga status sosial," ujar Riza kepada SURYA.co.id, Senin (25/7/2022).

Selain itu, adanya penyalahgunaan ketidakseimbangan kekuatan untuk kepentingan pelaku dengan cara mengganggu atau mengucilkan korban.

“Penyebab lain yang menyertai biasanya terkait lingkungan pergaulan yang salah dan pengaruh teman sebaya dan lain-lain. Karena untuk usia SD, anak ada di fase ketekunan versus rendah diri. Percaya diri vs rendah diri sering terjadi di sekolah,” ujar dosen di FIP tersebut.

Selain itu, bullying kurang mendapat perhatian sehingga jatuh korban.

Perhatian yang kurang ini bisa disebabkan karena memang efek bullying yang tidak tampak secara langsung bahkan hingga tidak terendus karena banyak korban yang tidak melapor.

"Entah itu karena takut, malu atau diancam maupun karena alasan yang lain. Bullying secara kasat mata tampak seperti guyonan biasa kepada anak-anak. Jangan kira ini tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan atau olokan secara verbal sangat berbahaya bagi anak," jelasnya.

“Biasanya orang tua dan guru menganggap teguran sudah cukup untuk mengakhiri candaan di sekolah. Padahal, ini sebenarnya luka psikis atau emosional yang lebih dalam serta menyakitkan dan efeknya bisa jangka panjang,” tambahnya.

Karena minimnya pengetahuan guru dan orang tua tentang bullying dan dampaknya terhadap anak ini juga menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya kasus Bullying di sekolah.

"Pengetahuan ini (Bullying) sangat penting untuk melihat apakah masalah di sekitar anak serius atau tidak," ujarnya.

Bagi anak yang menjadi korban, tentu saja berdampak pada masalah kesehatan mental mereka.

Anak merasa terisolasi secara sosial, tidak memiliki teman dekat atau sahabat dan tidak memiliki hubungan baik dengan orang tua.

Hal ini tentu bisa menjadi trauma yang panjang. Trauma ini mempengaruhi penyesuaian diri anak dengan lingkungan, terutama sekolah.

"Beberapa penelitian menunjukan, bullying menjadi faktor utama yang bisa mempengaruhi prestasi akademik hingga putus sekolah," ungkapnya.

Bagi anak yang menjadi pelaku, bullying bisa membuat si pelaku memiliki empati yang minim dalam interaksi sosial.

Biasanya mengalami perilaku abnormal, hiperaktif hingga prososial. Ini berkaitan dengan respons pelaku terhadap lingkungan sosial sekitarnya.

Ada juga, lanjutnya, anak yang jadi korban plus jadi pelaku bullying. Ini tingkat gangguan mentalnya menjadi lebih besar.

“Anak-anak di level ini merupakan individu yang mengalami prososial, hiperaktif. Ini menjadi lebih besar dan lebih mengkhawatirkan. Karena itu perlu perhatian dan tindakan yang tepat dari sekolah maupun orang tua,” tandasnya.

Lantas seperti apa solusinya? Menurut Riza iklim sekolah harus mulai diperhatikan.
Di mana sekolah harus mempunyai program pencegahan, intervensi maupun sosialisasi yang efektif.

"Sinergi antara sekolah dan orang tua sangat penting dibangun dan diperkuat lagi. Komunikasi yang aktif antara sekolah dan orang tua penting dilakukan," jelasnya.

"Orang tua perlu mengetahui detail informasi mengenai perkembangan sekolah dan anak mereka," imbuhnya.

Jika perlu, menurut Riza sekolah harus mempunyai divisi khusus yang menangani komunikasi dengan orang tua.

Sehingga sekolah dapat membuka hotline yang setiap saat bisa orang tua hubungi.

"Bisa juga sekolah membuat website interaktif. Hal lain yang penting diperhatikan juga yaitu memperbaiki komunikasi antara orang tua dan anak di rumah," katanya.

"Pola asuh yang baik adalah yang bisa memberikan kesempatan kepada anak mengungkapkan apa yang ada di pikiran dan hatinya," tutupnya.

BACA BERITA SURYA.CO.ID DI GOOGLE NEWS LAINNYA

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved