Ramah Tamah dengan Kelompok Perempuan, Puan Serap Masukan Implementasi UU TPKS
Puan menjelaskan, pihaknya akan mengawal beberapa haL mulai dari pencegahan hingga mitigasi UU TPKS agar dapat mencegah tindak kekerasan seksual.
SURYA.CO.ID - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Puan Maharani menggelar acara ramah tamah dengan sejumlah kelompok perempuan di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta, Jumat (22/4/2022).
Adapun puluhan kelompok perempuan itu terdiri dari jaringan masyarakat sipil dan para aktivis jaringan pembela korban kekerasan seksual.
Pada kesempatan tersebut, hadir beberapa tokoh perempuan yang ikut mendampingi Puan, yaitu Wakil Ketua Komisi VIII DPR Rieke Diah Pitaloka, Anggota DPR RI Fraksi partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Krisdayanti, dan Anggota DPD RI Sylviana Murni, serta Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani.
“Kami bertemu teman-teman dari berbagai elemen. Mereka sangat mendukung dan meminta agar implementasi dari Undang-undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bisa berjalan sebagaimana yang menjadi cita-cita kita (masyarakat) semua,” imbuhnya dalam siaran pers yang diterima Surya.co.id, Jumat.
Baca juga: Dirjen Kemendag Tersangka Kasus Minyak Goreng, Puan Minta Kejagung Selidiki Keterlibatan Pihak Lain
Puan menjelaskan, pihaknya akan mengawal beberapa hal penting, mulai dari langkah pencegahan hingga mitigasi UU TPKS agar dapat melindungi, menjaga, serta mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual, khususnya kepada perempuan dan anak.
Tak lupa, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) periode 2014-2019 itu memberikan apresiasi atas dukungan dari semua elemen bangsa yang telah bergotong-royong agar pengesahan UU TPKS dapat segera terealisasi.
Saat ini, bola atau proaktif untuk menyelesaikan masalah ada di tangan pemerintah. Oleh karena itu, kata Puan, berbagai aturan turunan terkait dengan UU TPKS harus segera diselesaikan agar implementasi di lapangan menjadi lebih kuat.
“Tentu saja semangat ini saya harapkan juga bisa dilakukan dalam UU lainnya. Begitu pula berbagai masukan harus selalu dilihat, tak hanya di dalam saja tetapi di luar. Dengan begitu, setiap UU nantinya bisa bermanfaat bagi negara,” ujarnya.
Baca juga: Begini Sikap Politisi Perempuan PDIP di Surabaya Atas Pengesahan UU Kekerasan Seksual
Keinginan kelompok perempuan
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Rieke Diah Pitaloka mengungkapkan, pihaknya banyak menerima pesan bahwa kelompok perempuan ingin bertemu Puan Maharani pasca-pengesahan UU TPKS.
“Banyak sekali kiriman pesan, 'bisa tidak ketemu Mbak Puan? Kami ingin say thank you'. Jadi saya sampaikan ke Mbak Puan dan kebetulan beliau (Puan) senang sekali menyambut keinginan bertemu. Pertemuan ini sekaligus memperingati Hari Kartini sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia,” ucapnya.
Menurut Diah, UU TPKS bisa disebut sebagai hadiah pada Hari Kartini. Meski demikian, terealisasikannya undang-undang ini dirasa lebih tepat menjadi hadiah bagi Kartini se-Indonesia, para wanita di segala lini yang concern atau menaruh perhatian bagi peradaban bangsa Indonesia.
“Hal ini luar biasa dijalani seluruh perempuan di tanah air, desa sampai lobi pada tingkat DPR hingga pemerintah. Kerja keras yang luar biasa. Luar biasanya lagi, kami memiliki ketua DPR perempuan yang punya andil mengetukkan palu keputusan,” katanya.
Baca juga: Menko Airlangga Hartarto: Revisi UU PPP Disepakati, Pembentukan Undang-undang Semakin Efisien
Sementara itu, salah satu perwakilan kelompok perempuan yang juga Direktur Pusat Pendidikan untuk Perempuan dan Anak (Pupa) Susi Handayani mengungkapkan, pihaknya pernah menyampaikan draf pertama Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), sebelum menjadi TPKS kepada Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri pada 2016.
“Ini kayak benang merah. Kami melihat dari celah legislatif yang bisa dititipkan bagaimana misalnya terjadi penolakan-penolakan, seperti pada 2016 ada kasus tindak kekerasan yang dialami salah satu warga Bengkulu bernama Yuyun,” jelasnya mewakili aktivis perempuan Bengkulu.
Pada saat itu, lanjut Susi, draf RUU PKS mulai digerakkan. Presiden pun juga mengeluarkan surat presiden (surpres) meski saat itu masih maju mundur. Dari usaha keras para aktivis perempuan ini, ia melihat jalan terang mulai nampak pada 2020.
Menurut Susi, hal yang paling membuat terharu adalah Megawati, Puan, dan Yuyun selaku korban kekerasan sama-sama keturunan Bengkulu.
Baca juga: Tindak Lanjut UU Cipta Kerja, Dirikan Bangunan di Kota Kediri Tidak Memakai IMB Tetapi PBG. Apa Itu?
“Ketika Bu Puan mengetuk palu itu, saya menangis. Mungkin banyak para Yuyun yang lain. Dalam pikiran saya pengalaman memperjuangkan ini adalah pengorbanan yang mengharu biru. Ada banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dikawal, berangkulan,” imbuhnya.